TRIBUNNEWSWIKI.COM - Burhan Zainuddin Rusjiman dijuluki Burhan Kampak.
Julukan tersebut ia dapat saat terjadi konflik yang disebabkan peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965-1966.
Burhan mengakui bahwa ia sering membawa kampak / kapak berukuran panjang untuk memburu orang yang diduga beraliran Komunis.
Tak hanya itu, ia juga sering mengeksekusi orang-orang PKI dengan menggunakan pistol.
Baca: Kisah Chambali, Algojo yang Membunuh Orang PKI Usai G30S, Tangan Gemetar hingga Mual-Mual
Baca: Dokter Otopsi Ungkap Kondisi Jasad Korban G30S, Berbeda dengan Pernyataan Soeharto : Tak Ada Siksaan
Burhan mempunyai prinsip "Daripada dibunuh, lebih baik membunuh"
Kebencian Burhan terhadap orang-orang PKI bermula saat ia mahasiswa.
Saat mahasiswa, ia adalah anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Burhan menganggap bahwa orang komunis adalah musuh semua agama.
Ia mendasari keyakinannya karena fatwa Muktamar Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Selatan pada pertengahan 1962.
MUI Sumatera Utara saat itu menyatakan bahwa "komunisme haram karena ateis".
"Mulai saat itu, saya berpikir, orang PKI kalau bisa dibina ya dibina, kalau tidak mau ya dibinasakan", kata Burhan.
Ia menceritakan bahwa pada awal tahun 1965, dirinya dikeluarkan sebagai mehasiswa Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada pada tahun ketiga karena memasang spanduk dan poster pembubaran Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang merupakan organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Burhan menceritakan semasa mahasiswa, pada saat menempel poster tersebut, ia ditendang hingga jatuh oleh anak CGMI.
Ia juga sempat diberi cap oleh anak-anak CGMI sebagai mahasiswa kontrarevolusioner karena menentang konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) Presiden Soekarno.
Burhan juga menyatakan sebelum terjadi G30S, pada kisaran tahun 1963-1964, CGMI sering meneror kelompok dan mahasiswa yang beralilan Islam.
Ia menuturkan bahwa hampir setiap hari, para anggota dan simpatisan PKI menggelar demonstrasi di Malioboro dan tempat-tempat strategis di Yogyakarta.
Kebencian Burhan memuncak setelah mendengar pidato Ketua Comite Central (CC) PKI, Dipa Nusantara Aidit yang menyinggung organisasi HMI.
Kongres III CGMI yang diadakan pada 29 September 1965 mengatakan "kalau CGMI tak mampu menyingkirkan HMI dari kampus, sebaiknya mereka sarungan saja".
Ketika peristiwa G30S meletus, Burhan mengaku sering melakukan perlawanan terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya.
Terkhusus ia menyebut melakukan perlawanan setelah kedatangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Yogyakarta pada bulan Oktober 1965 di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.