“Pelarangan buku adalah kemubaziran sempurna. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa.
Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru,” tutup Najwa.
Baca: 5 Zodiak Ini Paling Narsis dan Haus Perhatian, Kamu Termasuk?
Baca: D N Aidit
Sementara itu, Kepala Divisi Riset, Pengembangan, dan Kerjasama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Sahura juga ikut mengkritik aksi penyitaan buku oleh aparat tersebut.
Sahuri menilai tindakan yang dilakukan polisi merupakan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.
Senada dengan Najwa, Sahura mengatakan penyitaan buku tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dimana untuk melakukan penyitaan buku harus melewati proses peradilan lebih dulu.
"Penyitaan terhadap buku-buku yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan, harus dilakukan melalui proses peradilan, sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan MK Nomor 20/PUU-VIII/2010. Artinya, penyitaan tanpa proses peradilan merupakan proses eksekusi ekstra yudisial yang ditentang oleh negara hukum," kata Sahura, Selasa (30/7/2019) seperti dikutip dari Kompas.
Lebih lanjut, penyitaan buku menurut Sahura telah mencederai hak kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945, bahwa kebebasan berpendapat khususnya dituangkan dalam bentuk produk akademik wajib dilindungi dan dijamin.
“Kami meminta polisi untuk segera mengembalikan buku-buku yang disita secara sewenang-wenang kepada Vespa Literasi,” tegas Sahura.
Selain itu, LBH Surabaya juga mendesak agar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur mengambil langkah tegas, yakni menegur Kapolres Probolinggo, agar memberikan sanksi kepada Kapolsek Kraksaan, karena telah melakukan tindakan sewenang-wenang.
Sahura juha meminta kepada TNI supaya tidak ikut campur dalam proses penegakan hukum yang termasuk dalam ranah sipil.
(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)
Jangan lupa subscribe kanal Youtube TribunnewsWIKI Official