TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pemberitaan tengah diramaikan dengan adanya kabar potensi gempa besar mencapai 8,8 magnitudo di pantai selatan Jawa dan tsunami di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 20 meter.
Kabar ini disampaikan berdasarkan kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko.
Dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com pada Minggu (21/7/2019), Widjo Kongko menjelaskan bahwa kajian itu disampaikan BBPT dalam agenda Table Top Excercise (TTX) atau gladi ruang untuk rencana gladi lapangan penanganan darurat tsunami.
Wilayah Pantai Selatan Jawa-Bali berpotensi mengalami gempa megathrust dengan magnitudo 8,8 dan ada potensi gelombang tsunami setinggi 20 meter dengan jarak rendaman 3-4 kilometer.
Baca: Tom Hiddleston
Baca: Game of Thrones (season 8)
Berikut ini tim Tribunnewswiki.com himpun fakta-fakta yang terkait kabar ini.
Dikutip dari Kompas.com, simak selengkapnya di sini!
1. Sudah dicatat sejarah
Menurut artikel yang ditulis Dosen Teknik Geofisika, FTTM - ITB Zulfakriza Z di kolom Kompas.com pada 27 Januri 2018 dijelaskan ada delapan kejadian gempa merusak Jawa yang tercatat dalam buku Indonesian's Historical Earthquake publikasi Geoscience.
Gempa-gempa terjadi pada tahun 1699 di Jawa dan Sumatra, 1780 di Jawa Barat dan Sumatra, 1815 di Jawa, Bali, dan Lombok, 1820 di Jawa dan Flores, 1834 di Jawa Barat, 1840 di Jawa Tengah dan Timur, 1847 di Jawa Barat dan Tengah, dan 1867 di Jawa dan Bali.
Untuk tsunami, Eko Yulianto selaku pelacak jejak tsunami purba dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berkata bahwa tidak ada catatan sejarah tentang tsunami besar di selatan Jawa.
Eko berkata bahwa yang tercatat hanya pada tahun 1800-an dan 1921, namun tergolong tsunami kecil.
Daerah selatan Jawa memang merupakan kawasan zona subduksi, besar kemungkinan akan terjadi gempa-gempa berkekuatan besar yang menimbulkan tsunami.
2. Pernyataan BMKG
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geotisika (BMKG), Daryono memberikan penjelasan terkait kabar ini.
"Jawaban saya adalah bahwa kita harus jujur mengakui dan menerima kenyataan bahwa wilayah kita memang rawan gempa dan tsunami," ungkapnya melalui pesan singkat, Sabtu (20/07/2019).
Diketahui, wilayah Samudra Hindia selatan Jawa memang kerap terjadi gempa besar dengan kekuatan di atas 7,0 magnitudo.
Daryono mencatat daftar gempa besar seperti gempa Samudra Hindia.
Dalam BMKG, gempa besar di selatan Jawa pernah terjadi di tahun 1863, 1867, 1871, 1896, 1903, 1923, 1937, 1945, 1958, 1962, 1967, 1979, 1980, 1981, 1994, dan 2006.
"Sementara itu tsunami Selatan Jawa juga pernah terjadi pada tahun 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006," ujar Daryono.
"Ini bukti bahwa informasi potensi bahaya gempa yang disampaikan para ahli adalah benar bukanlah berita bohong," tambahnya.
Daryono juga menegaskan bahwa besarnya magnitudo gempa yang disampaikan para pakar adalah potensi bukan prediksi.
"Sehingga kapan terjadinya tidak ada satupun orang yang tahu," tegas Daryono.
"Untuk itu dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi struktural dan non struktural yang nyata dengan cara membangun bangunan aman gempa, melakukan penataan tata ruang pantai yang aman dari tsunami, serta membangun kapasitas masyarakat terkait cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami," imbuhnya.
Menurut Daryono, inilah risiko yang harus dihadapi.
3. Jangan salah memaknai kabar ini
Daryono juga mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu cemas dan taut.
Informasi gempa dan tsunami ini harus direspons dengan langkah nyata dengan cara memperkuat mitigasi.
"Dengan mewujudkan semua langkah mitigasi maka kita dapat meminimalkan dampak, sehingga kita tetap dapat hidup dengan selamat, aman, dan nyaman di daerah rawan gempa," kata Daryono.
"Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia, yang penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakatnya, maupun infrastruktur untuk menghadapi gempa dan tsunami yang mungkin terjadi," pungkasnya.
4. BNPB ingatkan rumus 20-20-20
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengimbau masyarakat untuk tetap siaga dalam menghadapi potensi bencan aitu.
Ada beberapa sikap yang bisa dilakukan untu kesiapsiagaan bencana.
Pertama, kenali potensi ancaman di lokasi tempat gempa berlangsung bisa menggunakan aplikasi InaRISK melalui https://inarisk.bnpb.go.id.
Cara lainnya adalah dengan membangun bangunan yang tahan gempa.
"Jadi kalau di orang sipil itu bilangnya proses perkuatan dengan retrofikasi, misalnya ada dinding bangunan yang tidak bagus diberi perkuatan dengan ditambah tulangan yang lebih baru atau kolong yang lebih berat lagi," ujar Agus saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (20/7/2019).
Tak hanya itu, perkuatan bangunan juga bisa dilakukan dengan metode-metode lain dan lebih bagus lagi menggunakan kayu.
Agus juga mengumbau agar masyarakat mampu menerapkan prinsip 20-20-20, terutama warga yang tinggal di pinggir pantai.
"Kalau warga merasakan gempa selama 20 detik, setelah selesai (guncangan) warga harus segera evakuasi, karena di pantai akan datang tsunami dalam 20 menit, lari ke bangunan yang ketinggiannya minimal 20 meter," ujar Agus menjelaskan prinsip 20-20-20.
Proses evakuasi dengan memilih gedung tinggi meski dekat pantai tidak menjadi kendala, asalkan bangunan tersebut masih berdiri kokoh setelah gempa berhenti.
Baca: Pacquiao Rebut Gelar WBA Super Setelah Tundukkan Thurman
Baca: Agresi Militer Belanda I
Ciri-ciri bangunan yang mempunyai kualitas tahan gempa yang baik adalah bangunan yang diperiksa dan diuji oleh pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Jadi bangunan-bangunan yang sudah dites yang dibangun dengan kekuatan tahan gempa, tidak sembarang bangunan," ujar Agus.
Jangan lupa subscribe channel YouTube Tribunnewswiki.com!
(Tribunnewswiki.com/Kompas.com/Natalia Bulan R P)