TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pemerintah wacanakan lakukan pemungutan PPN dalam jasa pendidikan atau sekolah .
Rencana tersebut tertuang dalam Revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Wacana pemungutan PPN tersebut disebut akan dilaksanakan, meski tidak di tahun ini.
Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan, Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan, pengenaan PPN hanya ditujukan untuk sekolah-sekolah tertentu.
Menurutnya, sekolah yang akan dikenai PPN yakni sekolah premium atau sekolah orang-orang kaya.
Neil menuturkan, pengenaan PPN pada setiap barang/jasa akan berbeda tergantung dari kemampuan membayar seseorang.
Dengan kata lain, hanya barang/jasa yang dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas yang akan dikenakan PPN lebih tinggi.
"Soal pendidikan, bukan pendidikan yang selama ini disampaikan. Tentunya pendidikan (yang dikenakan PPN lebih tinggi adalah) yang dirasakan memang dikonsumsi atau dimiliki oleh masyarakat yang memiliki daya beli jauh berbeda," kata Neilmaldrin dalam konferensi pers Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu secara virtual, Senin (14/6/2021).
Neil menuturkan, skema yang diterapkan adalah skema multitarif, yakni pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang/jasa yang dikonsumsi orang kaya, dan pengenaan pajak yg lebih rendah untuk masyarakat menengah ke bawah.
Prinsip pengenaan PPN Pengenaan pajak untuk segmen tertentu itu dilakukan agar menciptakan asas keadilan, sebab insentif bebas PPN yang berlaku saat ini berlaku untuk semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin.
"Hal ini menandakan fasilitas selama ini kurang tepat sasaran, oleh karena itu kita lakukan perbaikan," papar dia.
Baca: Wacana PPN Sembako Terus Diserukan, Pemerintah Sebut Sembako di Pasar Tradisional Tak Kena Pajak
Baca: Setelah Sembako, DPR Juga Menolak Wacana Pemerintah Tarik PPN dalam Jasa Pendidikan
Neil menyatakan, peninjauan ulang tarif PPN ini dilakukan untuk menjaga prinsip netralitas.
Apalagi saat melihat tren global, PPN di 127 negara sudah bertarif sebesar 15,4 persen.
Selain itu, Neil mengakui, kenaikan PPN dapat mengoptimalkan penerimaan negara akibat pandemi Covid-19.
Dalam struktur perpajakan terkini, PPN merupakan salah satu instrumen yang cukup dominan menyumbang penerimaan negara dengan angka mencapai 42 persen dari total penerimaan.
"Kami akan melihat ability to pay (kemampuan membayar) dari yang mengonsumsi barang tersebut sehingga ketika terjadi pengecualian ataupun fasilitas, tak semua dikenai PPN,"
"Saat ini kita lihat yang mampu, tidak membayar PPN karena mengonsumsi barang/jasa yang dikecualikan tarif PPN-nya. Padahal harusnya (pengecualian tarif) diberikan kepada masyarakat kecil," pungkas Neil.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyatakan hal serupa.
Pengenaan tarif PPN akan dilihat dari jenis barang/jasa yang dikonsumsi masing-masing masyarakat.
Menurutnya, pengenaan tarif PPN tidak bisa disamakan untuk barang-barang tertentu seperti daging wagyu dengan daging sapi biasa yang dijual di pasaran.