Jika diterjemahkan secara harfiah, "tone deaf" berarti tuli nada.
Namun, di luar konteks musik, istilah ini sering digunakan dalam konteks sosial dan politik.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai istilah "tone deaf", dikutip dari Kompas.com.
Selain pengertian harfiahnya, kamus Cambridge mendefinisikan "tone deaf" sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memahami perasaan orang lain tentang sesuatu atau ketidakmampuannya untuk merespons situasi dengan tepat.
Menurut The Week, "tone deaf" memiliki makna metaforis dalam konteks perilaku sosial.
Dalam penggunaan modern, istilah ini mengacu pada sikap yang tidak peka, ceroboh, bahkan kejam terhadap orang lain.
Istilah ini umumnya digunakan untuk menggambarkan sikap pihak-pihak yang berada "di atas," seperti pemerintah, politisi, orang kaya, atau bos perusahaan.
Namun, istilah ini juga dapat diterapkan pada orang biasa yang memilih untuk tidak memahami atau peduli terhadap sesuatu.
Meskipun "tone deaf" sering digunakan dalam konteks modern, konsepnya sudah ada sejak abad ke-18 di Prancis.
Salah satu contoh terkenal adalah kutipan "let them eat cake" (biarkan mereka makan kue) yang sering dikaitkan dengan Ratu Prancis, Marie-Antoinette, selama Revolusi Prancis.
Menurut ensiklopedia Britannica, kutipan ini konon adalah respons Marie-Antoinette ketika diberitahu bahwa rakyatnya yang kelaparan tidak memiliki roti.
Karena kue lebih mahal daripada roti, anekdot ini menjadi simbol ketidakpedulian sang ratu terhadap kondisi rakyatnya, meskipun kalimat ini mungkin tidak pernah benar-benar diucapkan olehnya.
Dalam beberapa kasus, ketidakpekaan sosial ini bisa terjadi secara tidak sengaja dan dapat diperbaiki.
Namun, dalam kasus lain, "tone deaf" seringkali menunjukkan sikap munafik dan acuh tak acuh yang sulit diubah.
Banyak yang berpendapat bahwa "tone deaf" lebih sering terjadi pada orang-orang dari kelas sosial dan ekonomi menengah ke atas.
Dalam konteks sosial dan politik, "tone deaf" menggambarkan situasi di mana seseorang tidak peka terhadap perasaan orang lain atau kondisi di sekitarnya.
Anggapan ini muncul karena sebagian besar pengguna media sosial dari kalangan menengah ke atas cenderung enggan menyuarakan pendapat tentang situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya.
Psikolog sosial Hening Widyastuti menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kenyamanan yang dimiliki oleh orang-orang tersebut.
“Ini berkaitan dengan gaya hidup mewah di zona nyaman,” ujar Hening saat dihubungi oleh Kompas.com pada Jumat (23/8/2024).
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hati nurani yang peka terhadap ketidakadilan.
Misalnya, saat melihat sesuatu yang menyedihkan, seseorang bisa merasa turut bersedih.
Namun, pada beberapa orang, empati mereka “terkurung” karena berbagai alasan, seperti tekanan dari keluarga atau lingkungan pertemanan yang "tone deaf."
“Terkadang, hal ini didorong oleh nasihat dari keluarga, misalnya orang tua yang menyarankan untuk tidak ikut campur urusan orang lain demi keamanan diri sendiri,” lanjut Hening.
Jika terus dilakukan, hal ini bisa menjadi kebiasaan.
Saat seseorang terlalu sering menutup mata, ia bisa menjadi "tone deaf" karena enggan meninggalkan zona nyaman.
“Situasi yang aman dan nyaman dengan segala fasilitas yang terpenuhi, hidup mewah, dan bergelimang harta membuat mereka lebih fokus pada diri sendiri,” tambah Hening.
"Tone deaf" sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja, dari kelas sosial dan ekonomi mana pun.
Namun, Hening mengakui bahwa banyak orang "tone deaf" berasal dari kalangan menengah ke atas.
Menurut Hening, orang-orang yang "tone deaf" sering kali menganggap bahwa masalah yang terjadi di sekitar mereka bukanlah urusan mereka.
“Bagi mereka, masalah rakyat, seperti harga barang yang naik atau PHK massal, bukanlah urusan mereka,” jelas Hening.
Bagi mereka, yang terpenting adalah kehidupan pribadi yang nyaman dan mewah.
“Orang-orang seperti ini menutup mata, hati, dan jiwa terhadap lingkungan sekitar mereka,” tutup Hening.