"Sebetulnya, kasus cuci darah pada anak ini sudah biasa dilakukan dan sering terjadi," kata Piprim dalam video klarifikasinya pada Kamis (25/7/2024), dikutio dari Kompas.com.
Menurutnya, banyak pasien anak menjalani cuci darah di RSCM karena rumah sakit tersebut memiliki unit dialisis khusus untuk anak-anak.
Sementara itu, rumah sakit lain di Indonesia belum menyediakan fasilitas dialisis khusus anak.
"Oleh karena itu, pasien anak-anak dengan gangguan ginjal terminal yang membutuhkan hemodialisis dirujuk ke unit khusus di RSCM," ungkapnya.
Secara nasional, tidak ada peningkatan signifikan pada kasus gagal ginjal pada anak yang memerlukan cuci darah, berbeda dengan tahun lalu ketika terjadi kasus keracunan obat EG dan DEG.
"Secara nasional, tidak ada lonjakan kasus gagal ginjal yang signifikan," ujarnya.
Dalam kesempatan berbeda pada Kamis (25/7/2024), RSCM juga menjelaskan mengenai kasus cuci darah pada anak yang menjadi perhatian.
"Kami di rumah sakit tidak mengalami lonjakan (kasus cuci darah pada anak), tetapi jumlah pasien cukup banyak," ujar Dr. dr. Eka Laksmi Hidayati, Sp.A(K), dalam video live Instagram.
Eka menyebutkan bahwa sekitar 60 anak menjalani dialisis secara rutin di RSCM, namun tidak semuanya menjalani hemodialisis.
Dialisis adalah prosedur yang menggantikan fungsi ginjal ketika ginjal tidak berfungsi normal atau rusak.
"Dialisis bisa berupa hemodialisis dengan mesin (sering disebut cuci darah) atau dialisis peritoneal, yang tidak memerlukan kunjungan mingguan ke rumah sakit," terangnya.
Dari 60 pasien anak yang menjalani dialisis, sekitar 30 menjalani hemodialisis.
"Itu memang jumlah yang cukup banyak untuk satu rumah sakit, apalagi tidak ditemukan di rumah sakit lain," ucapnya.
Eka menekankan bahwa banyaknya pasien anak yang menjalani cuci darah di RSCM karena rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan uronefrologi di Indonesia.
"Banyak pasien yang dirujuk dari luar Jakarta, bahkan dari luar Pulau Jawa, datang ke sini," ucapnya.
Baca: Hemodialisis (Cuci Darah)
Jumlah anak yang menjalani cuci darah secara nasional belum tersedia, kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, saat ditanya oleh Kompas.com pada Rabu (24/7/2024).
Orang dengan gagal ginjal mungkin kesulitan menghilangkan limbah dan air yang tidak diinginkan dari darah. Dialisis atau cuci darah adalah cara buatan untuk melakukan proses ini, menggantikan fungsi ginjal.
Menurut Medical News Today, ginjal yang sehat mengatur kadar air dan mineral tubuh serta membuang limbah.
Jika ginjal tidak bekerja dengan benar, limbah menumpuk dalam darah, yang bisa menyebabkan koma dan kematian.
Dialisis mencegah limbah dalam darah mencapai tingkat berbahaya dan bisa menghilangkan racun atau obat-obatan dalam keadaan darurat.
- Darah diedarkan ke luar tubuh melalui mesin dengan filter khusus yang membuang produk limbah dari darah. Hemodialisis dilakukan maksimal tiga kali seminggu, selama 3-4 jam per sesi, tergantung kondisi ginjal dan berat cairan yang diperoleh di antara perawatan.
- Larutan dialisat steril dialirkan ke dalam rongga peritoneum, rongga tubuh perut yang mengelilingi usus.
Larutan dibiarkan dalam rongga peritoneum selama beberapa waktu, sehingga dapat menyerap produk-produk limbah, dan kemudian dikeringkan melalui tabung.
Ada dua tipe utama dialisis peritoneal:
- Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD): Tidak memerlukan mesin, dilakukan oleh pasien atau pengasuh.
- Continuous Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD): Menggunakan mesin untuk bertukar cairan, biasanya dilakukan setiap malam.
Dialisis peritoneal cocok untuk pasien yang merasa hemodialisis terlalu melelahkan, seperti orang tua, bayi, dan anak-anak.
Kadang-kadang dialisis diberikan untuk jangka waktu terbatas, seperti pada kondisi ginjal akut, konsumsi zat beracun, cedera ginjal traumatis, atau penyakit jantung kronis.
Risiko dan komplikasi meliputi hipotensi, kram, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, rasa gatal, serta demam dan menggigil.
Dalam beberapa kasus, ginjal pulih dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.