Tiga ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Secara tajam, ketiganya menjabarkan sejumlah fakta dan bukti-bukti dugaan adanya penyelewengan perundang-undangan.
Baca: Film Dirty Vote Disebut Buatan Tim Mahfud MD, Berisi Serangan ke Jokowi dan Klaim Pemilu 2024 Curang
Sontak kemunculan film yang diluncurkan pada masa tenang pemilu Minggu (11/2/2024) itu pun menjadi bahan perbincangan di berbagai media sosial.
Lantas siapakah ketiga penggagas film dokumenter Dirty Vote yang hingga Senin (12/2/2024) masih trending di media sosial X.
Simak inilah 3 sosok pakar hukum tata negara yang muncul dalam film dokumenter Dirty Vote.
1. Zainal Arifin Mochtar
Zainal Arifin Mochtar yang merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), lahir di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 8 Desember 1978.
Ia lulus dari UGM pada 2003, dikutip dari situs resmi UGM.
Selanjutnya, Zainal Arifin Mochtar melanjutkan studi magister hukum di Northwestern University, Amerika Serikat, pada 2006 dan kembali menempuh pendidikan di UGM untuk mendapat gelar doktor pada 2012.
Zainal meraih gelar Doktor untuk Ilhum Hukum dari almamaternya, UGM.
Seperti Bivitri Susanti, Zainal juga dikenal sebagai aktivis dan pakar hukum tata negara, selain menjadi dosen.
Zainal mengawali karier akademisinya pada 2014, di Fakultas Hukum UGM.
Saat ini, Zainal menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM.
Selain bergiat di PUKAT UGM, ia juga menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2007. Selanjutnya menjadi anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan pada periode 2015 hingga 2017, anggota Komisaris PT Pertamina EP dari 2016 hingga 2019.
Pada 2022 ia ditunjuk sebagai Anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Ia juga menjabat Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk periode 2023-2026.
2. Bivitri Susanti
Bivitri Susanti lahir pada 5 Oktober 1974, yang berarti saat ini ia berusia 50 tahun.
Perempuan yang akarab disapa Bibip ini merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1999.
Setahun sebelum lulus dari UI, Bivitri bersama beberapa senior dan rekannya mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Dikutip dari situs Bung Hatta Award, Bivitri lantas melanjutkan studinya di University of Warwick di Inggris dan lulus pada 2002.
Dari Warwick, Bivitri menempuh pendidikan doktoral di University of Washington School of Law, AS.
Selama ini, Bivitri dikenal sebagai dosen, aktivis, dan juga pakar hukum tata negara.
Menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
Bercerita tentang dua hal.
Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung.
Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.
Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan.
3. Feri Amsari
Feri Amsari adalah pria kelahiran Padang, Sumatra Barat (Sumbar), pada 2 Oktober 1980.
Feri Amsari merupakan lulusan S1 dan S2 Hukum Universitas Andalas (Unand).
Tak hanya itu, Feri Amsari juga merupakan lulusan William & Mary Law School, AS.
Saat ini, Feri Amsari tercatat sebagai dosen FH Unand.
Dikutip dari situs resmi Unand, ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Unand.
Feri diketahui sudah bergabung dengan Pusako sejak Desember 2004.
Pesan yang disampaikan oleh Feri Amsari lewat film ini adalah esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air.
Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
"Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.
Seperti yang diketahui, beberapa hari menjelang pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, muncul film dokumenter Dirty Vote yang tayang di YouTube, Minggu (11/2/2024).
Film Dirty Vote trending X (dulu Twitter) hari ini, dimana film ini membahas soal kecurangan dalam proses Pemilu 2024.
Di film Dirty Vote yang jadi trending x ini, 3 ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari dan Bivitri Susanti menerangkan mengenai penggunaan instrumen kekuasaan untuk mencurangi Pemilu 2024.
Minggu (11/2/2024) merupakan awal dari masa tenang, dan Koalisi Masyarakat Sipil memilih tiga hari menjelang Pemilu 2025 sebagai waktu untuk merilis film Dirty Vote.
Pemungutan suara Pemilu 2024 sendiri akan berlangsung hari Rabu (14/2/2023).
Sedikit spoiler, Film Dirty Vote ini menceritakan tentang desain kecurangan pemilu yang diungkap oleh tiga pakar hukum tata negara.
Dokumenter berjudul “Dirty Vote” tayang hari ini mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.
Film Dirty Vote persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini.
Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo.
Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data.
Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung.
Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.
Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” kata Bivitri dalam keterangannya, Minggu (11/2/2024).
Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini.
Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.
Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari.
Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air.
Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya.
Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi.
Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat.
Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri Amsari.
(TRIBUN MEDAN/BANJARMASINPOS/TRIBUNNEWSWIKI)
Artikel ini telah tayang di
Baca berita terkait di sini