ALASAN Mahfud MD Masih Belum Mundur dari Jabatan Menteri Jokowi

Penulis: Ika Wahyuningsih
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD mengungkap alasan dirinya belum mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menko Polhukam).

Alasan Mahfud belum mundur dari jabatan menteri kabinet Joko Widodo (Jokowi) itu disampaikan dalam dalam kegiatan "Tabrak Prof" di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (23/1/2024) malam.

Dia mengaku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengundurkan diri dari posisi Menko Polhukam.

"Menunggu timing (mundur sebagai Menko Polhukam)," kata dia, dikutip melalui siaran langsung via Youtube Kompas.com, Selasa.

Pernyataan itu disampaikannya usai pasangannya, calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo menyarankan supaya pejabat setingkat menteri, gubernur, dan bupati/wali kota mundur dari jabatannya saat maju menjadi capres atau cawapres.

Baca: Mahfud MD Bakal Mengundurkan Diri dari Jabatan Menko Polhukam agar Bebas Buka Data

Baca: Mahfud MD Sebut Pertanyaan Gibran Tak Layak Dijawab, Cawapres 03: Gila Ini, Ngarang Nggak Karuan

"Saya sarankan mundurlah, berubahlah aturan (memperbolehkan tetap menjabat), termasuk Pak Mahfud," kata dia, dilansir dari Kompas.com, Selasa.

Alasan Mahfud MD belum mundur dari kabinet Jokowi

Mahfud menyatakan dirinya belum mundur dari kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena ada beberapa alasan.

Salah satu di antaranya, tidak ada larangan bahwa menteri yang maju ke kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tetap menjabat.

"Menurut aturan itu tidak dilarang. Dulu yang tidak dilarang itu menteri, penjabat-pejabat pusat. Tapi menjelang pilpres kemarin, ditambah lagi aturannya, bahkan wali kota pun tidak harus mundur," jelas Mahfud

Menkopolhukam Mahfud MD menjawab pertanyaan warga dalam kampanye Tabrak Prof di Kota Semarang, Selasa (23/1/2024). (KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah)

Hal itu menurut Mahfud diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 mengenai Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018.

Peraturan tersebut membahas Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin Cuti Dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti Dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.

Tidak memanfaatkan kedudukan Menko Polhukam

Selain itu, Mahfud juga mengatakan belum mundur dari Menko Polhukam untuk memberi contoh bahwa meski menjadi cawapres, dia tidak memanfaatkan kedudukannya sebagai menteri untuk berkampanye.

Dia menyebutkan, terhitung tiga bulan sejak diumumkan menjadi cawapres, Mahfud mengaku tidak pernah sekali pun menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.

"Saya tidak pernah menggunakan fasilitas negara. Saya masih berkantor di Polhukam secara rutin," kata dia.

Dia juga menjamin bahwa semua tugas dan surat-surat yang masuk ke meja kerjanya telah selesai selama kurang dari satu minggu.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu juga meminta kepada pemerintah daerah yang kenal baik dengannya untuk tidak menjemput, menjamu, dan memberikan fasilitas, seperti pendampingan saat dirinya melakukan kunjungan ke daerah.

Padahal, Mahfud mengaku memiliki banyak kenalan di daerah yang sudah ia promosikan untuk mendapat jabatan lebih tinggi, seperti panglima daerah militer dan pejabat kepala daerah.

Baca: Mahfud MD Ungkap Keberadaan Ferdy Sambo, Benarkan Jika Sambo Tak Ada di Lapas Cipinang, Tapi di Sini

Baca: Elektabilitas Kian Jeblok, Begini Reaksi Ganjar Pranowo & Mahfud MD yang Buat Pendukungnya Tersenyum

"Saya tidak mau menggunakan jabatan saya itu untuk menggunakan fasilitas," ucap dia.

Dia berharap tindakannya tersebut bisa menjadi contoh bagi pejabat negara lainnya yang ingin menjadi capres cawapares supaya tidak segan untuk menolak penjemputan hingga pendampingan yang ditawarkan pejabat daerah.

Menurutnya, pengamanan pihak kepolisian saja sudah cukup.

Mahfud siap mundur dari Menko polhukam

Meski pun saat ini masih menjabat Menko Polhukam, Mahfud memastikan dirinya siap mundur dari kabinet Jokowi.

"Saya pada saat yang tepat nanti akan mengajukan pengunduran diri baik-baik," kata Mahfud.

Diberitakan sebelumnya, Ganjar telah meminta Mahfud untuk mundur dari jabatan Menko Polhukam.

Menurut Ganjar, ada potensi konflik kepentingan jika seseorang capres ataupun cawapres masih menjabat sebagai menteri, gubernur, dan bupati/wali kota.

Saran itu juga ditujukan kepada capres nomor urut 2, Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

Mahfud sendiri mengaku sudah berbincang dengan Ganjar dan sepakat perihal hal tersebut.

"Jadi tidak ada pertentangan antara saya dengan Pak Ganjar," tutur Mahfud.

Dia juga menyinggung pernyataannya usai debat keempat Pilpres yang menyampaikan rasa terima kasih kepada Jokowi karena telah memercayainya sebagai Menko Polhukam.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bicara soal utang pemerintah terhadap pengusaha jalan tol Jusuf Hamka- Begini respons Mahfud MD soal Jusuf Hamka yang menagih utang Rp 800 miliar ke pemerintah. (Video Tim Humas Kemenko Polhukam)

Oleh sebab itu, Mahfud mengaku akan mundur pada waktu yang tepat supaya tidak menyinggung siapapun.

Sebagai informasi, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U. merupakan politisi, akademisi dan hakim berkebangsaan Indonesia.

Mahfud MD pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013 dan Hakim Konstitusi periode 2008-2013.

Sebelumnya Mahfud MD adalah anggota DPR dan Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional.

Mahfud MD meraih gelar Doktor pada tahun 1993 dari Universitas Gadjah Mada.

Sebelum diangkat sebagai Menteri, Mahfud MD adalah pengajar dan Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Mahfud MD lahir dari rahim Siti Khadidjah di sebuah desa di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 13 Mei 1957, dengan nama Mohammad Mahfud.

Dengan nama itu, sang ayah, Mahmodin, berharap anak keempat dari tujuh bersaudara itu menjadi orang yang terjaga.

Ia dilahirkan ketika ayahnya bertugas sebagai pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.

Ketika Mahfud MD berusia dua bulan, keluarga Mahmodin pindah ke Pamekasan, daerah asalnya.

Di sana, di Kecamatan Waru, Mahfud MD menghabiskan masa kecilnya.

Kala itu, surau dan madrasah diniyyah adalah tempat Mahfud MD belajar agama Islam.

Ketika berumur tujuh tahun, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri.

Sore harinya, ia belajar di Madrasah Ibtida’iyyah.

Malam sampai pagi hari, ia belajar agama di surau.

Mahfud MD lalu dikirim ke pondok pesantren Somber Lagah di Desa Tegangser Laok, untuk mendalami agama.

Ketika itu ia masih kelas 5 SD. Sekolahnya pun ia lanjutkan di sana.

Pondok Pesantren Somber Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan.

Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an.

Meski nilai ujiannya bagus, Mahfud MD tidak melanjutkan sekolah ke SMPN favorit.

Orang tuanya memasukkan dia Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan.

Pada waktu itu, ternyata ada tiga murid yang namanya sama dengannya.

Untuk membedakan, akhirnya Mahfud MD menambahkan inisial MD di belakang namanya.

Tanpa sengaja, nama itu tertulis dalam ijazahnya.

Kini, inisial menetap di belakang nama Mahfud MD seperti gelar akademik medical doctor, sebagaimana anggapan sebagian orang.

Sehabis menamatkan PGA selama empat tahun pada 1974, Mahfud MD terpilih untuk melanjutkan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta yang merekrut lulusan terbaik dari PGA dan Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia.

Mantan Menteri Koperasi Zarkasih Noer, mantan Menteri Sekretaris Negara Djohan Effendi, tokoh Majelis Ulama Indonesia Amidhan, dan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar merupakan sebagian alumninya.

Kini, PHIN diubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN).

Pada 1978, Mahfud MD tamat dari PHIN.

Ia lalu meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada saat yang sama ia juga kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).

Di Fakultas Hukum, Mahfud MD mengambil jurusan Hukum Tata Negara.

Padahal, ketika itu ayahnya sudah pensiun.

Untuk membiayai dua kuliahnya, Mahfud MD aktif menulis di surat kabar umum seperti Kedaulatan Rakyat agar mendapat honorarium.

Ia juga sibuk berburu beasiswa.

Sebagai mahasiswa terbaik, Mahfud MD berhasil mengantongi beasiswa Rektor UII, beasiswa Yayasan Dharma Siswa Madura, juga beasiswa Yayasan Supersemar.

Mahfud MD mendapat beasiswa penuh dari UII untuk melanjutkan program pasca sarjana di UGM.

Ketika itu, ia mengambil studi ilmu politik.

Baca: Megawati Sebut Arah Pemilu Bergeser dan Rakyat Terintimidasi, Mahfud : Biasa Saja

Ia kembali mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan S3.

Ia kembali mendalami ilmu hukum tata negara ketika mengambil program doktor di UGM.

Sejak SMP, Mahfud MD remaja tertarik menyaksikan ingar bingar kampanye pemilihan umum.

Di situlah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat.

Semasa kuliah, kecintaannya pada politik semakin membuncah.

Ia lalu malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intrauniversitas seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan pers mahasiswa.

Mahfud MD juga aktif di organisasi ekstra universitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII.

Sebab, saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel aktivis HMI.

Sekalipun begitu, dari sejumlah organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni.

Ia pernah menjadi pimpinan di majalah mahasiswa Fakultas Hukum UII, Keadilan.

Demikian pula majalah mahasiswa UII, Muhibbah.

Mahfud MD akhirnya angkat bicara terkait kisruh Partai Demokrat atas penunjukkan Moeldoko sebagai Ketua Demokrat versi KLB. (Tribunnews)

Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, majalah Muhibbah yang dipimpinnya dibreidel sampai dua kali.

Pertama, dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo pada 1978.

Terakhir, dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada 1983.

Lulus dari Fakultas Hukum pada 1983 Mahfud MD bekerja sebagai dosen di almamaternya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Ketika itu ia melihat, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik.

Energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum.

Kekecewaannya pada hukum yang selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik menyebabkan Mahfud MD ingin belajar ilmu politik.

Kesempatan itu ia ambil ketika kuliah S2.

Ia banyak berdiskusi dengan dosen-dosen ilmu politik ternama seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Amien Rais, dan lain-lain.

Keputusannya mengambil ilmu politik yang berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi.

Sebab, studi lanjut di luar bidangnya seperti itu tidak akan dihitung dalam jenjang kepangkatannya sebagai dosen.

Karena itu, selepas lulus S-2, ia melanjutkan pendidikan doktor (S-3) bidang Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM hingga lulus pada 1993.

Disertasi doktornya tentang politik hukum cukup fenomenal.

Hasil penelitiannya menjadi bahan bacaan pokok program pascasarjana bidang ketatanegaraan di berbagai perguruan tinggi, karena pendekatannya mengkombinasikan dua bidang ilmu, yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.

Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud MD tercatat sebagai mahasiswa doktoral yang lulus cepat.

Ia menyelesaikan pendidikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan.

Padahal, ketika itu (1993) rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun.

Kata Mahfud MD, semua itu berkat ketekunan dan dukungan dari para promotornya, Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar.

Ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud MD ke Columbia University New York dan Northern Illinois University DeKalb, Amerika Serikat, untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.

Di New York, ia berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII, yang kini menjadi hakim agung.

Sedangkan di Illinois, ia bertemu dengan Andi A. Mallarangeng, kini Menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet Indonesia Bersatu II.

Ketika itu, Andi menjadi Ketua Perhimpunan Muslim, sehingga Mahfud MD diberi satu kamar di sebuah rumah yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara.

Mahfud MD tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih doktor pada 1993.

Dari jabatan asisten ahli, ia melompat menjadi lektor madya, mendahului dosen dan senior-seniornya di sana.

Bahkan, tidak sedikit dari dosen dan seniornya itu yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbing ketika menempuh pendidikan pasca sarjana.

Dengan karya tulis yang tersebar berupa buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, tak sulit bagi Mahfud MD untuk meraih gelar akademik tertinggi.

Ia pun dikukuhkan sebagai guru besar, 12 tahun sejak ia mengabdi sebagai dosen UII.

Dengan usia 41 tahun, ia tergolong sebagai guru besar termuda pada masanya bersama Yusril Ihza Mahendra.

Wajar saja, jika dengan kapasitasnya itu ia dipercaya mengajar di 20 perguruan tinggi, termasuk penguji eksternal disertasi doktor untuk hukum tata negara di University of Malaya, Kuala Lumpur.

(Kompas/TRIBUNNEWSWIKI)

Baca berita terkait di sini



Penulis: Ika Wahyuningsih
BERITA TERKAIT

Berita Populer