Lantaran kerumitan dan dugaan adanya konflik kepentingan di perkara ini, MK bahkan dipelesetkan sebagai "Mahkamah Keluarga".
Bagaimana pelesetan itu muncul, kemudian apa logika di baliknya?
Terdapat 12 perkara uji materi aturan syarat usia capres-cawapres yang diajukan ke MK.
Dikutip dari Kompas.com, para pemohon mempersoalkan tentang Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Gugatan pertama aturan ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang teregistrasi pada 16 Maret 2023 dengan nomor 29/PUU-XXI/2023.
Selanjutnya, gugatan kedua diajukan oleh Partai Garuda pada 9 Mei 2023 yang teregistrasi dengan nomor 51/PUU-XXI/2023.
Hingga saat ini, MK belum mengetuk palu putusan uji materi aturan syarat usia capres-cawapres.
Adapun sidang pembacaan putusan perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 dijadwalkan digelar pada Senin, 16 Oktober 2023.
Uji materi ketentuan ini lantas dihubungkan dengan sosok putra sulung Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.
Sejak lama, Gibran digadang sebagai cawapres Pemilu 2024.
Hanya saja, usianya yang baru 35 tahun membuat Gibran tak bisa melenggang ke panggung pemilihan.
Namun, seandainya MK mengabulkan permohonan uji materi dan menurunkan syarat usia minimal capres-cawapres, Gibran punya peluang besar buat berkontestasi.
Gibran berulang kali masuk dalam bursa cawapres bakal capres Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
Bahkan, PDI Perjuangan juga membuka peluang buat Gibran jadi bakal cawapres Ganjar Pranowo.
Prabowo maupun Ganjar hingga kini belum mengumumkan bakal cawapres masing-masing.
Padahal, pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2024 tinggal beberapa hari, yakni 19-25 Oktober 2023.
Saat ditanya kesediaannya menjadi cawapres, Gibran menyatakan usianya belum cukup.
Meski begitu, politisi PDI-P itu tak menjawab tegas mengenai kemungkinan MK menurunkan batas usia cawapres.
“Kita tunggu saja keputusannya dari MK,” kata Gibran dalam program Rosi yang ditayangkan Kompas TV, Kamis (28/7/2023).
Kini, hubungan kekerabatan Ketua MK Anwar Usman dengan keluarga Jokowi jadi sorotan.
Anwar adalah suami dari adik kandung Jokowi, Idayati.
Maka, Anwar merupakan adik ipar Jokowi, sekaligus paman Gibran.
Anwar dan Idayati menikah pada 26 Mei 2022 lalu.
Saat itu, banyak yang meminta Anwar mundur dari MK demi mencegah konflik kepentingan.
Meski begitu, hingga kini Anwar tetap menduduki pucuk kepimpinan MK. Ia pun berulang kali berjanji tetap independen sebagai hakim konstitusi, sekalipun kini jadi keluarga besar Jokowi.
"Tidak ada karena hubungan kekeluargaan lalu mengorbankan amanah atau kalau saya, Islam, mengorbankan amanah Allah SWT, mengorbankan amanah Undang-undang Dasar," ujar Anwar setelah disumpah sebagai Ketua MK 2023-2028, memasuki periode keduanya, Senin (20/3/2023).
Mengenai hal ini, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menilai, uji materi ketentuan batas usia capres-cawapres di MK memasuki episode kritis dan membahayakan.
Sebab, pemohon tidak hanya meminta MK menurunkan batas usia capres-cawapres.
Ada juga yang meminta MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun maju sebagai capres atau cawapres jika punya pengalaman sebagai kepala daerah.
Jika ditarik garis besar, sejumlah uji materi ini sarat akan nuansa politis, utamanya kepentingan dinasti politik keluarga Jokowi.
“Deretan permohonan uji materi ini bukan lagi ditujukan untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga, tetapi diduga kuat dilandasi nafsu kuasa keluarga Jokowi dan para pemuja Jokowi yang hendak mengusung Gibran Rakabuming Raka, yang belum genap 40 tahun, sebagai cawapres Prabowo,” kata Hendardi kepada Kompas.com, Selasa (10/10/2023).
Baca: Mahkamah Konstitusi (MK)
Hendardi mengatakan, puluhan pakar dan pegiat hukum-konstitusi sedianya telah mengingatkan bahwa aturan tentang batas usia seseorang menduduki jabatan bukanlah isu konstitusional, melainkan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Seharusnya, ketentuan syarat usia capres-cawapres tidak diuji MK.
Maka, semua pihak diharap mengingatkan dan mengawal MK agar tidak menjadi instrumen legalisasi kandidasi yang menopang dinasti politik Jokowi.
“Jika MK mengabulkan permohonan ini, maka MK bukan hanya inkonsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, tetapi juga kehilangan integritas dan kenegarawanan,” kata Hendardi.
“MK akan menjadi penopang dinasti Jokowi, jika karena putusannya, Gibran bisa berlaga dan memenangi pilpres. Ini adalah cara politik terburuk yang dijalankan oleh penguasa dari semua Presiden yang pernah menjabat,” tuturnya.
Lebih lanjut, Hendardi menyebut, sulit buat publik tidak mengaitkan hubungan kekerabatan Anwar Usman dengan keluarga Jokowi dalam perkara ini. Apalagi, jika kelak putusan MK dianggap menguntungkan Jokowi dan dinasti politiknya.
Dengan situasi demikian, tak heran jika kini MK dilabeli sebagai “Mahkamah Keluarga”.
“Itu semakin menguatkan tudingan orang tentang ‘Mahkamah Keluarga’,” katanya.
Hendardi mengatakan, MK harus tahan ujian di tahun politik, terkhusus soal gugatan syarat usia minimum capres-cawapres yang kini menanti diputus.
"Meskipun sebagian orang telah meragukannya, MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam pemilu, saat para penyelenggaran Pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi," kata Hendardi.
"MK juga yang bisa menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang terlanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui praktik vetocracy di hampir semua kebijakan negara," lanjutnya.