Hal itu Puan Maharani ungkapkan dalam acara Rosi Kompas TV, dikutip Jumat (13/1/2023).
Cucu Presiden pertama Indonesia ini mengaku bingung sering mendapatkian komen negatif dari masyarakat.
Meskipun dirinya sudah bekerja turun ke masyarakat dan berusaha mengentaskan berbagai persoalan namun masih tetap saja dapat komentar tak enak
"Merasalah (banyak orang tak suka). Bingung juga, nggak tahu kenapa. Kayaknya sudah berusaha kerja benar, turun ke bawah, kemudian kerja ke lapangan," jelas Puan, dikutip dari Kompas.
Baca: Puan Maharani Bocorkan Obrolan Megawati dan SBY Saat Duduk Satu Meja di Jamuan Makan KTT G20
Baca: Megawati : Bukannya Sombong, Hanya Saya Anak Presiden yang Lahir di Istana
Anak Megawati Soekarnoputri ini mengklaim dirinya berusaha menyapa rakyat, mendengar aspirasi warga, juga mengetahui kondisi masyarakat di lapangan.
Ia mengatakan dirinya memang tidak bisa menyelesaikan semua masalah yang menurutnya begitu banyak.
Puan juga merasa meski bekerja keras namun tetap selalu salah dalam perspektif sejumlah masyarakat.
Tidak semua langkah dan kebijakan, lanjut Puan, yang ia ambil bisa menyenangkan banyak orang.\
Puan Maharani juga mengklaim dirinya akan tetap bekerja keras untuk memajukan kesejahteraan rakyat meski dapat banyak komentar miring.
"Kayaknya memang yang udah nggak suka tetep aja nggak suka. Udah nggak lihat lagi apa yang dilakukan oleh Puan Maharani, tapi dia selalu salah aja," kata Ketua DPR RI itu.
"Kan kita juga nggak bisa bikin senang semua orang suka, jadi saya terus aja jalan, terus aja turun ke bawah, menyapa masyarakat, ketemu dengan masyarakat. Udah itu aja yang bisa saya lakukan," lanjutnya.
Puan Maharani menyebut calon presiden atau capres PDI-P tak harus dirinya.
Hal itu meski dirinya adalah anak dari Megawti Soekarnoputri.
Ia yakin Megawati akan memilih kader PDI-P terbaik untuk dicalonkan menjadi presiden di Pemilu 2024
Informasi tersebut disampaikan Puan dalam acara Rosi Kompas TV, Jumat (13/1/2023).
Ketua DPR RI ini mengaku tak mendapat perlakuan istimewa meski anak dari Megawati.
Ia juga mengklaim tak pernah meminta jabatan apapun ke ibunya.
Baca: Seloroh Megawati Soal Nasib Jokowi : Kalau Enggak Ada PDI-P, Kasihan
Baca: Sekjen Ungkap Megawati Siapkan Kejutan untuk HUT PDI-P, Beredar Spekulasi Soal Pengumuman Capres
"Saya merasa tidak ada privilese untuk saya karena memang selalu ditugaskan turun ke bawah, kerja yang benar, yang kuat, yang sabar, yang tabah dalam menghadapi semua tantangan ke depan, itu saya jalani," jelas cucu Presiden pertama ini, dikutip dari Kompas.
Puan Maharani mengatakan, ibunya bisa membedakan peran ibu dan ketua umum partai.
Ia melanjutkan apa yang ditugaskan padanya karena perintah Megawati percaya pada kemampuannya.
Putri Megawati ini mengaku tidak mudah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dia emban saat ini dan harus berjuang keras untuk membuktikan kemampuannya.
"Saya harus buktikan dengan kerja keras, bukan hanya duduk saja dengan karpet merah. Aduh, berat, bukannya gampang untuk menjadi seseorang Puan Maharani," katanya.
Puan juga mengklaim tak tahu capres PDI-P yang akan dipilih ibundanya dan kapan akan diumumkannya.
Siapapun yang dipilih Megawati, kata Puan, karena kemampuannya, bukan alasan kedekatan.
"Kembali lagi ini bukan urusan anak, ini urusannya kemudian bagaimana memunculkan seorang pemimpin untuk bangsa dan negara," kata Puan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) tersebut harus patuh saat ditugaskan turun ke lapangan bertemu langsung dengan masyarakat seperti kader PDI-P lain.
"Ini bukan tentang anak, bukan, tapi ya seorang kader yang dianggap mumpuni dan bisa mampu untuk ditempatkan dalam posisi tertentu," ujarnya.
Baca: Jokowi Tegaskan PDI-P Belum Putuskan Kandidat Capres, Termasuk Puan Maharani : Tanya Bu Mega
Sebagai informasi, Puan Maharani Nakshatra Kusyala atau yang lebih sering disapa Puan Maharani merupakan politikus perempuan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P).
Puan Maharani lahir di Jakarta pada 6 September 1973.
Puan Maharani adalah anak dari pasangan Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas.
Megawati Soekarnoputri sendiri merupakan Presiden Indonesia kelima sekaligus putri dari presiden pertama, Ir Soekrno.
Puan Maharani menikah dengan seorang pengusaha ternama, Hapsoro Sukmonohadi atau akrab dengan nama Happy Hapsoro.
Dari pernikahan itu, Puan Maharani dan Happy Hapsoro dikaruniai dua orang anak, Praba Diwangkara Caraka Putra Soma dan Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari.
Puan Maharani mengenyam pendidikan pertamanya di SD Perguruan Cikini.
Puan Maharani lulus dari SD Perguruan Cikini ketika usianya 12 tahun pada 1985.
Lulus dari SD, Puan Maharani kemudian melanjutkan ke SMP Perguruan Cikini dan SMA Perguruan Cikini.
Setelah lulus dari SMA pada 1991, Puan Maharani kemudian melanjutkan ke Universitas Indonesia (UI) mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, FISIP.
Puan Maharani berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya pada 1997.
Lahir di tengah keluarga politik mendorong Puan Maharani untuk terjun ke dunia politik.
Ibunya, Megawati Soekarnoputri adalah presiden keliam RI sekaligus Ketua Umum PDIP, sementara sang ayah, Taufiq Kiemas adalah Ketua MPR ke-12.
Sejak kecil, Puan Maharani tidak pernah lepas dari suasana politik.
Baca: Sekjen Ungkap Megawati Siapkan Kejutan untuk HUT PDI-P, Beredar Spekulasi Soal Pengumuman Capres
Baca: Anggota Partai PDIP Dilarang Bicara Soal Capres Cawapres, Hasto Sebut Itu Kewenangan Megawati
Simbol negara, lambang dan bendera partai adalah pemandangan sehari-hari bagi Puan Maharani.
Secara resmi Puan Maharani terjun ke dunia politik pada usia 33 tahun.
Meski begitu, sejak masih SD, SMP, SMA, atau kuliah Puan Maharani sudah terbiasa menyaksikan kerasnya dunia perpolitikan yang tengah dihadapi keluarganya.
Tidak hanya menyaksikan, Puan Maharani juga ikut berkeliling dan mendampingi Megawati saat melawan kekuasaan Soeharto.
Pendidikan politiknya terus diasah ketika ia bergabung dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di bidang luar negeri sebelum akhirnya bergabung dengan partai ibunya di PDIP.
Setelah pendidikan politiknya dirasa cukup, Puan Maharani kemudian mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI unuk Dapil Surakarta, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali pada Pemilu Legislatif 2009.
Hasilnya, Puan Maharani memperoleh suara terbanyak dan lolos ke Senayan untuk masa periode 2009 – 2014.
Tidak hanya itu, Puan Maharani juga didaulat menjadi Ketua Fraksi PDIP menggantikan Tjahjo Kumolo yang sudah menjabat selama Sembilan tahun.
Selanjutnya, Puan Maharani kembali terpilih dalam Pemilihan Legislatif periode selanjutnya.
Kemampuan di bidang politik yang sudah dinilai matang kemudian membuat Puan Maharani ditunjuk sebagai Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga DPP PDIP.
Pada Pemilu 2014, Puan Maharani ditunjuk sebagai panglima perang PDIP, hasilnya PDIP berhasil memenangi Pemilu 2014 dengan perolehan suara terbanyak.
Kariernya kemudian berlanjut ketika presiden terpilih pada Pemilu 2014, Joko Widodo menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Puan Maharani menjadi Menko termuda pada usia 41 tahun sekaligus menjadi orang pertama yang mengisi kementerian baru itu.
Ketika menjabat sebagai Menko PMK, Puan Maharani sempat menjadi perbincangan publik karena rencananya untuk mendatangkan guru dari luar negeri.
Hal ini dianggap oleh publik bahwa Puan Maharani hendak mengimpor guru asing.
Hal tersebut kemudian ditanggapi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy.
Muhadjir Effendy mengatakan bahwa maksud Puan Maharani bukanlah mengimpor guru asing, melainkan mendatangkan guru dari luar negeri untuk melatih guru-guru maupun instruktur yang ada di dalam negeri.
Baca: Respons Jokowi Saat Ditanya Soal PDI-P yang Minta 2 Menteri Nasdem Dievaluasi
Menurutnya, hal itu bertujuan untuk meningkatkan kemahiran instruktur atau guru Indonesia, hal itu dinilai lebih efisien daripada harus mengirim guru atau instruktur Indonesia ke luar negeri.
Muhadjir Effendy juga membantah kabar bahwa Puan Maharani hendak mengimpor guru, melainkan mengundang guru atau instruktur luar negeri untuk program Training of Trainers.
Puan Maharani juga sempat menjadi sorotan publik karena pernyataannya yang meminta agar rakyat miskin diet dan melarang mereka banyak makan.
Insiden terputusnya interupsi karena mikrofon mati dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani kembali terulang.
Peristiwa itu terjadi pada hari ini, Selasa (24/5/2022), saat anggota Komisi VI DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Amin AK sedang menyampaikan interupsi.
Puan hendak menutup rapat paripurna karena telah melewati batas waktu yang ditentukan selama pandemi Covid-19.
Kemudian, memasuki waktu shalat zuhur.
Meski demikian, Amin tiba-tiba meminta waktu kepada Puan untuk menyampaikan interupsi.
"Tolong Pak, tadi saya sudah sampaikan, sudah masuk (waktu) acara shalat zuhur," jawab Puan.
"Pimpinan, interupsi, interupsi Pimpinan, satu saja," kata Amin, dikutip dari Kompas.com.
Puan lalu memberikan kesempatan Amin untuk berbicara maksimal 1 menit.
Hanya, Amin meminta waktu selama 4 menit.
Puan lantas keberatan.
"(Rapat paripurna) sudah 3 jam," kata Puan.
Dalam interupsi itu, Amin mempersoalkan ketiadaan aturan hukum yang mengatur larangan terhadap seks bebas dan penyimpangan seksual.
Dirinya juga mendorong revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ketentuan tindak pidana kesusilaan secara lengkap.
Setelah kurang lebih 3 menit berbicara, suara Amin tiba-tiba menghilang.
Lampu mikrofon yang terletak di hadapannya yang terlihat mati membuatnya kebingungan.
Puan kemudian berbicara untuk menutup rapat paripurna dan menyampaikan terima kasih kepada seluruh peserta rapat.
Sementara, Amin terus meminta waktu melanjutkan interupsi.
Puan tidak menggubris permintaan Amin.
"Dengan seizin sidang dewan, maka perkenankan kami menutup rapat paripurna dengan ucapan alhamdulillahi rabbil alamin, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, om shanti shanti om, namo budhaya," kata Puan sambil mengetuk palu.
Peristiwa tersebut sudah beberapa kali terjadi.
Pertama ketika rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, 5 Oktober 2020 lalu. Saat itu, pimpinan DPR mematikan mikrofon saat Fraksi Partai Demokrat menyampaikan interupsi terkait sikapnya yang menolak UU Cipta Kerja.
Peristiwa serupa kembali terjadi pada rapat paripurna terkait persetujuan Jenderal (TNI) Andika Perkasa sebagai panglima TNI, 8 November 2021.
Ketika itu, anggota Komisi X dari Fraksi PKS Fahmi Alaydroes menjadi 'korbannya'.