Mereka dituding mencuri tandan buah segar (TBS) di Areal Divisi 7 Lahan Eks HGU PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) yang dikelola PT Daria Dharma Pratama (DDP) .
Kepala Bidang Humas Polda Bengkulu Kombespol Sudarno mengatakan, mereka yang mengeklaim tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS) Kecamatan Malin Deman melakukan panen massal yang dikoordinasikan dalam sebuah grup WhatsApp.
Pihak perusahaan lalu mengadukan kejadian itu ke polisi.
Polisi mendatangi lokasi untuk menangkap 40 orang, serta menyita belasan mobil pikap, egrek alat pemanen sawit, dan sejumlah barang bukti lainnya.
"Mereka yang berjumlah 40 orang ini terbukti melakukan tindak pidana pencurian sehingga dilakukan penangkapan dan ditetapkan tersangka oleh penyidik Polres Mukomuko. Selain tersangka, juga diamankan berikut barang buktinya," kata Sudarno, Sabtu (14/5/2022), dikutip dari Kompas.com.
Kuasa hukum para petani, Direktur Akar Law Office (ALO) Zelig Ilham Hamka dan rekan kuasa hukum P3BS, menyayangkan penetapan tersangka 40 petani tersebut.
Dia mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyelesaikan persoalan sengketa lahan melalui skema reforma agraria.
"Petani ditetapkan Pasal 363 KUHP dengan ancaman penjara tujuh tahun. Kami menyesalkan penetapan tersangka ini karena persoalan ini tidak masuk ke ranah pidana, karena konflik ini sedang diselesaikan dalam skema reforma agraria yang juga ditetapkan oleh negara. Sementara menunggu upaya itu banyak penangkapan oleh aparat terhadap petani," ujar Zelig kepada Kompas.com, Sabtu (14/5/2022).
Kuasa hukum juga memprotes para petani dipaksa membuka baju dan tangan diikat saat penangkapan.
Pihak kuasa hukum berniat untuk mengajukan penangguhan penahanan serta menyiapkan gugatan praperadilan.
Menurut Zelig, penangkapan tersebut tidak sesuai prosedur.
Zelig mengatakan, konflik lahan antara 187 petani dan PT DDP terjadi sejak 17 tahun lalu.
Dia menyebutkan, tak ada penyelesaian adil dari pemerintah, bahkan 187 petani itu disebut sering menerima kekerasan dan ketidakadilan oleh aparat penegak hukum serta ketidakpedulian pemerintah.
Baca: Kasus Suap Bupati Bogor Ade Yasin, KPK Tetapkan 8 Tersangka
Baca: Begini Awal Mula Pengungkapan Kasus Penyelundupan 121,985 Ton Minyak Goreng ke Timor Leste
Zelig menjelaskan, masyarakat mengeklaim tanah yang mereka miliki diambil oleh PT DDP berawal pada tahun 1995.
Tanah yang dimaksud ialah tanah petani yang ditanami jengkol, padi, kopi, dan lainnya, yang diambil perusahaan bernama PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1.889 hektar.
Meski demikian, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditas kakao seluas 350 hektar.
Sisanya, tanah tidak ditanami hingga tahun 1997.
Dari tahun 1995 hingga 1997, tanah yang tidak digarap PT BBS digarap kembali oleh warga yang mengaku tidak mendapatkan ganti rugi.
"Dua tahun PT BBS tak memanfaatkan tanah yang mereka ambil dari petani. Merasa tak pernah dapat ganti rugi lahan, petani ambil lagi tanahnya," jelas Zelig.
Lalu, pada tahun 2005, lahan HGU PT BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diambil alih oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT DDP dan PT BBS.
Bermodalkan klaim tersebut, PT DDP melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU telantar PT BBS dengan melakukan penanaman komoditas sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.
Masyarakat terus bertahan hingga saat ini.
Zelig mengatakan, selama bertahan, masyarakat mengupayakan pada pemerintah agar tanahnya kembali dimiliki, tapi selalu gagal.
Kemudian pada Maret 2022, polisi dan Brimob mengawal PT DDP melakukan aktivitas perkebunan.
Saat itu, ada 13 petani yang pondok kebunnya terbakar, satu warga mendapatkan pemukulan dan penangkapan tidak prosedural.
Lalu, pada Kamis (12/5/2022), puluhan petani memanen sawit di lahan yang mereka klaim miliknya dan bertepatan dengan pihak perusahaan yang juga sedang memanen di lahan yang sama.
Humas PT DDP, Samirana, mengatakan, pihak perusahaan memiliki legalitas yang jelas secara hukum di lahan tersebut.
Sudah beberapa kali manajemen perusahaan menjelaskan kepada masyarakat bahwa tanah yang mereka kelola dibebaskan secara hukum.
"Tidak ada sejengkal pun tanah mereka itu. Mereka cuma mengaku-ngaku saja. Kami bebaskan tanah itu secara hukum dengan musyawarah dan ganti rugi. Mereka mengaku-ngaku," jelas Samirana.
Mereka meminta bantuan pihak Brimob demi mengamankan perkebunan karena beberapa petugas keamanan PT DDP pernah mendapat intimidasi dan dipukuli masyarakat.