Ini lantaran Richard menyebut Taiwan sebagai sebuah negara saat berkunjung ke Taipei, Jumat (8/10/2021).
Cina yang menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya, bukan negara, tidak terima dengan ucapan Richard.
Hingga saat ini Taiwan yang bernama resmi Republik Cina belum diakui oleh mayoritas negara di dunia.
Dilansir dari Reuters, (9/10/2021, kedutaan Taiwan biasanya menggunakan nama "Taipei" untuk menyebut Taiwan.
Ini untuk memastikan bahwa negara-negara yang memiliki kedutaan Taiwan tidak membuat marah Cina.
Sehari sebelumnya, Richard yang merupakan mantan Menteri Pertahanan Prancis, 1997—2002, bertemu dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.
Kepada Tsai, Richard mengatakan kantor perwakilan Taiwan di Paris telah melakukan "kerja yang sangat bagus dalam mewakili negara Anda".
Baca: Xi Jinping Bersumpah Wujudkan Reunifikasi Cina dan Taiwan secara Damai
Zhao Lijian, Juru Bicara Menteri Luar Negeri Cina, segera menanggapinya.
Zhao mengatakan ucapan yang menyebutkan Taiwan sebagai sebuah negara adalah pelanggaran terhadap konsensus internasional secara terang-terangan.
"Cina sangat mengutuk dan menentang keras hal ini," kata Zhao dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Richard mengatakan penyebutan kedutaan Taiwan merupakan persoalan pelik.
"Ini adalah isu diplomatik yang tajam, tetapi saya sadar bahwa adalah bahwa nama pulau ini dan negara ini adalah Taiwan," kata Richard.
Richard mengatakan tidak ada alasan yang mencegah Taiwan menggunakan nama negara Taiwan.
Prancis hingga kini hanya memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Cina, bukan Taiwan.
Baca: 28 Pesawat Tempur Berkemampuan Nuklir Milik Cina Masuki Zona Pertahanan Udara Taiwan
Meski demikian, negara Eropa itu tetap mempertahankan kedutaan secara de facto di Taiwan.
Sementara itu, Presiden Cina Xi Jinping pada Sabtu, (9/10/2021), bersumpah akan mewujudkan "reunifikasi" Cina dengan Taiwan secara damai.
Belakangan ini hubungan Cina dengan Taiwan bertambah panas karena puluhan jet tempur Cina melewati zona pertahanan udara Taiwan.
Taiwan menanggapi aksi provokatif itu dengan menyerukan Beijing untuk menghentikan tindakan pemaksaannya.
Negara pimpinan Tsai Ing-wen itu mengatakan warga Taiwan-lah yang berhak menentukan masa depannya sendiri.
Namun, dalam pidatonya pada peringatan 110 tahun Revolusi Xinhai, Xi tidak secara langsung menyebutkan aksi pemaksaan itu.
Baca: Bukan karena Serangan Militer, Hubungan Cina dan Taiwan Semakin Menegangkan Gara-gara Nanas
Taiwan mendapat paksaan secara politik dan militer dari Beijing agar mengakui kedaulatan Cina atas wilayah Taiwan.
Xi menyatakan orang Cina memiliki "tradisi luhur" menolak separatisme.
"Separatisme Taiwan adalah halangan terbesar dalam mencapai reunifikasi dengan negara induk, dan merupakan bahaya besar yang tak terlihat terhadap pemulihan," kata Xi dikutip dari Reuters.
Reunifikasi secara damai, kata Xi, paling sesuai dengan kepentingan rakyat Taiwan.
Namun, Cina akan mempertahankan kedaulatan dan kesatuannya.
"Tak ada yang boleh meremehkan kebulatan tekat, kemauan besar, dan kemampuan kuat yang dimiliki rakyat Cina untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas wilayahnya,"
Presiden itu menyatakan reunifikasi Taiwan dengan Cina harus diwujudkan.
Baca: Kembali Tegang, Taiwan Kerahkan Rudal Setelah Jet Tempur Cina Masuk Zona Udara Taiwan
Ucapan Xi ini terdengar lebih halus daripada pernyataannya pada bulan Juli lalu.
Saat itu dia menyatakan akan "menghancurkan" segala usaha Taiwan mendapatkan kemerdekaan resmi.
Bahkan, pada tahun 2019 Xi pernah mengancam akan menggunakan kekerasan agar Taiwan berada di bawah kekuasaan Cina.
Namun, ancaman Xi tersebut hanya tidak diindahkan di Taiwan.
Pemerintah Taiwan mengatakan bahwa Taiwan adalah negara merdeka yang berdaulat dan bukan bagian wilayah Cina.
Taiwan juga dengan tegas menolak tawaran Cina untuk memberlakukan sistem "satu negara, dua sistem" terhadap Taiwan.
Baca berita lainnya tentang Taiwan di sini.