Namun, institusi pertahanan negara tersebut tidak langsung berdiri dengan nama TNI, namun dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Dikutip dari Kompas.com, BKR adalah bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan di Jakarta pada Agustus 1945.
BKR memiliki tugas sebagai pemelihara keamanan bersama rakyat dan badan negara yang baru terbentuk setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dari buku Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional (1992) karya F Sugeng Istanto, BKR dibentuk pada 22 Agustus 1945.
BKR diumumkan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945.
Setelah pembentukan BKR, para pemuda dan mantan anggota PETA, Kaprawi, Sutaklasana, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrachman, Machmud dan Zulkifli Lubis, merumuskan struktur BKR sesuai dengan teritorial pendudukan Jepang.
Meski dibentuk kalangan pemuda, rupanya sebagian pemuda tidak setuju dengan BKR.
Mereka memilih untuk membentuk badan perjuangan sendiri, seperti Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia di Bandung, Angkatan Muda Indonesia di Surabaya, Balai Penerangan Pemuda Indonesia di Padang, dan masih banyak lainnya.
Alhasil, BKR sendiri hanya berusia jagung sebelum diganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Kemudian, TKR didirikan Pemerintah Indonesia pada 5 Oktober 1945.
Pembentukan angkatan perang ini bertujuan untuk mengatasi situasi yang mulai tidak aman karena tentara Sekutu kembali datang ke Indonesia.
Berdirinya TKR bermula dari penerbitan maklumat tentang pembentukan tentara kebangsaan.
Wakil Presiden Mohammad Hatta memanggil mantan perwira KNIL, Urip Sumohardjo untuk menyusun organisasi tentara.
Lalu, pada 6 Oktober 1945, pemerintah mengangkat Supriyadi, tokoh PETA, organisasi buatan Jepang, di Blitar, untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat.
Markas tertinggi TKR awalnya ditetapkan di Purwokerto, namun dipindahkan di Yogyakarta dengan sejumlah pertimbangan.
Baca: Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Baca: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL)
Pada 26 Januari 1946, nama TKR berubah menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI) berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 4/SD Tahun 1946.
Perubahan nama ini didasari dengan keberadaan laskar perjuangan dan barisan bersenjata yang dibentuk oleh rakyat Indonesia di daerah masing-masing.
Maka, Pemerintah Indonesia ingin menegaskan bahwa satu-satunya organisasi militer yang ada di Indonesia adalah TRI.
Hanya saja, eksistensi TRI juga tidak berlangsung lama.
Sebab pada 3 Juni 1947, Presiden Soekarno kembali mengubah nama TRI menjadi TNI, sekaligus menjadi peleburan dari berbagai laskar perjuangan dan barisan bersenjata TRI.
Sejak resmi didirikan, kiprah TNI langsung diuji dengan munculnya berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri.
TNI harus berdimensi politik maupun dimensi militer, bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI di bawah pengaruh mereka.
Tantangan tersebut terjadi ketika TNI menghadapi pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat.
Seiring berjalannya waktu, angkatan perang dan institusi kepolisian disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962.
Namun, tantangan kembali datang, puncaknya ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Di sisi lain, pergolakan politik di Indonesia pada 1998 turut berdampak pada institusi ABRI.
Pada 1 April 1999, Pemerintah Indonesia memisahkan unsur yang ada di dalam ABRI, yakni TNI dan Polri.
Kedua institusi ini kemudian menjalan roda organisasinya secara masing-masing, yang masih terjadi hingga kini.