Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Tari Bantengan adalah tari khas Malang yang tokoh utamanya adalah topeng banteng.
Di dalam topeng banteng besar tersebut ada dua orang yang memainkannya.
Satu pemain menjadi kaki depan dan pengontrol kepala banteng, satunya lagi menjadi kaki belakang dan ekor.
Dalam praktiknya, kesenian Bantengan ini adalah sebuah seni budaya tradisi yang didalamnya tergabung beberapa unsur, termasuk sendra tari, olah kanuragan, musik, hingga syair atau mantra yang kental dengan nuansa magis.
Pelaku Bantengan meyakini bahwa permainan mereka lebih menarik apabila telah memasuki tahap kerawuhan atau kerasukan, di mana sang pemegang kepala banteng kesurupan arwah leluhur atau yang lazim disebut Dhanyangan. (1)
Baca: Tari Barong Blora
Makna
Bantengan adalah kesenian komunal yang berarti melibatkan banyak orang di dalamnya.
Hal ini turut menggambarkan sifat kehidupan hewan banteng yang gemar berkoloni atau berkelompok.
Dari sini, kebudayaan bantengan berfungsi untuk membentuk perilaku masyarakat pendukungnya untuk selalu hidup dalam nuansa keguyupan, gotong royong, serta selalu menjunjung tinggi rasa persatuan.
Rasa persatuan dalam kebudayaan Bantengan terutama terlihat di budaya anjang sana, anjang sini yaitu budaya balas budi antar kelompok.
Singkatnya, kelompok-kelompok Bantengan secara bergantian meramaikan acara di daerah lain, setelah sebelumnya mengundang kelompok daerah lain untuk meramaikan acara di daerahnya. (2)
Baca: Tari Ebeg (Tari Kuda Lumping)
Sejarah
Keberadaan kesenian ini diyakini cikal-bakalnya telah ada sejak zaman kerajaan Singosari.
Anggapan tersebut didasarkan pada relief yang ada di Candi Jago, Tumpang, Kabupaten Malang.
Di candi tersebut ditemukan dua relief, yang pertama menggambarkan sebuah pertunjukan banteng melawan macan, sementara yang lain menggambarkan adanya tarian yang menggunakan topeng berkepala banteng.
Bahkan jauh sebelum itu, perihal penggambaran kesenian ini juga telah dikabarkan sejak zaman Jenggala, Kahuripan atau bahkan abad-abad sebelumnya.
Mengenai hal ini, maka bisa menimbang beberapa skrip para pujangga baik yang tertulis di prasasti maupun skrip layang-lontar.
Baca: Tarian Jawa
Beberapa di antaranya Danur Weda, Babat Purwa Kerti, Lungkonanta, Suluk Plencong, Asna Weda serta Jati Panuluh.
Selanjutnya, kesenian Bantengan pun terlahir kembali dengan menjadi bagian dari kesenian Pencak Silat untuk kemudian menjadi sebuah pertunjukan mandiri seiring dengan animo masyarakat terhadapnya.
Setidaknya ada dua versi mengenai asal-usul daerah yang pertama kali melestarikannya, pertama berasal dari Kota Batu (Malang) dan yang kedua adalah berasal dari Pacet (Mojokerto).
Dari catatan yang bersifat tutur, tersebutlah seorang pendekar dari Kota Batu (dahulu masih menjadi bagian dari Kabupaten Malang) yang bernama Saimin.
Disebutkan bahwa ia yang membawa kesenian ini yang selanjutnya bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet untuk mengembangkannya di wilayah Pacet.
Di Batu, kesenian Bantengan telah dimulai dari masa perjuangan.
Di masa itu, pemuda di sana banyak yang “nyantri” ilmu kanuragan Pencak Silat di pondok pesantren di daerah Jombang.
Ketika selesai, mereka pun pulang dan mendirikan padepokan Pencak Silat.
Agar banyak yang tertarik mempelajari seni bela diri tersebut, mereka pun membuat sebuah kesenian dengan penokohan hewan banteng melawan macan.
Penokohan tersebut bukanlah tanpa makna, hewan banteng yang cenderung hidup berkoloni melambangkan rakyat jelata, sementara macan mewakili penjajah Belanda.
Di samping kedua penokohan tersebut, ada satu lagi yakni penokohan monyet sebagai lambang provokator.
Monyetan selalu berusaha memprovokasi banteng dan macan agar keduanya selalu bertarung.
Meski awalnya kesenian ini hanyalah merupakan pelengkap seni bela diri Pencak Silat, namun lambat laut berkembang menjadi kesenian yang berdiri sendiri di luar Padepokan Pencak Silat.
Setelah berkembang pesat di Batu, selanjutnya menyebar ke wilayah di sekitaran pegunungan Arjuno-Welirang, khususnya Pacet, Mojokerto karena letak antara Batu dan Pacet berdekatan.
Apabila merujuk pada Surabaya Post, 1997, kesenian ini berasal dari Pacet, tepatnya di Desa Claket.
Pendapat ini bersumber dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan Seni Bantengan di Claket hingga selanjutnya menyebar dan berkembang pesat di sekitaran Pacet.
Di sisi lain, ada juga yang mengatakan dari Jatirejo dan Trawas.
Mbah Siran adalah mandor hutan di masa Belanda yang juga seorang pendekar Pencak Silat yang energik dan kharismatik.
Dikisahkan, ia menemukan bangkai banteng di tepi hutan yang kemudian di bawanya pulang serta dibersihkan tengkoraknya.
Melalui tengkorak tersebut, tercetuslah ide untuk melengkapi kesenian Pencak Silat yang pada saat itu sudah tidak menarik lagi.
Pada masa awal, tengkorak banteng itulah yang digunakan sebagai topeng Bantengan.
Selanjutnya, kesenian yang baru itu diberi nama “Bantengan” dan menjadi bagian dari pertunjukan Pencak Silat sehingga atraksi yang ditampilkan menjadi lebih bervariasi.
Biasanya kalau dipertunjukkan di tempat tertentu, Seni Bantengan masih lengkap dengan Pencak Silat, namun apabila diundang untuk meramaikan karnaval atau sejenisnya, Bantengan dipertunjukkan sebagai kesenian yang mandiri.
Dalam perkembangannya, Bantengan menjadi salah satu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat.
Keadaan itu turut memunculkan kelompok-kelompok Bantengan baru yang turut meramaikannya.
Di Kecamatan Pacet sendiri, diperkirakan telah ada 17 kelompok yang tersebar di desa-desa, termasuk Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Barakan, dan lain-lain. (3)
Baca: Tari Gambir Anom
Musik Pengiring
Kesenian Bantengan diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas Bantengan dengan menggunakan alat musik berupa gong, kendang dan lain-lain. (4)
Baca: Tari Adat Ujungan
Pementasan
Tari Bantengan ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, satu dibagian depan berperan sebagai kepala, sementara satunya lagi di bagian belakang sebagai ekornya.
Menariknya, hampir selalu di setiap pertunjukan, pemain depan akan kesurupan sehingga orang di belakangnya berusaha mengikuti setiap gerakannya.
Pertunjukan Bantengan yang energik semakin menarik dengan keberadaan dua Macanan yang dibawakan oleh pemain laki-laki bertopeng dan berkostum layaknya harimau (biasanya kuning belang orange).
Meskipun keberadaannya cenderung difungsikan untuk membantu sang banteng yang kesurupan atau menahannya bila sudah tak terkendali.
Namun, tidak jarang pula Macanan juga ikut kesurupan.
Apabila keadaan sudah semakin tak terkendali, hadir seorang pamong yang memimpin dengan membawa kendali berupa cambuk.
Selain Macanan, juga ada Monyetan yang berperan sebagai provokator atau lebih sebagai pengganggu peran utama (Bantengan).
Selebihnya, setiap pertunjukan Bantengan, biasanya akan ada sesepuh atau orang tua yang memiliki kelebihan dalam hal memanggil dan mengembalikan leluhur Bantengan atau Dhanyangan.
Perangkat lain yang terlibat, termasuk pemain jidor, gamelan, pengrawit, serta sinden (setidaknya 1 orang pada setiap posisi). (5)