Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Tari Ujungan merupakan salah satu tarian adat tradisional dari masyarakat Banjarnegara, khususnya di wilayah Gumelem.
Tarian ini masih rutin dilaksanakan oleh masyarakat Gumelem.
Tari ini awalnya merupakan bentuk doa dan usaha masyarakat Banjarnegara dalam memohon diturunkannya hujan oleh Yang Maha Kuasa ketika musim kemarau panjang.
Melalui ritual ini, para lelaki terpilih saling memamerkan kekuatan “atosing balung, wuleding kulit” (kerasnya tulang, kuatnya kulit) yang dipadu dengan tindakan estetis.
Sekilas tari Ujungan semacam olahraga tradisional yang cukup keras, menggunakan sebatang rotan untuk memukul lawannya pada bagian paha ke bawah.
Masyarakat percaya bahwa makin banyak darah yang ke luar, maka makin cepat hujan akan turun. (1)
Baca: Tari Emprak
Sejarah
Ada beberapa pendapat yang populer mengenai asal tari Ujungan.
Pada pendapat yang pertama, kata "Ujungan" disebut berasal dari kata “ngujung” yang berarti sowan, sungkem, sujud, atau menyembah.
Ini karena pada intinya pelaksanaan upacara adat Ujungan adalah memohon turunnya hujan kepada Tuhan.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa ujungan merupakan pertandingan antara dua orang dengan cara saling pukul dengan menggunakan rotan yang disebut dengan istilah ujung.
Baca: Tarian Jawa
Secara filosofis, "Ujungan" berasal dari kata ujung yang berarti puncak yang merupakan bentuk dari puncak kehendak manusia yang menginginkan datangnya hujan bagi kelestarian hidup manusia.
Pendapat lain mengatakan bahwa tari Ujungan berasal dari bentrok fisik antarpetani Desa Gumelem dan Penerusan.
Area sawah yang saling berbatasan antara kedua daerah tersebut membuat sering terjadi konflik dalam memperebutkan air bersih antara kedua desa dan berunjung dengan perkelahian.
Pada akhirnya sesepuh desa mempunyai ide untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara mengadu warga yang mempunyai kekuatan fisik prima atau kekuatan ilmu satu lawan satu sebagai lawan desa masing-masing.
Pemenang akan berhak mengatur suplai air ke sawah-sawah kedua desa.
Baca: Tari Loro Blonyo
Pertarungannya sendiri dilaksanakan pada siang hari dan bertempat di lapangan dengan menggunakan rotan sebagai pemukul.
Jika sampai sore hari belum ada pemenangnya, dapat dilanjutkan hari berikutnya, begitu seterusnya sampai berhari-hari apabila belum juga diketahui siapa yang menang.
Sampai pada akhirnya di tengah berlangsungnya pertarungan datanglah hujan besar yang mengguyur arena pertarungan.
Dengan turunnya hujan, masyarakat percaya bahwa semakin banyak darah yang tumpah, maka hujan akan semakin cepat turun.
Masyarakat setempat menganggap bahwa datangnya hujan adalah puncak atau ujung yang merupakan cara Tuhan menyelesaikan pertikaian kedua warga desa.
Olah karena itu, pada tahun–tahun berikutnya masyarakat Desa Gumelem dan Penerusan rutin menggelar upacara Ujungan sebagai upaya mereka dalam meminta air hujan di musim kemarau.
Tradisi tersebut pun terus berkembang dan dilestarikan. (2)
Baca: Tari Topeng Endel
Makna dan Nilai
Pelaksanaan ujungan pada prinsipnya adalah sebuah media permohonan manusia agar Tuhan mengabulkan sebuah permintaan.
Dengan demikian, Tari Ujungan dapat dikatakan merupakan cara lain dari masyarakat Gumelem dalam melaksankan doa kepada Tuhan.
Adapun doa yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah permintaan akan datangnya hujan yang berguna untuk kelestarian hidup di dunia.
Adapun nilai-nilai yang dapat diambil dari upacara adat Ujungan ini di antaranya:
1. Nilai sportivitas, pada akhir pertarungan kedua peserta berjabat tangan dan tidak ada dendam diantara para peserta.
2. Nilai cinta pada budaya lokal, karena pada dasarnya pelaksanaan upacara adat Ujungan merupakan salah satu upaya pelestarian budaya di Banjarnegara.
3. Nilai silaturahmi, karena peserta tidak hanya warga masyarakat setempat tetapi terbuka untuk umum sehingga memungkinkan untuk bersilaturahmi.
4. Nilai pendidikan, dimana di Tari Ujungan ini mengajarkan anak agar tidak menyalahgunakan ilmu bela diri yang dimiliki. (3)
Baca: Tari Ruung Sarung
Tata Cara Pelaksanaan
Tari Ujungan adalah sebuah ritual adu fisik yang dilaksanakan dengan menggunakan rotan berukuran 60 cm sebagai alat pemukul, serta diiringi dengan musik gamelan dan obong menyan.
Namun. sebagai bentuk seni, bela diri, sekaligus olahraga tradisional, di dalamnya terdapat aturan main yang harus disepakati oleh kedua pihak.
Penari Ujungan hanya diperbolehkan memukul mulai dari pusar sampai mata kaki dan pada akhir pertandingan para penari diwajibkan saling berjabat tangan.
Dalam pertandingan itu juga dipimpin oleh seorang wasit yang disebut “wlandang ”. (4)