Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Hendrik Smissaert adalah Residen Yogyakarta yang ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk menangani wilayah tersebut.
Ia lahir pada tahun 1717 dan wafat pada tahun 1732.
Ia menjabat hampir bersamaan dengan wafatnya Hamengkubuwono IV yang seharusya digantikan oleh Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun.
Smissaert menduduki tahta selama 31 bulan sebagai pemimpin keraton, hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh masyarakat Jawa.
Pemasangan patok-patok jalan yang melalui makam leluhur Diponegoro adalah kebijakan dari Smissaert.
Kedudukannya sebagai penyebab meletusnya perang Jawa sangatlah besar. (1)
Baca: Hendrik Merkus Baron de Kock
Tentang Smisseart
Smisseart adalah residen Yogya yang menjabat antara tahun 1823-1825, yang dipecat karena dianggap tidak mampu melakukan tugasnya sebagai wakil pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Penunjukan Smisseart sebagai Residen Yogya ini, diibaratkan oleh orang Belanda sezamannya, Willem van Hogendorp, sebagai 'The wrong man in the wrong place', karena mantan Bupati Rembang ini tidak mempunyai pengalaman dinas di keraton-keraton Jawa Tengah-Selatan.
Selain itu, Smisseart hanya memiliki bakat yang terbatas, pemalu dan kaku.
Bersama wakilnya, PFH Chevallier, yang sangat takabur dan gemar mengencani perempuan.
Hobinya yang sama dengan Patih Danuredjo IV yakni suka minum-minum dan bermain perempuan, lantars menjadikan harapan pemerintah Hindia Belanda pusat atas pemilihan Smisseart menjadi sia-sia.
Penyelesaian soal-soal undang-undang agraria yang ingin diterapkan pemerintah kolonial, tak bisa semuanya terwujud.
Ini akibat residen dan asistennya yang dinilai sangat buruk perilakunya, dan bekerja sangat lamban.
Bahkan residen ini sering mangkir bekerja berbulan-bulan, dan lebih suka tinggal di tanah perkebunannya di Bedoyo di lereng Merapi. (2)
Baca: Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo
Konflik dengan Pangeran Diponegoro
Smisseart membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan keraton, yang nantinya juga menyakitkan hati Diponegoro, dan menjadi pemicu perang besar di Jawa itu.
Beberapa hal yang membuat Diponegoro sangat marah adalah Smisseart sering duduk di dampar kencana, ketika berlangsung acara-acara keraton.
Peristiwa pertama yang menghebohkan kalangan keraton, ketika Garebeg Puasa pada 9 Juni 1823,
Smisseart duduk sendiri di singgasana Yogya yang kosong, karena usia Sultan HB V yang masih balita.
Residen tampak tidak peka terhadap persoalan dampar yang sempat panas sejak zaman Sultan HB II.
Ketika itu, Residen Yogya (zaman Inggris) menuntut kursi singgsana sultan sama tingginya dengan kursi untuk residen.
Sebenarnya Smisseart tak terlalu bersalah menyangkut ini. Mestinya yang duduk mewakili raja adalah salah satu dari empat wali raja.
Namun, Ratu Ageng (istri HB III) maupun Ratu Kencono (istri HB IV) tidak menghendaki Diponegoro duduk di sana mewakili sultan.
Maka dari itu, dua wanita berpengaruh menyerahkan perwakilan kepada Residen Yogya tersebut.
Smisseart duduk di singgsana ini bahkan terjadi lima kali sepanjang dia duduk sebagai residen, Gubernur Jenderal GAGP Baron van der Capellen di Batavia mengesahkan keputusan Smisseart tersebut.
Sebuah keputusan yang membuat Pangeran Diponegoro sangat sakit hati.
Sakit hati, karena dia tidak rela melihat Smisseart duduk di singgasana itu menerima sembah dari para bupati dari mancanegara timur, yang datang untuk menyerahkan upeti dan menghormat sultan.
Diponegoro juga sangat tersinggung dengan sosok Belanda hedonis itu, karena surat-suratnya.
Simsseart tidak pernah menuliskan gelar pangeran, tapi hanya menulis “Diponegoro” tanpa embel-embel lain.
Sebenarnya penyebutan nama saja itu atas inisiatif penerjemah karesidenan, Dietre, namun disetujui oleh Patih Danurejo IV dan Mayor Tumenggung Wironegoro.
Residen Yogya itu pula, yang dengan sengaja merancang memperluas jalan-jalan kecil sekitar Yogya, antara lain, salah satunya melewati sawah Tegalrejo dan dinding pagar rumah sebelah timur milik pangeran, dan mematokinya dengan tiang-tiang pancang.
Pematokan ini dilakukan para bawahan Patih Danurejo IV pada tanggal 17 Juni 1825.
Pematokan ini tanpa memberitahu pangeran terlebih dulu.
Pangeran Diponegoro meminta anak buahnya mencabuti patok-patok tersebut.
Tetapi residen Yogya dan patihnya mengulanginya lagi. Peristiwa pancang-cabung ini berlangsung sampai tiga kali, dan yang ke empat, Pangeran Diponegeoro mematoknya dengan tombak.
Itulah dua tokoh yang bersekongkol memojokkan Pangeran Diponegoro, yang akhirnya mengangkat senjata dan mengobarkan perang besar selama lima tahun, dan mencopot jabatan Smissaert. (2)
Baca: Perang Diponegoro (1825-1830)