Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Kyai Muslim Muhamad Halifah atau yang dikenal dengan Kyai Mojo lahir pada tahun 1764 dan wafat pada 1849, merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Menurut F.V.A. De Stuers (1847) Kyai Mojo berasal dari Desa Mojo. Kyai Mojo merupakan orang yang paham dengan Kitab Suci Al-Qur’an, sejarah, dan manuskrip-manuskrip Arab. (1)
Kyai Mojo lahir di daerah Jawa Tengah di bawah kekuasaan kasunanan Surakarta padahal ibunya adalah bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta.
Nama Mojo sendiri adalah nama di suatu desa tempat kelahirannya di Pajang, Surakarta.
Ayah Kyai Mojo bernama Iman Abdul Ngarip dan ibunya bernama R.A Mursilah.
Ayahnya merupakan seorang ulama besar dengan sebutan Kyai Baderan. Sebenarnya kedua orang tua Kyai Mojo merupakan seorang pendakwah.
Ayahnya merupakan keturunan bangsawan dari Keraton Surakarta namun memilih untuk menjadi seorang pendakwah, sedangkan ibunya adalah adik Sultan Hamengkubuwono III.
Meskipun keturunan bangsawan, namun Kyai Mojo sejak lahir hidup dalam lingkungan sederhana berbaur dengan masyarakat kecil.
Hubungan keduanya semakin erat setelah Kyai Mojo menikahi janda dari Pangeran Mangkubumi (Pamanya Diponegoro), meskipun keduanya adalah sepupu namun Diponegoro kerap memanggil Kyai Mojo dengan sapaan paman.
Kyai Mojo sejatinya sudah diberikan pengetahuan agama oleh ayahnya yang merupakan seorang ulama, kemudian saat dewasa dia melaksanakan ibadah haji.
Usai beberapa saat di Mekkah, ia kemudian pulang ke tanah air, dan ia pun menjadi penerus ayahnya mengajar di pondok pesantren di desanya sehingga mendapatkan banyak murid atau pengikut.
Kyai Mojo memiliki cita-cita mulia untuk membangun suatu kesultanan yang menegakkan hukum syariat Islam.
Ia juga kerap aktif dalam pemberantasan kegiatan syirik di dalam lingkungan istana.
Diketahui, ia adalah lulusan dari Mekah yang pada saat itu sudah berkembang Manhaj Salaf atau Wahabi. (2)
Baca: Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo
Sejarah
Kyai Mojo adalah sosok ulama sekaligus pejuang yang merupakan penasihat dan menjadi salah satu Panglima Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa (Java War), dia bergabung ketika Pangeran Diponegoro berada di Goa Selarong, saat mengungsi dari kejaran Belanda bersama Pengikutnya.
Selain berperan sebagai panglima perang, Kyai Mojo juga pernah menjadi wakil Pangeran Diponegoro dalam perundingan 29 Agustus 1821 dengan Belanda di daerah Klaten.
Didalam perundingan itu ia dengan tegas mengajukan beberapa tuntutan, namun hasil akhir acara itu tidak ada kesepakatan karena tuntutan tadi dinilai terlalu berat bagi pihak Belanda.
Kyai Mojo dalam beberapa hal kursial sangat diandalkan oleh Pangeran Diponegoro. Yang paling penting adalah dalam hal keagamaan.
Kyai Mojo selain menjabat sebagai panglima besar pada Perang Jawa dia pun berperan sebagai ulama besar yang membimbing para pengikut atau prajurit Setia Pangeran Diponegoro sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat di dalam Alquran. (2)
Meskipun hubungan Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro dekat, pada tahun 1828 terjadi konfllik di antara mereka.
Pada waktu itu, Pangeran Diponegoro memerintahkan Kyai Mojo untuk kembali ke Pajang.
Dalam perjalanannya ke Pajang, Kyai Mojo kemudian terbujuk oleh rayuan muridnya Kyai Dadapan agar mau bertemu perwakilan Belanda, Letnan Kolonel Wironegoro.
Padahal sebelumnya, Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya termasuk Kyai Mojo telah menolak ajakan Jenderal De Kock untuk mengakhiri perang.
Kyai Mojo kemudian bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro pada Oktober 1828 dengan mengajukan beberapa permintaan.
Letnan Kolonel Wironegoro pun menyetujuinya asalkan Kyai Mojo bersedia menghentikan perang.
Kyai Mojo melaporkan pertemuan itu kepada Pangeran Diponegoro melalui surat.
Setelah membaca surat dari Kyai Mojo, Pangeran Diponegoro marah. Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Mojo kembali ke markas Pangeran di daerah Pengasih.
Akhir tahun 1828, Kyai Mojo beserta pasukannya berhasil ditangkap Belanda.
Tertangkapnya Kyai Mojo merupakan pukulan telak bagi perjuangan Pangeran Diponegoro.
Kyai Mojo bersama dengan pasukannya pertama kali ditahan di Semarang, selanjutnya dipindahkan ke Ambon lalu ke Minahasa.
Kyai Mojo meninggal dalam pengasingan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 dan dimakamkan di Tondano.
Para pengikutnya yang setia kemudian bermukim dan berinteraksi dengan masyarakat setempat dan membentuk masyarakat campuran Jawa-Tondano (Jaton).
Makam para pengikutnya juga ditempatkan di sekitar Makam Kyai Mojo. (1)
Baca: Mohammed Bassim Rashid
Makam Kyai Mojo
Makam Kyai Mojo terletak di atas Bukit Tondata, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada pintu gerbang masuk menuju makam ini terdapat tulisan: “Makam Pahlawan Kyai Mojo dkk. Kyai Mojo terlahir dengan Nama Kyai Muslim Muhammad Halifah Lahir tahun: 1764. Wafat 20 Desember 1849”.
Di lokasi makam ini terdapat dua buah cungkup berbentuk bangunan Jawa dengan atap bersusun dari sirap.
Cungkup yang besar terdapat makam Kyai Mojo beserta pengikutnya. Sedangkan cungkup lainnya merupakan cungkup makam Syeh Maulana (asal Cirebon).
Di timur laut makam Kyai Mojo terdapat makam Mbah Kamil (Kyai Demak).
Makam Kyai Mojo beserta keluarga asli dari Jawa memiliki keunikan tersendiri.
Bentuk makamnya memiliki lubang memanjang pada bagian tubuh makam.
Hal ini berbeda dengan makam lain dari makam kerabat yang merupakan keturunan Minahasa yang tidak memiliki lubang memanjang.
Hal ini dibuat agar dapat diketahui perbedaan keluarga dari Jawa dan yang lahir dan besar di Minahasa.
Makam Kyai Mojo adalah satu-satunya makam di kompleks ini yang kijingnya memiliki undakan sembilan tingkat.
Makam ini diberi hiasan pelipit genta dan kaligrafi. Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo juga terdapat makam beberapa orang keluarga dan pengikutnya.
Nisannya ditutup dengan kain penutup berwarna putih.
Pada tahun 1978 atau 1979 hingga 1981 atau 1982, makam Kyai Mojo telah dipugar oleh Bidang Sejarah, Museum, dan Purbakala (Muskala) Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara, melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Utara. (1)
Baca: Sukmawati Soekarnoputri