AHY mengatakan Jokowi tidak tahu-menahu tentang sekelompok oknum yang dia duga berencana melakukan kudeta kepemimpinan di partai tersebut.
"Saya sudah mendapatkan sinyal bahwa Bapak Presiden tidak tahu-menahu tentang keterlibatan salah satu bawahannya itu. Ini hanya akal-akalan kelompok GPK-PD untuk menakut-nakuti para kader," ujar AHY dikutip dari Kompas.
Selain itu Ketua Umum Partai Demokrat itu mengatakan Jokowi dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat sekaligus presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki hubungan yang cukup baik.
Meski demikian, AHY menyebut ada kelompok yang ingin memecah belah hubungan di antara keduanya.
"Hubungan Pak SBY dan Pak Jokowi cukup baik, tetapi kelompok ini berusaha memecah belah hubungan yang telah terjalin dengan baik itu," kata AHY.
Menurut AHY, ia masih terus memantau dan menerima laporan dari para kader terkait upaya kudeta di Partai Demokrat.
Baca: Mantan Kader Sebut AHY Abaikan Jasa Pendiri Partai, Demokrat Beberkan Perjuangan Sang Putra SBY
Ia menuturkan awalnya para pelaku gerakan berusaha memengaruhi para pemilik suara dengan memengaruhi pengurus DPD dan DPC serta para mantan pengurus.
Kata AHY, para pelaku gerakan mengeklaim telah mengumpulkan puluhan bahkan ratusan suara untuk dapat menyelenggarakan kongres luar biasa (KLB), padahal hanya tipuan Kemudian, para pelaku gerakan menggunakan alasan KLB karena faktor internal.
Padahal, AHY menegaskan persoalan itu adalah persoalan eksternal.
"Yakni kelompok ini sangat menginginkan seseorang sebagai capres 2024 dengan jalan menjadi Ketua Umum PD melalui KLB," ujar AHY.
Sikap AHY kini berubah 180 derajat. Sebelumnya AHY dan Demokrat justru menduga ada keterlibatan Jokowi dalam upaya pelengserannya dari kursi ketua umum.
Baca: Demokrat Minta Moeldoko Tak Bawa Nama Luhut dalam Isu Kudeta: Masih seperti Ngopi-ngopi Biasa
Hal itu, menurut Demokrat ditandai dengan dugaan keterlibatan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang berdiskusi dengan sejumlah anggota Partai Demokrat dan membahas pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mengganti AHY dari pucuk pimpinan.
Bahkan, AHY sampai mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk mengklarifikasi keterlibatan salah satu pejabtanya, yakni Moeldoko, dalam konflik internal Demokrat.
Lewat surat itu AHY hendak memastikan apakah Presiden Jokowi merestui tindakan Moeldoko yang disebut-sebut berupaya melengserkan AHY untuk kepentingan Pilpres 2024.
Sejumlah elite Demokrat bahkan mendesak Jokowi menjawab surat dari AHY tersebut.
Istana lewat keterangan Menteri Sekretaris Negara Pratikno akhirnya menyatakan Presiden Jokowi tak akan membalas surat tersebut karena itu merupakan ranah internal Partai Demokrat.
Baca: Demokrat Nyatakan Isu Kudeta AHY Bukan Masalah Internal, Singgung KLB PDI 1996 yang Lengserkan Mega
Politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik pun mengkritik sikap Jokowi yang tidak membalas surat AHY.
"Pak Jokowi mau cuci tangan? Jika benar, seharusnya tidak boleh," kata Rachland saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/2/2021).
Ia menilai Presiden tidak semestinya mengabaikan surat yang dikirim AHY.
Presiden, menurut Rachland, perlu membalas surat tersebut untuk memberikan sinyal kuat bahwa praktek pengambilalihan paksa partai politik adalah tindakan yang tidak benar.
"Presiden sebaiknya perlu memberi pesan kuat bahwa praktek ambil alih paksa partai politik itu salah dan buruk," katanya.
Ia pun mengingatkan bahwa praktek pengambilalihan secara paksa tak hanya menimpa Demokrat, melainkan juga pernah menimpa PDI Perjuangan, partai asal Jokowi, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, tindakan seperti itu merupakan bentuk peninggalan politik masa lalu.
Baca: Dituding Beri Rp 100 Juta ke Tiap DPC Demokrat, Moeldoko Bantah Janjikan Uang
"Karena itu, seharusnya Presiden tidak mentolerir praktek politik yang sama atau meniru yang dilakukan anak buahnya sendiri," kata Rachland.
Lebih lanjut, Rachland menegaskan partainya tidak merasa dirugikan apabila Presiden Jokowi memilih berlindung di balik teka-teki tentang sikapnya.
Hanya saja, ia berharap Presiden mampu dijauhkan dari sikap keraguan dan kebingungan dalam berpolitik.
"Sebaliknya, keputusan yang kuat dan bermartabat harus dipilih. Bukan saja demi melindungi demokrasi. Tapi juga kehormatan Istana," tutur Rachland.
Menanggapi perubahan sikap AHY dan Demokrat dengan tak lagi menyeret Jokowi dan Istana ke dalam konflik internal mereka, pengamat politik Hendri Satrio menilai putra sulung SBY itu sudah mulai berpikir secara jangka panjang.
Baca: Istana Tegaskan Enggan Jawab Surat AHY Soal Isu Kudeta Partai Demokrat : Itu Urusan Internal
Ia menilai AHY kini telah menyadari bahwa menjaga komunikasi yang baik dengan Jokowi dan Istana jauh lebih menguntungkan ketimbang memasang posisi berhadap-hadapan seperti sebelumnya.
Ia menilai langkah yang diambil AHY dengan tak lagi menyeret Jokowi ke dalam konflik internal Demokrat sudah tepat karena akan memperkecil medan pertarungan.
Dengan demikian internal Demokrat bisa lebih fokus dalam menghadapi pihak yang hendak melengserkan AHY dari kursi ketua umum.
“Setelah ini kelihatannya pertarungannya akan menempatkan Moeldoko seorang diri juga setelah Pak Jokowi ditarik keluar oleh AHY. Ini pertarungannya akan lebih kecil dan lebh cepat padam,” kata Hendri.
“Good move dan langkah baik buat AHY untuk tidak mengajak penguasa untuk masuk ke dalam pertarungan politik yang sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu mengganggu,” kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Berubah 180 Derajat, AHY Tak Lagi Menyeret Jokowi dalam Konflik Internal Demokrat"