Runtuhnya Kerajaan Hindu Terakhir di Dunia, Putra Mahkota Bantai Keluarga karena Cinta Tak Direstui

Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota kerajaan Nepal yang tewas dalam pembantaian oleh putra mahkota.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Nepal menjadi kerajaan Hindu terakhir di dunia, yang runtuh di abad ke-21.

Kisah runtuhnya kerajaan ini terbilang memilukan.

Kala itu, Putra Mahkota Nepal membantai keluarga kerajaan karena cinta tak direstui, sebagaimana diberitakan Intisari Online, Kamis (4/1/2021).

Lebih memilukannya lagi, sang putra mahkota Nepal tersebut pun pada akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.

Cinta diyakini bukan faktor tunggal pangeran melakukan pembantaian.

Hampir satu dekade kemudian, satu-satunya pewaris kerajaan yang selamat, yang kemudian mengisi kekosongan di singgasana dituding jadi dalang semua tragedi tersebut.

Pustakawan Nepal, Ananta Koirala menggambarkan bahwa kondisi istana Nepal sendiri saat itu begitu jomplang dengan kehidupan rakyatnya.

Saat para anggota kerajaan merasakan kemewahan dan kemegahan di balik pintu istana, masyarakatnya justru harus bertarung dengan kemiskinan.

Mereka berkuasa selama 240 tahun, melansir South China Morning Post, sebelum akhirnya runtuh pada 2008.

Namun keruntuhannya berlangsung dengan sangat tragis, bertolak belakang dengan kemewahan.

Nepal sendiri sebelumnya dipimpin oleh seorang raja secara absolut dan baru menginjakan dunia demokrasi pada 1990.

Baca: Daftar 5 Raja Terkaya di Dunia, Ratu Elizabeth Tak Ada Apa-apanya Dibanding Raja Thailand

Baca: Kabar Baik, Nepal Buka Kembali Jalur Pendakian Himalaya, Ini Syaratnya

ILUSTRASI Wilayah Nepal -- Nepal tutup jalur pendakian ke Gunung Everest, Foto: Para pria berjalan di jalur pendakian yang sepi selama lockdown yang diberlakukan pemerintah sebagai tindakan pencegahan terhadap coronavirus COVID-19, di Namche Bazar di wilayah Everest, sekitar 140 Km di timur laut Kathmandu pada 25 Maret 2020. (PRAKASH MATHEMA / AFP)

Proses transisi dari kerajaan absolut ke demokrasi tersebut terjadi di bawah Raja Birendra.

Sementara putranya, Putra Mahkota Dipendra, sedang belajar di Inggris.

Sang putra mahkota yang digambarkan memiliki amarah besar tersebut kemudian dikabarkan mendobrak pintu ketika dia mendengar bahwa peran masa depannya sebagai raja sekarang akan berkurang.

"Dia semacam karakter ganda. Di luar, dia sangat lembut, sangat disukai semua orang," kata Letjen Vivek Kumar Shah, seorang ajudan kamp di istana kerajaan selama 26 tahun yang mengenal Putra Mahkota Dipendra sejak kecil.

"Tapi di dalam, dari awal - mungkin, dia tidak mendapatkan cinta yang seharusnya dia miliki sebagai seorang anak. Itulah keyakinan saya," kata Shah.

Ia memiliki sifat sadis. Ia suka membakar kucing atau tikus. Ia akan menyukainya.

Dipendra juga menyukai senjata. Shah mengatakan Putra Mahkota memiliki banyak pilihan di kamar tidurnya.

"Dia punya MP5, senapan mesin ringan. Dia punya komando M16, senapan mesin ringan lagi. Dan kemudian, dia punya senapan berburu, pistol, sebut saja," kata Shah, seperti dilansir pri.org.

Namun, hal itu juga pada dasarnya selaras dengan tradisi keluarga kerajaan untuk membawa senjata, termasuk raja.

Putra Mahkota juga dikenal suka ke pub dan sering berpesta, serta bernyanyi dan menari dengan teman-temannya

Baca: Raja Thailand Angkat Selirnya, Ratu Sineenat, sebagai Ratu Kedua setelah Ratu Suthida

Baca: Nasib Apes Wanita Thailand, Dituduh Menghina Keluarga Kerajaan dan Dijatuhi Hukuman 43 Tahun Penjara

Dia ingin menikahi Devyani Rana, seorang gadis yang ditemuinya di Inggris, namun tidak disetujui oleh keluarga kerajaan dengan alasan memiliki kasta yang sedikit lebih rendah.

Jika sampai nekat menikahi wanita pujaannya tersebut, maka takhta yang begitu dia idam-idamkan harus rela diserahkan kepada orang lain.

Kembali ke masalah sistem pemerintahan yang bergeser dari monarki absolut ke demokrasi, pertentangan yang hebat terjadi di dalam lingkaran dekat istana.

Sangat banyak pihak keluarga kerajaan yang menentang keputusan sang raja, termasuk putra mahkota.

"Dia percaya pada peran konstitusional untuk monarki, bukan kediktatoran. Tapi saudaranya, yang kemudian menjadi raja, dan putranya sendiri, Putra Mahkota, sama sekali tidak setuju. Mereka merasa negara akan menjadi milik anjing," papar Kunda Dixit, penerbit surat kabar Nepali Times.

Apalagi, pertentangan atara partai-partai berkuasa pun berlangsung sangat sengit hingga memicu perang saudara pada 1996.

Hingga akhirnya peristiwa tragis pun terjadi pada 1 Juni 2001.

Dipendra, sang putra mahkota, turun dari kamarnya dalam kondisi mabuk dengan mengenakan seragam tentara dan menenteng beberapa senjata.

Baca: 8 Negara Ini Terlilit Utang China, IMF dan Bank Dunia Khawatir Tak Bakal Bisa Bayar

Baca: Kejam, Gajah Dibakar Hidup-hidup karena Dekati Resor Pribadi di India, Dua Pelaku Ditangkap

Dia menembak ayahnya lebih dulu, lalu beralih ke orang lain.

Salah satunya adalah sepupu ayahnya, Ketaki Chester. Dia kemudian memberi tahu tim dokumenter British Channel Four apa yang dia lihat sebelum dia melakukan penembakan.

"Raut wajahnya sangat menakutkan," katanya.

"Aku masih mengingatnya, dan tetap saja, membuatku merinding ketika aku mengingat wajahnya. Dia tampak persis seperti Terminator 2 - benar-benar tanpa ekspresi, tapi sangat terkonsentrasi. Dan itu masih menghantuiku."

Akibat pembantaian tersebut, adik Dipendra, Gyanendra kemudian 'terpaksa' untuk naik takhta kerajaan Nepal.

Saat itu, banyak yang mencurigai Gyanendra sebagai dalang dari pembantaian keluarganya sendiri dengan tujuan besar untuk merebut takhta.

Apalagi, kala dirinya memimpin Nepal, sistem demokrasi yang dibangun oleh ayahnya dikembalikan menjadi monarki absolut.

Bahkan, demi memiliki kendali mutlak atas negaranya, Gyanendra juga membubarkan parlemen dan menghukum semua lawan politiknya.

Keputusannya tersebut kelak menjadi bumerang karena rakyat justru semakin jengan dengan kerajaan, belum lagi mereka pun masih menyimpan kecurigaan pada diri Gyanendra dalam tragedi pembantaian keluarga istana.

"Saya juga mengira Raja, Gyanendra, terlibat dalam pembantaian kerajaan, dan dia adalah perencana utama. Ada panitia investigasi, dan itu memberi laporan, menyalahkan Pangeran Dipendra saat itu. Tapi… saya masih tidak percaya Dipendra membunuh mereka," tutur pustakawan Ananta Koirala

Sang raja kemudian secara bertahap kehilangan cengkeramannya atas Nepal, dimulai dengan mengembalikan anggota parlemen pada Mei 2006.

Pada akhir Desember 2007, keputusan tentang penghapusan monarki dalam pemerintahan Nepal resmi diluncurkan.

Hingga akhirnya tepat ada 28 Mei 2008, Raja Gyanendra resmi didepak dari singgasananya.

Tak selesai di situ, mantan raja yang dibenci rakyatnya tersebut kemudian diasingkan ke India.

Nepal pun resmi berubah menjadi Republik Federal dan menjadi satu-satunya monarki yang runtuh di abad ke-21.

(TribunnewsWiki.com/nr) (Intisari Online/Ade S)

Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Kisah Pembantaian Keluarga Kerajaan oleh Putra Mahkota, Awal dari Keruntuhan Satu-satunya Monarki di Abad ke-21



Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer