Joe Biden Fokus Isu Timur Tengah & Terorisme, Jaksa Militer AS Tuntut Dalang Bom Bali & JW Marriot

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden AS Joe Biden mengambil sumpah presiden selama upacara virtual di Ruang Makan Negara Gedung Putih di Washington, DC, setelah dilantik di US Capitol pada 20 Januari 2021.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Dilantiknya Presiden baru Amerika Serikat (AS), sepertinya memicu gelombang optimisme.

Melonjaknya indeks di bursa saham Amerika Serikat, Wall Street menunjukkan bahwa politisi dari partai Demokrat tersebut memang diharapkan oleh pasar.

Keberadaan presiden baru seperti Joe Biden dianggap akan membuat situasi negeri paman Sam lebih stabil dan juga akan berdampak baik untuk dunia internasional.

Amerika Serikat dipandang akan menjadi negara yang lebih baik ,setidaknya jika dibandingkan dengan era kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Jika persoalan pada era Trump lebih berkutat pada menguatnya rasisme, polarisasi dan isu diskriminasi terhadap etnis minoritas, serta upaya AS merongrong kekuatan ekonomi China, era Biden sepertinya akan kembali berkutat ke persoalan Timur Tengah dan terorisme.

Salah satu kebijakan Joe Biden yang paling gres yakni mencabut "muslim travel ban" atau larangan bagi warga dari negara-negara muslim yang mayoritas berasal dari Timur Tengah.

Tak hanya itu, kebijakan eksekutif lain dari Biden yakni akan mengakomodir banyak imigran di negara tersebut untuk bisa memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat.

Era Biden akan membawa babak baru terkait kebijakan Amerika Serikat untuk urusan Timur Tengah dan terorisme, seperti kebijakan yang baru saja dituangkan.

Baca: Pidato Pertama sebagai Presiden AS, Joe Biden Ajak Hening Cipta, Doakan Korban Covid-19 di AS

Baru saja Biden dilantik, jaksa militer Amerika Serikat (AS) mengajukan tuntutan resmi terhadap Hambali dan dua orang lainnya terkait bom Bali 2002 dan Jakarta 2003.

Tuntutan itu AS ajukan hampir 18 tahun setelah ketiganya ditangkap di Thailand, dan setelah masing-masing menghabiskan lebih dari 14 tahun di penjara militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba.

Tuntutan pertama terhadap Riduan Isamuddin, lebih dikenal dengan nama Hambali, pemimpin kelompok Jemaah Islamiyah dan diyakini sebagai perwakilan tertinggi Al-Qaeda di Indonesia.

Ilustrasi terorisme. (Pixabay)

Kelompok tersebut, dengan dukungan Al-Qaeda, melakukan pengeboman terhadap klub malam di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang dan serangan bom bunuh diri pada 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott, Jakarta, yang menewaskan 12 orang dan melukai puluhan lainnya.

Dua terdakwa lainnya, warga negara Malaysia Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammed Farik bin Amin. Keduanya pembantu Hambali di Jemaah Islamiyah yang telah menjalani pelatihan oleh Al-Qaeda, menurut dokumen kasus Guantanamo.

"Tuntutan tersebut termasuk persekongkolan, pembunuhan, percobaan pembunuhan, dengan sengaja menyebabkan luka tubuh yang serius, terorisme, menyerang warga sipil, menyerang objek sipil, perusakan properti, dan aksesori setelah fakta, semuanya melanggar hukum perang," kata Pentagon dalam pernyataan Kamis (21/1), seperti dikutip Channel News Asia.

Baca: Bagi Ketua DPR Nancy Pelosi, Donald Trump Tak Lebih dari Noda dalam Sejarah Amerika

Tidak jelas, mengapa setelah bertahun-tahun, dakwaan di depan pengadilan militer Guantanamo baru Pentagon umumkan pada Kamis (21/1).

Pada 2016, permintaan pembebasan Hambali dari Guantanamo ditolak.

Soalnya, menurut jaksa, dia masih merupakan "ancaman signifikan bagi keamanan Amerika Serikat".

Tuntutan tersebut Pentagon umumkan pada hari pertama Pemerintahan Presiden Joe Biden dan tentu karena efek keberadaan presiden baru.

Foto file Presiden AS Donald Trump memegang payung saat dia berbicara kepada media di bawah hujan sebelum berangkat dari South Lawn Gedung Putih di Washington, DC, 17 September 2020. (SAUL LOEB / AFP)

Ketika Biden menjadi Wakil Presiden pada Pemerintahan Presiden Barack Obama, mereka berusaha tetapi gagal untuk menutup penjara yang dikelola Angkatan Laut AS di Guantanamo.

Pengganti Obama, Donald Trump, tidak menunjukkan minat pada Guantanamo dan narapidana di dalamnya, termasuk tokoh Al-Qaeda dan perencana serangan 9/11 Khalid Sheikh Mohammed.

Dan memang, isu Timur Tengah dan terorisme bukan menjadi perhatian utama Amerika Serikat era Donald Trump.

Trump tidak se-agresif menunjukkan pengaruh dan keperkasaan militer Amerika Serikat di Timur Tengah, tidak seperti era George Bush atau Barrack Obama.

Tidak ada pertempuran berarti di Timur Tengah (Arab Springs) seperti era Barrack Obama dan justru Donald Trump mampu mendamaikan beberapa negara Arab dengan Israel, meski AS di eranya mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel.

AS stop dukungan ke Arab Saudi, lunak ke teroris Houthi?

Pemerintahan Presiden AS terpilih Joe Biden akan segera menyetop dukungan terhadap negara Arab Saudi yang selama ini menyerang milisi Houthi di Yaman.

AS juga akan meninjau kembali penetapan gerakan Houthi sebagai kelompok teroris.

Menurut pemberitaan AFP, potret kebijakan luar negeri tersebut diutarakan oleh Antony Blinken yang disebut sebagai calon Menteri Luar Negeri AS yang ditunjuk Biden. 

Blinken mengatakan, dia akan segera meninjau penetapan yang diinisiasi oleh pemerintahan Donald Trump tersebut karena adanya kehawatiran bakal memperburuk krisis kemanusiaan di Yaman.

Baca: Melania dan Ivanka, Dua Wanita Terpenting dalam Kehidupan Trump yang Saling Benci Satu Sama Lain

Dia menyebut, rencana yang diinisiasi Trump tersebut justru semakin mempersulit upaya pembicaraan damai dengan Houthi, kelompok pemberontok di Yaman.

Blinken mengatakan AS tetap berpikiran jernih tentang Houthi.

Tentara milisi Houthi bersorak dan meneriakkan slogan saat berkumpul di ibu kota Sanaa. (AFP)

Pemerintahan Trump mengumumkan langkah tersebut pada 11 Januari, sembilan hari sebelum Biden mengambil alih Gedung Putih pada Rabu.

Trump telah menjadi sekutu setia bagi Arab Saudi sejak dia menjabat sebagai Presiden AS.

Di bawah Trump, AS menawarkan bantuan logistik dan penjualan perlengkapan militer terhadap Arab Saudi selama kampanye enam tahun untuk mengusir Houthi yang telah mengambil alih sebagian besar Yaman.

Di sisi lain, Blinken mengatakan bahwa Arab Saudi telah berkontribusi pada situasi kemanusiaan terburuk di dunia.

"Houthi memikul tanggung jawab yang signifikan atas apa yang terjadi di Yaman, tetapi kampanye (Arab Saudi) juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap situasi itu."

"Jadi dukungan kami harus dihentikan," kata Blinken.

Baca: Resmi Dilantik, Joe Biden Jadi Presiden Tertua dalam Sejarah AS, Masalah Kesehatan Jadi Sorotan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kelompok bantuan telah memperingatkan risiko penetapan Houthi sebagai kelompok teroris justru memperburuk keadaan Yaman.

Pasalnya, di negara tersebut, jutaan orang bergantung pada bantuan internasional untuk dapat bertahan hidup.

Penetapan itu mulai berlaku Selasa (19/1/2021) dan direspons oleh Houthi dengan nada permusuhan.

"Kami siap untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan terhadap setiap tindakan permusuhan," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

Donald Trump yang masih akan "melawan"

Era Presiden Amerika Serikat (AS) dengan seribu kontroversi, Donald Trump pun berakhir.

Pada Selasa (19/1/2021) menjadi hari terakhir Donald Trump menjabat penuh sebagai presiden.

Donald Trump akan digantikan pasca Joe Biden resmi dilantik pada Rabu (20/1/2021).

Banyak hal akan berubah di Amerika Serikat pasca perpidahan kekuasaan dari Donald Trump ke Joe Biden.

Seperti kebijakan imigran, perjanjian Paris hingga permasalahan pandemi Covid-19 di negeri paman Sam tersebut.

Baca: Jadi Sengketa Palestina, Joe Biden Tetap Akui Yerusalem Ibu Kota Israel, Tak Akan Pindah Kedutaan

Trumo yang merupakan Presiden AS ke-45 itu menyampaikan pidato perpisahan dari Gedung Putih, sebelum Hari Pelantikan Joe Biden.

Namun, menarik mencermati apa yang disampaikan oleh politis dari Partai Republik tersebut.

Trump memperingatkan bahwa "bahaya terbesar" sekarang dihadapan negara ini yang "kehilangan kepercayaan pada kebesaran nasional kita".

Foto file diambil pada 12 Januari 2021 ketika Presiden AS Donald Trump naik Air Force One sebelum meninggalkan Harlingen, Texas. (MANDEL NGAN / AFP)

Presiden berusia 74 tahun itu menjalankan jabatannya, dari melawan sampai China tidak seperkasa seperti sebelumnya hingga serangkaian kesepakatan damai di Timur Tengah.

Saya sangat bangga menjadi presiden pertama dalam beberapa dekade yang tidak memulai perang baru," ucap Trump.

Merujuk pada kerusuhan di Capitol AS pada 6 Januari, dia berkata, "Semua orang Amerika merasa ngeri dengan serangan di Gedung Capitol...Itu tidak pernah bisa ditoleransi."

Trump mengakui bahwa pemerintahan baru akan menjabat, artinya dia mengakui kekalahannya.

Namun, ternyata dia mengatakan bahwa ada pergerakan lain yang sedang ia perjuangkan dan akan memberi perlawanan. 

Baca: Donald Trump Obral Grasi Jelang Lengser, Pemohon Harus Bayar Puluhan Ribu Dolar untuk Lobi Presiden

"Saya ingin Anda tahu bahwa gerakan yang kami mulai baru saja dimulai," ucapnya.

Saat diblokir dari akses akun media sosial pribadinya, Trump memberikan nada damai tapi menantang dalam video yang dirilis melalui akun media sosial resmi pemerintah.

"Kami telah melakukan apa yang harus kami lakukan di sini, dan lebih banyak lagi," kata Trump seperti yang dilansir dari BBC pada Selasa (19/1/2021).

"Saya mengambil pertempuran yang sulit, pertarungan yang paling berat, pilihan yang paling sulit, karena itulah yang Anda pilihkan untuk saya lakukan," ucapnya.

(Tribunnewswiki.com/Ris)

Sebagian artikel tayang di Kontan berjudul Hari pertama Biden, AS ajukan tuntutan resmi atas Hambali dalang bom Bali dan Marriot



Penulis: Haris Chaebar
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
BERITA TERKAIT

Berita Populer