Inauguration Day 2021 atau hari pelantikan presiden baru terpilih di Pilpres Amerika Serikat 2020 akan dilaksanakan pada Kamis, 21 Januari bertempat di Capitol Building.
Sebelumnya, Amerika Serikat masih berkutat dengan persoalan rusuh di Capitol Building yang disebabkan oleh para pendukung petahana Donald Trump yang tak puas dengan hasil pilpres.
Meski masih pada situasi mengkhawatirkan akibat konflik horizontal yang menguat, negeri Paman Sam tetap menjadwalkan pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris sesuai jadwalnya.
Aksi Biden sendiri sangat ditunggu-tunggu oleh publik Amerika Serikat, pasar modal dan tentu masyarakat dunia pada umumnya.
Politisi dari Partai Demokrat itu berencana akan cepat-cepat mengeluarkan sejumlah perintah eksekutif, begitu resmi dilantik.
Sesuai janji-janji politiknya, Joe Biden akan mengubah banyak kebijakan kontroversial dan aneh di era Donald Trump yang tidak mencerminkan Amerika Serikat yang menerima perbedaan, inklusif dan tempat bagi semua kalangan seperti etos American Dream.
Salah satunya yakni membatalkan produk kebijkan Donald Trump berupa larangan perjalanan kontroversial dari beberapa negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, pada hari pertamanya menjabat.
Menurut kabar Al Jazeera pada Minggu (17/1/2021), rencana itu sudah disampaikan Kepala staf Gedung Putih Biden yang baru, Ron Klain dalam memo yang diedarkannya.
Pada 10 hari pertama menjabat, pemerintahan AS yang baru disebut akan meluncurkan sejumlah perubahan terkait kebijakan aneh yang telah diterapkan oleh Donald Trump.
Baca: Pendukung Belum Rela Trump Lengser, FBI Takut Pendemo Bersenjata Serbu DPR saat Pelantikan Biden
Beberapa diantaranya terkait upaya pencegahan virus corona baru.
Selain itu, Amerika Serikat juga bergabung kembali dengan perjanjian perubahan iklim Paris, dan undang-undang imigrasi yang memungkinkan jutaan orang mendapatkan kewarganegaraan, dimana secara mengejutkan negara itu keluar dari konvensi iklim Paris di era Donald Trump.
Tak lama setelah menjabat pada 2017, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang wisatawan dari tujuh negara mayoritas Muslim memasuki Amerika Serikat.
Namun, perintah itu dibuat ulang beberapa kali di tengah gugatan hukum dan versinya dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada 2018.
Para pengamat mengatakan larangan tersebut dapat dengan mudah dibatalkan.
Pasalnya aturan itu dikeluarkan dengan perintah eksekutif dan pernyataan resmi presiden (presidential proclamation).
Namun, tuntutan hukum dari lawan konservatif dapat menunda proses tersebut.
Baca: Terkait Kerusuhan Gedung Capitol, Pendukung Donald Trump Disebut Ingin Bunuh Anggota Parlemen AS
Biden pada Oktober mengatakan sebagai presiden dia akan bekerja sama dengan masyarakat AS untuk menghancurkan “racun kebencian” dalam masyarakat yang telah merekah akibat ulah Donald Trump.
Dia juga berjanji menghormati kontribusi dan ide setiap warga negara.
“Pemerintahan saya akan terlihat seperti Amerika, dengan warga Muslim Amerika melayani di setiap tingkatan,” katanya.
Perubahan lain termasuk perpanjangan batas waktu terkait pandemi yaitu terkait penggusuran dan pembayaran pinjaman siswa, penerapan mandat masker di properti federal, dan perjalanan antarnegara.
Pemerintahan Biden juga menyiapkan solusi untuk menyatukan kembali anak-anak imigran yang terpisah dari keluarga mereka.
Biden berencana untuk mengajukan undang-undang baru untuk menyediakan naturalisasi kepada 11 juta orang tidak berdokumen yang saat ini tinggal di negara itu.
Dalam 100 hari pertamanya menjabat, dia juga berjanji memvaksinasi 100 juta orang Biden sebelumnya mengumumkan akan mendorong Kongres menyetujui paket stimulus 1,9 miliar dollar (Rp 26,6 triliun),untuk mengatasi kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh virus corona.
Badan Kemanan Negara Amerika Serikat (AS) memperkirakan gelombang protes akan terjadi di semua negara bagian AS pada hari pelantikan Joe Biden, 20 Januari 2021.
Mereka adalah pendukung yang belum rela Donald Trump lengser dari jabatannya sebagai Presiden AS.
FBI mengingatkan, para pendemo yang akan menyerbu tiap gedung DPR itu dimungkinkan membawa senjata.
Baca: Twitter Hapus Postingan Kedubes China di AS yang Sebut Wanita Uighur Bukan Lagi Mesin Pembuat Bayi
Dilansir PressTV, beberapa orang mengatakan Amerika tengah mengalami kekacuan sipil seperti yang mereka ciptakan di negara lain.
Gelombang protes panjang terjadi lantaran ketegangan politik yang melanda negara itu.
Utamanya, adanya masyarakat yang mempercai Pilpres 2020 diwarnai oleh kecurangan.
Menurut jajak pendapat oleh Morning Consult minggu lalu, hanya 22% dari Partai Republik percaya pemilihan itu "bebas dan adil".
Sementara hampir seperempat dari semua pemilih terdaftar tidak menyetujui keputusan Donald Trump mundur.
Padahal hingga hari ini tidak ada bukti yang ditemukan untuk menjustifikais kecurangan.
Lagi pula Mahkamah Agung menolak untuk mendengarkan secara terbuka keluhan yang tersebar luas, bahwa mengubah cara pemilihan adalah tidak konstitusional.
Sementara petahana Donald Trump sendiri belum menyerah, tetapi menjanjikan "transisi yang tertib" setelah pemilihan Biden oleh Electoral College.
Banyak kaum konservatif juga marah ketika Trump dimakzulkan karena "menghasut pemberontakan."
Pemakzulan itu dituduh meningkatkan ketegangan di negara Paman Sam, yang memang sudah sagat bergejolak.
Baca: Rawan Blunder, Donald Trump Bungkam dan Sembunyi dari Media Sejak Kerusuhan di Gedung Capitol
Untuk mengamankan pelantikan Biden, berbagai wilayah di Washington DC akan ditutup selama hampir seminggu, dengan 25.000 tentara Garda Nasional.
Pada tahun 2020, "A nation on edge" menjadi sesuatu yang klise di Amerika Serikat, tetapi kali ini benar-benar berbeda.
Keluhan tersebar luas, karena ada begitu banyak oposisi, bahkan keabsahan keluhan.
Sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan melihat betapa buruknya hal itu dalam beberapa hari mendatang.
Kerusuhan di Gedung Capitol, AS, disebut tak hanya melibatkan penduduk sipil pendukung Donald Trump.
The Associated Press menyebut anggota tentara, mantan tentara, dan penegak hukum terlibat kerusuhan tersebut.
Satu di antara bukti yang meyakinkan, adanya barisan pria yang mengenakan helm dan pelindung tubuh.
Baca: Jelang Pemakzulan, Trump Tuding Antifa Jadi Dalang Kerusuhan di Gedung Capitol, Bukan Pendukungnya
Mereka tampak menaiki tangga dalam satu baris, di mana masing-masing pria memegang kerah jaket yang di depan.
Formasi tersebut dikenal sebagai "Ranger File", prosedur operasi standar tim tempur untuk menembus gedung, seperti diberitakan Al Jazeera, Jumat (15/1/2021).
Formasi demikian merujuk pada tentara atau Marinir AS yang bertugas di Irak dan Afghanistan.
Analisis AP terhadap catatan publik, postingan, dan video media sosial menunjukkan setidaknya 21 anggota, mantan militer AS, atau penegak hukum telah diidentifikasi berada di Capitol atau sekitarnya pada saat kerusuhan.
Lebih dari selusin lainnya sedang diselidiki, tetapi belum disebutkan namanya.
Dalam banyak kasus, mereka yang menyerbu Capitol tampaknya menggunakan taktik, pelindung tubuh, dan teknologi seperti headset radio dua arah yang mirip dengan polisi yang mereka hadapi.
“Orang-orang ini memiliki pelatihan dan kemampuan yang jauh melebihi apa yang dapat dilakukan oleh kelompok teroris asing. Kelompok teroris asing tidak memiliki anggota yang memiliki lencana," kata Michael German, mantan agen FBI dan rekan di Brennan Center for Justice di Universitas New York.
Sebagian artikel tayang di Kompas.com berjudul Pada Hari Pelantikan, Biden Akan Ubah Aturan Trump Soal Larangan Masuk bagi Beberapa Negara Muslim