Tiga hari sejak gempa berkekuatan magnitudo 6,2 mengguncang Majene, warga masih mengungsi di tenda-tenda darurat yang didirikan.
Sebagian warga memilih untuk mengungsi di posko yang disediakan pemerintah.
Namun ada juga yang mendirikan di dekat rumah mereka.
Ramli (50), warga Desa Kayuangin, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene adalah salah satu pengungsi yang mendirikan tenda di dekat rumahnya.
Ramli menuturkan, warga yang memilih mengungsi di dekat rumah jarang tersentuh bantuan.
Sebagian besar warga yang mendapat bantuan merupakan pengungsi di posko-posko resmi.
Padahal, sebagian warga tidak mengungsi di posko resmi karena menjaga barang-barangnya di rumahnya.
"Kekurangan air bersih. Kalau bantuan ada juga mi sama beras. Tapi jarang, banyak bantuan yang di tenda-tenda besar," kata Ramli saat diwawancara Kompas.com, Sabtu (16/1/2020) sore.
Penerangan di Desa Ramli bahkan masih belum stabil, pasalnya listrik masih padam.
Lilin dan minyak tanah untuk lampu pelita juga tidak ada, membuat warga menggunakan senter atau ponsel yang sudah diisi dayang di tempat lain.
Di desa yang lebih terpencil, ada juga warga yang masih belum menerima bantuan.
Mereka berada di Desa Salutahungab, area pegunungan di Kecamatan Malunda.
Padahal rumah mereka banyak yang rata dengan tanah.
"Jadi ada yang bilang kenapa cuma dibawa di sini saja bukan ke Lombong," kata Ramli.
Senada dengan Ramli, Nurul Zaskia (22), warga Desa Mekkatta juga masih mengaku kesulitan mendapatkan air bersih.
Selain itu peralatan dan perlengkapan untuk bayi seperti susu dan popok juga sangat kurang.
Padahal, Zaskia punya 8 keluarga yang masih balita ikut mengungsi. Jarak rumah Zaskia dengan lokasi posko induk pengungsian cukup jauh.
"Perlengkapan bayi seperti popok, susu sangat kurang. Padahal ada anak bayi yang baru berusia 20 hari tinggal di dalam (lokasi pengungsian)," ujar Zaskia.
Sementara itu Abdul Khair (31), warga Desa Tubo Tengah, Kecamatan Sendana harus pergi ke posko induk di Kecamatan Malunda untuk mendapatkan susu untuk anaknya.