Dalam perda tersebut, terdapat pasal yang dinilai merugikan dan memaksa warga.
Yakni Pasal 30 yang mengatakan, denda bagi setiap orang yang sengaja menolak dilakukan pengobatan atau vaksinasi Covid-19.
Nantinya, Pemprov DKI akan memberikan sanksi berupa denda Rp 5 juta kepada masyarakat yang tak mau divaksin.
Tak hanya itu, ketentuan norma Pasal 30 tersebut tidak menjelaskan bahwa setelah membayar denda, seseorang tidak akan kembali dipaksa melakukan vaksin di kemudian hari.
Baca: Pesantren di Megamendung Disomasi PTPN VIII, Habib Rizieq: Kami Tidak Merampas Lahan tapi Membeli
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan pihaknya belum akan menghapus pasal tersebut.
Dikarenakan menurutnya, pihaknya belum menerima laporan dari MA soal gugatan Perda Nomor 2 Tahun 2020 itu.
"Sampai saat ini, belum ada pemberitahuan dari Mahkamah Agung bahwa ada gugatan warga sehubungan dengan Perda Covid-19," ucap Ariza dalam keterangan video yang diunggah melalui akun Instagram @bangariza, Kamis (24/12/2020).
Baca: Gus Yaqut Tinjau Perayaan Natal di Gereja Blenduk, Tegaskan Jadi Menteri Agama untuk Semua Agama
Ariza menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta belum menerima pemberitahuan apa pun, termasuk materi gugatan yang diajukan penggugat.
"Jadi, secara materi kami belum mengetahui secara persis gugatannya," ucap dia.
Pihaknya pun belum akan menghapus sanksi denda Rp 5 juta bagi warga yang menolak divaksin.
Ia menuturkan, pihaknya akan bertindak bila MA telah mengeluarkan putusan terkait hasil uji materiil pada sanksi denda tersebut.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Perda Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 di Jakarta merupakan produk hukum bersama antara eksekutif dan legislatif.
Selain itu, pembentukan perda tersebut juga telah melalui prosedur hukum di pemerintahan.
Meski demikian, lanjut Ariza, Pemprov DKI Jakarta akan menghormati langkah hukum apabila Perda Nomor 2 Tahun 2020 tersebut digugat.
Gugatan uji materi terhadap perda tersebut, kata Ariza, merupakan seluruh hak warga negara, khususnya warga DKI Jakarta.
"Karena itu adalah hak setiap warga negara," tutur Ariza.
Dia menegaskan, proses pembuatan perda tersebut sudah sesuai prosedur yang benar, melibatkan berbagai pihak, termasuk DPRD DKI Jakarta dan para pakar dan ahli.
Namun, jika ada masukan dan kritik dari warga, kata Ariza, Pemprov DKI Jakarta tidak menutup pintu, asalkan ditempuh dengan aturan yang benar.
"Silakan sampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masukan ataupun kritikan masyarakat dapat dijadikan bahan pertimbangan dan evaluasi bagi kami Pemprov DKI Jakarta," kata Ariza.
Sebelumnya, seorang warga yang berdomisili di Jakarta bernama Happy Hayati Helmi melayangkan gugatan judicial review atau uji materi terhadap Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020.
Adapun Pasal yang digugat adalah Pasal 30 yang memuat denda bagi setiap orang yang sengaja menolak dilakukan pengobatan atau vaksinasi Covid-19.
Baca: Pemerintah Sudah Keluarkan Aturan Jadwal dan Tahapan Vaksinasi, Disesuaikan dengan Sejumlah Faktor
Baca: Vaksinasi Covid-19 Belum Tentu Bisa Dilakukan Awal 2021, Menko PMK : Bisa Jadi Akhir Tahun
Kuasa hukum Happy, Victor Santoso Tandasia, mengatakan, pemohon yang berdomisili di DKI Jakarta tidak memiliki pilihan karena isi pasal tersebut bersifat memaksa.
"Paksaan vaksinasi Covid-19 bagi pemohon tentunya tidak memberikan pilihan bagi pemohon untuk dapat menolak vaksinasi Covid-19 karena bermuatan sanksi denda Rp 5 juta," ujar Victor dalam keterangan tertulis, Jumat (18/12/2020).
Victor menjelaskan, besaran denda tersebut di luar kemampuan pemohon, mengingat denda bisa juga dikenakan kepada keluarga pemohon.
Selain itu, ketentuan norma Pasal 30 tersebut tidak menjelaskan bahwa setelah membayar denda, seseorang tidak akan kembali dipaksa melakukan vaksin di kemudian hari.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Digugat karena akan Beri Sanksi Penolak Vaksin Covid-19, Pemprov DKI:Belum ada Pemberitahuan dari MA