Diketahui Azis Syamsuddin, selaku Wakil Ketua DPR RI merupakan pimpinan rapat yang mengesahkan undang-undang tersebut.
Meski telah disahkan, politikus Partai Golkar itu mengakui bahwa dirinya belum pernah membacanya secara detail satu per satu naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Saya hanya mengecek secara random. Kalau secara detail tidak mungkin dicek satu per satu," demikian pengakuan Azis Syamsuddin saat diwawancara Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa yang tayang pada Rabu (14/10/2020), dikutip dari Kompas.tv, Kamis (15/10/2020).
Azis menjelaskan, dirinya tak membaca secara keseluruhan naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja karena bukan termasuk dalam panitia kerja atau Panja DPR.
Baca: Presiden AS Donald Trump: Makan Kentang Goreng McDonalds Bisa Atasi Kebotakan
Baca: Indonesia Jadi Negara dengan Kasus Covid-19 Terbanyak di Asia Tenggara, Kalahkan Filipina
"Saya tidak ikut dalam pembahasan dan tidak ikut di dalam Panja (panitia kerja)," ujar Azis.
Selain tak ikut dalam Panja, Azis menambahkan, dirinya juga tidak ikut dalam Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi UU Cipta Kerja.
Lebih lanjut, Azis kemudian ditanya oleh Najwa Shihab soal perbandingan isi naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan kepada Preiden Joko Widodo atau Jokowi dengan yang disahkan oleh DPR.
Menjawab pertanyaan itu, Azis menuturkan bahwa terkait perbandingan isi UU Cipta Kerja itu merupakan bagian tim Panja di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
"Sebagai pimpinan yang mengatur lalu lintas dan administrasi, saya percaya apa yang telah dilakukan oleh teman-teman di Badan Legislasi," ujar Aziz.
Baca: Prakiraan Cuaca Jumat 16 Oktober 2020 di 33 Kota Besar Indonesia, Bandung Hujan Petir di Malam Hari
Dia menuturkan, itu baik di tingkat rapat kerja, rapat panja, rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Berikut kepada kesekjenan yang telah memberikan hasil.
“Saya harus beri kesempatan mereka agar saya bisa percaya," ujarnya.
Sementara itu, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea buka suara mengenai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Hal yang menjadi sorotan Hotman adalah persoalan pesangon dalam omnibus law.
Ia menyebut bahwa UU Cipta Kerja adalah berita bagus untuk para buruh dan pekerja.
"Berita bagus untuk para pekerja, berita bagus untuk para buruh. Saya baru membaca draft Undang-undang Cipta Kerja," ucap Hotman seperti dikutip dari akun instagramnya @hotmanparisofficial, Kamis (15/10/2020).
Dikutip dari Kompas.com, Hotman menyebut di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan bila pemberi kerja tidak membayar uang pesangon sesuai ketentuan, maka akan dianggap telah melakukan tindak pidana kejahatan dan ancaman hukuman empat tahun penjara.
"Pasti majikan kalau di LP (laporan kepolisian), kalau dibuat laporan polisi ke kepolisian mengenai uang pesangon bakal buru-buru membayar uang pesangon," ujar Hotman.
Baca: Toyota Fortuner Facelift 2020 Resmi Hadir di Indonesia, Harganya Mulai 500 Jutaan
Baca: Berkat Ambulans Terbang Ini, Cristiano Ronaldo Bisa Pulang ke Italia Meski Disebut Positif Covid-19
Menurut Hotman, klausul dalam UU Cipta Kerja tersebut merupakan kemajuan yang menguntungkan bagi para pekerja maupun buruh.
Pasalnya selama ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi buruh untuk menuntut perusahaan yang tidak membayarkan pesangon.
"Tapi dengan melalui satu laporan polisi, kemungkinan uang pesangon Anda akan dapat. Selamat untuk para buruh dan pekerja," jelas Hotman.
Meski tak menyebutkan draft UU Cipta Kerja mana yang dibacanya, namun dari penelusuran Kompas.com, Hotman membaca versi draft final yang 812 halaman.
Di dalam pasal 185 ayat (1) UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan dijelaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2), pasal 68, pasal 69 ayat (2) Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) bakal dikenai sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Baca: Tanggapi Video Viral Bupati Blora Tak Pakai Masker, Ganjar: Kita Butuh Contoh, Butuh Teladan
Baca: Ibu di Surabaya yang Lumuri Kotoran Manusia ke Petugas Medis Ditetapkan Jadi Tersangka
Pada pasal berikutnya dijelaskan, tindak kejahatan yang dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 156 ayat (1) sendiri merupakan pasal yang menjelaskan mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon bila terjadi pemutusan hubungan kerja.
Selain pesangon, pengusaha juga diwajibkan untuk membayar uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.
Hal tersebut berbeda dengan pasal 185 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Di dalam pasal 185 undang-undang lama, klausul mengenai kewajiban untuk membayar pesangon tidak termasuk dalam tindak pidana kejahatan.
Baca: Timnas Indonesia U-19 Gagal Kalahkan Makedonia Utara Lagi, Apa Penyebabnya? Ini Kata Shin Tae-yong
Baca: Tagih Utang Tak Biasa, Debt Collector Ini Coret Rumah Nasabah dengan Pilox Bayar Utangmu
Sebelumnya, Hotman sempat angkat bicara mengenai polemik pengesahan UU Cipta Kerja.
Hotman mengatakan berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi advokat, permasalahan yang sering dihadapi pekerja atau buruh adalah sulitnya menuntut hak pesangon.
"Terlepas setuju atau tidak omnibus law, dalam 36 tahun pengalaman saya menjadi pengacara.
Masalah yang dihadapi buruh adalah dalam menuntut pesangon, karena prosedur hukumnya sangat panjang," ucap Hotman dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (11/10/2020).
Selama ini, banyak kasus perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Baca: Nekat Lumuri 3 Tenaga Medis dengan Kotoran Manusia, Istri Pasien Covid-19 di Surabaya Jadi Tersangka
Baca: Irjen Napoleon Bonaparte dan Tommy Sumardi Resmi Ditahan Bareskrim Polri Terkait Kasus Djoko Tjandra
Namun pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang.
Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.
Di sisi lain, untuk menuntut hak pesangon ke pegadilan, butuh pengacara yang memakan biaya yang tak sedikit. Itu pun belum tentu putusan pengadilan memenangkan pekerja korban PHK.
"Dimulai dengan kalau majikan menolak lalu melalui dewan pengawas Depnaker (Departemen Tenaga Kerja).
Depnaker tidak punya power hanya berupa syarat, mau tidak mau si buruh harus ke pengadilan," ungkap Hotmen.
"Di pengadilan bisa sampai peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), bayangkan bayar honor pengacara berapa, bisa-bisa honor pengacara lebih besar daripada pesangonnya," kata dia lagi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.tv berjudul Azis Syamsuddin Akui Belum Baca Detail UU Cipta Kerja: Saya Hanya Cek Random, Tak Mungkin Satu-satu dan di Kompas.com dengan judul "Mengaku Sudah Baca Draf UU Cipta Kerja, Hotman Paris: Berita Bagus untuk Para Buruh!"