Sejumlah buruh dan mahasiswa pun turun ke jalan menjalankan aksi demo tolak Omnibus Law.
Mereka pun menggaungkan kalimat 'Mosi Tidak Percaya' sebagai rasa kecewa terhadap pemerintahan.
Berbagai elemen masyarakat pun meluapkan rasa tidak puas dengan tulisan 'Mosi Tidak Percaya'.
Namun, anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP TB Hasanuddin memberikan komentar terhadap luapan kata 'Mosi Tidak Percaya'.
Dirinya menyebutkan, kalimat tersebut tak bisa melengserkan Presiden RI, Ir Joko Widodo.
"Mosi tidak percaya ini berlaku di negara dengan sistem pemerintahan parlementer," ucapnya.
Ia kemudian melanjutkan, Indonesia menganut sistem presidensiil bukan perlementer.
Sehingga, tegasnya, kalimat mosi tidak percaya yang didengungkan demonstran juga tidak dapat melengserkan Presiden Joko Widodo.
Sebab, kata Hasanuddin, sistem presidensial memiliki mekanisme berbeda dari sistem parlementer untuk melengserkan kepala pemerintahan.
"Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat,"
Baca: Viral Tudingan CCTV Sengaja Dimatikan saat Demo Tolak UU Cipta Kerja, Pemprov DKI: Gangguan Jaringan
Baca: Adik Pasha Ungu Ditangkap BNN Atas Dugaan Terlibat Sindikat Narkoba, Saya Nggak Tau, Ini Kehidupan
"Proses pemakzulan presiden cukup sulit," ucap Hasanuddin.
Hasanuddin mengatakan, Indonesia memang memiliki parlemen, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, terdapat perbedaan dengan tugas dari parlemen dengan sistem parlementer.
Menurutnya, mosi tidak percaya (dalam politik) adalah pernyataan tidak percaya dari DPR kepada kebijakan pemerintah.
Hal ini dikaitkan dengan hak-hak DPR pasal 77 ayat 1 UU 27/2009 yakni interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
"Mosi tidak percaya merupakan hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas ketidakpercayaan kepada pemerintah," jelasnya.
Hasanuddin menjelaskan, dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini, proses pemakzulan presiden nyaris tak mungkin.
Bila memang terjadi, ia mengatakan mekanismenya DPR harus menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP).
Tujuannya, untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri.
Atau bila terdapat dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela (UU MD3, pasal 79 ayat 4) .
"Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," terangnya.
Hasanuddin menegaskan, keputusan tersebut akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya (UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3) .
Bila keputusannya disetujui, kata dia, maka wajib dibentuk panitia khusus (Pansus) yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR (UU MD3, pasal 212 ayat 2).
"Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," papar Hasanuddin.
Ia menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR, dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir (UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4) .
Persetujuan DPR ini selanjutnya dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.
"MK kemudian bersidang. Bila MK menyatakan terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (UU MD3, Pasal 215 ayat 1)," ucapnya.
Baca: 8 Petinggi KAMI Ditangkap, Polisi Temukan Dugaan Perencanaan Terkait Demo Tolak UU Cipta Kerja
Baca: Tanggapi Kerusuhan Demonstrasi Tolak Omnibus Law, Menhan Prabowo Subianto: Ini Pasti Ada Dalangnya
MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR.
Hasanuddin mengatakan, keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR.
Yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir (UU MD3, pasal 38 ayat 3).
"Melihat komposisi koalisi fraksi -fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," ucapnya.
Bila kemudian ada aspirasi menurunkan presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU, bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar.
"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional yang harus kita taat bersama," paparnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Demonstran Gaungkan Mosi Tidak Percaya, Politikus PDIP: Tak Mudah Menurunkan Presiden Pilihan Rakyat