Peneliti mulai menyelidiki apakah metallodrugs (senyawa mengandung logam yang lebih umum digunakan untuk menangani bakteri) juga memiliki sifat antivirus yang bisa melawan SARS-CoV-2 atau virus corona baru.
Menggunakan hamster Suriah (golden hamster) sebagai subjek tes, mereka menemukan bahwa salah satu dari obat tersebut, ranitidine bismuth citrate (RBC), adalah agen anti-SARS-CoV-2 yang manjur.
"RBC mampu menurunkan jumlah virus di paru-paru hamster yang terinfeksi sampai 10 kali lipat," kata peneliti Universitas Hong Kong, Runming Wang, kepada wartawan, Senin (12/10/2020), saat tim itu menyajikan hasil penelitan mereka.
"Temuan kita menunjukkan bahwa RBC adalah agen antivirus yang potensial untuk Covid-19," katanya.
Baca: Kalbe Farma Siap Pasarkan Obat Remdesivir Atasi Covid-19 di Indonesia, Harga Rp3 Juta per Botol
Saat ini virus corona sudah menewaskan lebih dari 1 juta orang sejak virus itu muncul pertama kali di China pada Desember tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia.
Para ilmuwan tidak hanya berjuang menemukan vaksin, tetapi juga menyelidiki obat-obatan di pasaran yang mungkin bisa meringankan gejala Covid-19 atau membantu tubuh melawan infeksi.
Remdesivir dan dexamethasone telah diuji coba dan menunjukkan keberhasilan dalam melawan virus corona.
Kedua obat itu juga digunakan para dokter untuk mengobati Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang terjangkit Covid-19.
Meski demikian, remdesivir dan dexamethasone juga memiliki kekurangan.
Remdesivir harganya mahal dan saat ini langka, sedangkan dexamethasone memiliki efek imunosupresi.
Dexamethasone berisiko bagi semua orang, kecuali pasien paling parah/sakit.
Baca: AS Dikecam karena Borong Hampir Seluruh Pasokan Remdesivir untuk Pengobatan Covid-19
Sementara itu, kombinasi obat lainnya menunjukkan adanya risiko kerusakan liver.
Ilmuwan Hong Kong mengatakan RBC tersedia dan lazim digunakan untuk menangani maag dan terbukti aman.
"Obat ini telah digunakan selama puluhan tahun sehingga cukup aman," kata Wang.
Mereka mengatakan hasil riset mereka, yang telah diterbitkan di Nature Microbiology, menunjukkan metallodrugs lain mungkin juga bisa melawan virus corona dan harus diteliti lebih lanjut.
Pakar kesehatan mengecam keputusan Amerika Serikat untuk memonopoli hampir seluruh pasokan global remdesivir, satu-satunya obat sejauh ini yang dilisensikan untuk mengobati Covid-19, Rabu (1/7/2020).
Mereka juga memperingatkan bahwa tindakan AS yang dinilai mementingkan diri sendiri ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi upaya untuk berbagi pengobatan di tengah pandemi.
Sebelumnya, Pemerintah AS pada Selasa kemarin mengumumkan bahwa Presiden Donald Trump telah melakukan “kesepakatan luar biasa” untuk membeli obat tersebut untuk orang Amerika, yang diproduksi oleh Gilead Sciences.
Baca: Belum Benar-benar Pulih dari Covid-19, Donald Trump Sudah Tak Minum Obat, Ingin Segera Kampanye
Dilansir oleh The Guardian, pemerintahan Donald Trump kini telah membeli lebih dari 500 ribu dosis Remdesivir.
Ratusan ribu dosis ini disebut-sebut merupakan jumlah seluruh produksi Gilead untuk bulan Juli, dan 90 persen untuk bulan Agustus dan September.
"Presiden Trump telah mencapai kesepakatan luar biasa untuk memastikan Amerika memiliki akses ke pengobatan resmi pertama untuk COVID-19."
"Sebisa mungkin kami ingin memastikan bahwa setiap pasien Amerika yang membutuhkan Remdesivir bisa mendapatkannya. Pemerintahan Trump telah melakukan segala upaya untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengobatan COVID-19 dan mengamankan opsi ini (membeli Remdesivir) untuk rakyat Amerika," ungkap Sekretaris Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS), Alex Azar.
Langkah Trump untuk memborong remdesivir ini tak ayal mendapat kritikan dari sejumlah ahli.
Ohid Yaqub, seorang dosen senior di Universitas Sussex. menyebut langkah tersebut sebagai "berita mengecewakan".
Baca: Tuding China sebagai Penyebab Pendemi Covid-19, Donald Trump Bersumpah: Mereka Harus Bayar Akibatnya
"Ini sangat jelas menandakan keengganan untuk bekerja sama dengan negara lain dan efek dinginnya ini terhadap perjanjian internasional tentang hak kekayaan intelektual," kata Yaqub dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir oleh South China Morning Post.
Dr. Peter Horby, yang menjalankan uji coba klinis besar menguji beberapa perawatan untuk Covid-19, mengatakan kepada BBC bahwa "kerangka kerja yang lebih kuat" diperlukan untuk memastikan harga yang adil dan akses ke obat-obatan utama untuk orang dan negara di seluruh dunia.
Dia mengatakan bahwa sebagai perusahaan Amerika, Gilead kemungkinan berada di bawah tekanan politik tertentu secara lokal.
Sementara itu, Juru bicara Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, James Slack, menolak untuk mengkritik Amerika Serikat atas tindakan tersebut.
Ia juga mengatakan Inggris memiliki persediaan remdesivir.
“Inggris telah menggunakan remdesivir untuk beberapa waktu, pertama dalam uji coba dan sekarang dalam 'Skema Akses Awal ke Obat-obatan',” katanya.