Satu diantaranya adalah tentang perizinan kapal berbendera asing beroperasi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Dalam Omibus Law RUU Cipta Kerja, pemerintah disinyalir akan memberikan izin operasi kepada kapal berbendera asing.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Edhy Prabowo memberikan keterangannya.
"Bukan kapal asing. Maaf ya, bukan kapal asing. Bukan kapal asing," kata Edhy saat dihubungi Kompas.com, Kamis (8/10/2020).
"Kapal (yang dimaksud) itu adalah kapal yang sudah dimiliki orang Indonesia, akan kami perbolehkan. Enggak ada kapal asing ke Indonesia," imbuhnya.
Baca: Aksi Teatrikal Mahasiswa Lakukan Salat Jenazah di Depan Gedung DPRD saat Demo Tolak RUU Cipta Kerja
Baca: Demonstrasi Meluas: Berikut Daftar Gubernur/Bupati/Wali Kota dan DPRD yang Ikut Menolak Omnibus Law
Dijelaskan oleh Edhy, di masa kepemimpinan sebelum dirinya, pembuatan kapal di luar negeri memang diizinkan.
Namun saat pergantian menteri peraturan mengenai pembuatan kapal di luar negeri telah berubah.
Sehingga saat ini banyak kapal bekas asing yang dibeli rakyat Indonesia.
Kapal-kapal ini, menurut Edhy, adalah kapal milik investor Indonesia.
"Begitu ganti menteri, kan enggak boleh. Lah ini kan investor Indonesia. Kalau orang berusaha silakan (boleh beli kapal di luar negeri), bagi mereka menguntungkan dan murah, selama mereka mengikuti aturan di KKP untuk sustainability dan pertumbuhan, ya silakan," jelas Edhy.
Pada kesempatan yang sama, Edhy mengatakan bahwa investor boleh menanamkan modal di sisi hilir sektor kelautan dan perikanan.
Meski demikian, pengambilan dan penangkapan ikan di laut harus tetap dilakukan oleh orang Indonesia.
"Di industri (sisi hilir), boleh. Tapi kapal penangkapnya, harus yang nangkap orang Indonesia. Bagaimana saya kasih kesempatan asing datang, yang nangkap (juga) asing, orang Indonesia makan apa nanti?" ungkap Edhy.
Sustainability atau keberlanjutan dan pertumbuhan, dikatakan oleh Edhy, adalah fokusnya dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan saat ini.
Edhy mengaku tak ingin mengesampingkan keberlanjutan demi pertumbuhan, begitupun mengesampingkan pertumbuhan demi keberlanjutan.
"Intinya gini, jangan sampai berkesan saya mengizinkan ini untuk mengeksploitasi besar-besaran tanpa memikirkan kesinambungan," pungkas Edhy.
Dikutip dari Kompas.com, UU Cipta Kerja akan mengubah UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam pasal 27 bagian Kelautan dan Perikanan.
Pada pasal 27 ayat (2) menyebut, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah.
Lebih lanjut di pasal 30, pemerintah akan memberikan izin berusaha kepada asing yang harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara RI dengan negara bendera kapal.
Diantara pasal 26 dan pasal 27 disisipkan 1 pasal, yakni pasal 27A.
Pasal 27A ayat (3) menyebut, setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa dokumen perizinan berusaha, dikenai sanksi administratif.
Ketentuan mengenai sanksi administratif ini selanjutnya akan diatur oleh peraturan turunannya.
Yaitu Peraturan Pemerintah (PP), baik itu mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif.
Sedangkan di UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebut, setiap orang yang memiliki atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan ZEEI wajib memiliki SIPI.
Pasal 28 ayat (2) menjelaskan, setiap orang yang memiliki maupun mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan negara RI wajib memiliki SIKPI.
Untuk diketahui, ZEE adalah zona perairan sejauh 200 mil laut (370,4 km) diukur dari garis bibir pantai.
Dikatakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto, ZEE berada di wilayah laut lepas alias tidak berada di laut teritorial.
Dalam konteks kedaulatan negara, ZEE berbeda dengan laut teritorial yang batasnya sejauh 12 mil dari garis pantai.
Artinya kapal berbendera asing bebas memasuki wilayah ZEE selama tidak mengambil sumber daya alam di zona tersebut.
"Dalam konsep ZEE maka sumber daya alam yang ada dalam ZEE diperuntukkan secara eksklusif bagi negara pantai," ujar Hikmahanto seperti yang dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com.
"Inilah yang disebut sebagai hak berdaulat atau sovereign right," lanjutnya.
Aturan ZEE mulai dibahas menjadi hukum yang disepakati antar-negara setelah Kenya mengajukan skema batas laut pemanfaatan sumber daya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya.
Proposal Kenya tersebut mendapatkan dukungan aktif dari banyak negara Asia dan Afrika.
Di saat bersamaan, banyak negara Amerika Latin mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial.
Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.
Baca: Dihampiri Pria Berpakaian Preman, Jurnalis Dipaksa Hapus Foto dan Video saat Liput Demo di Sukabumi
Baca: Hancur Lebur, Simak Update Kondisi Halte TransJakarta Bundaran HI Setelah Demonstrasi
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Penjelasan Menteri Edhy soal Izin Operasi Kapal Asing dalam UU Cipta Kerja" dan "Mengenal Apa Itu ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif di Laut."