Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, UU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Salah satu yang mendapat banyak sorotan adalah omnibus law UU Cipta Kerja tersebut memangkas sejumlah hak pekerja yang semula ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dilansir oleh Kompas.com, ketentuan Pasal 79 yang mengatur waktu istirahat dan cuti pekerja diubah.
Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Baca: Jadi Salah Satu yang Setujui RUU Cipta Kerja, Krisdayanti Jelaskan Tujuan Mulia Omnibus Law
Ketentuan ini mengubah aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapus istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut.
Perubahan dalam UU Cipta Kerja hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Kemudian, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Selanjutnya, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Baca: Disahkan, Ini Sejumlah Pasal Kontroversial Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Banyak Dapat Sorotan
Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perusahaan wajib memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja enam tahun berturut-turut.
Ketentuan ini berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja enam tahun. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (d).
Pada dua ayat lainnya, disebutkan hak istirahat panjang berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan tertentu yang diatur dengan keputusan menteri.
Banyaknya UU yang tumpang tindih di Indonesia ini yang coba diselesaikan lewat Omnibus Law.
Salah satunya sektor ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja disebut merevisi sejumlah pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Baca: Undang-Undang Cipta Kerja
Contohnya, pemerintah berencana mengubah skema pemberian uang penghargaan kepada pekerja yang terkena PHK.
Besaran uang penghargaan ditentukan berdasarkan lama karyawan bekerja di satu perusahaan.
Namun, jika dibandingkan aturan yang berlaku saat ini, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, skema pemberian uang penghargaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja justru mengalami penyusutan.
Di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, pemerintah juga berencana menghapus skema pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana ada penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law adalah dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja. Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah.
Lalu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu.
Baca: 10.000 Anggota Serikat Pekerja Metal di Depok Tolak Keras UU Omnibus Law Cipta Kerja
Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Jika disahkan, pemerintah dianggap memberikan legalitas bagi pengusaha yang selama ini menerapkan jatah libur hanya sehari dalam sepekan.
Sementara untuk libur dua hari per minggu, dianggap sebagai kebijakan masing-masing perusahaan yang tidak diatur pemerintah.
Hal ini dinilai melemahkan posisi pekerja.
Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.
Menurutnya, RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
“Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja. UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," ujar Airlangga seperti dilansir oleh Kompas.com.
Baca: Deretan Pasal dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang Menuai Kontroversi
Setelah pemaparan Airlangga, Azis Syamsuddin mengambil persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja.
Ia menanyakan kesepakatan para peserta rapat paripurna.
“Apakah RUU Cipta Kerja dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Azis.
"Setuju," jawab anggota yang hadir dalam rapat paripurna.
Dalam rapat paripurna tersebut, sembilan di DPR kembali menyampaikan pandangan mereka terhadap RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna.
Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat tetap menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja.
Hasilnya, RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi undang-undang. Mayoritas fraksi DPR dan pemerintah setuju.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "UU Cipta Kerja Hapus Hak Libur Pekerja 2 Hari dalam Seminggu"