Rapat tersebut dimulai pada pukul 15:20 WIB dan dipimpin oleh ketua DPR Azis Syamsudin.
Turut hadir di ruang rapat, Ketua DPR RI Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Rachmat Gobel.
Rapat Paripurna tersebut dihadiri 61 anggota Dewan yang hadir fisik, serta 195 anggota Dewan hadir secara virtual.
Meski menghadapi serangkaian penolakan, paripurna DPR tersebut tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Kini jutaan buruh turun berdemo menyuarakan penolakan terhadap RUU yang dinilai dapat menyengsarakan rakyat tersebut.
Baca: Aturan Bagi Pekerja Kontrak dalam UU Cipta Kerja, Tidak Ada Batasan Perpanjangan Masa Kontrak
Tak cuma berdemo, sejumlah buruh juga memutuskan untuk melakukan mogok kerja massal sebagai bentuk protes.
Sementara itu di media sosial Instagramnya, Krisdayanti berusaha menyampaikan pembelaan terkait RUU Cipta Kerja.
Menurutnya pemerintah pusat tak bermaksud memanjakan para pengusaha.
Walau di dalam RUU Cipta Kerja tertulis jelas beberapa pasal mengatur soal kemudahan birokrasi pengusaha dalam mengurus izin dan lain sebagaianya.
"Pada dasarnya pemerintah Pusat akan mencari solusi yang terbaik untuk semua masyarakat Indonesia.
Tidak ada niat untuk memanjakan para pengusaha dan investor seperti yang selama ini disampaikan oleh sekelompok pihak," tulis Krisdayanti dikutip TribunJakarta.com pada Selasa (6/10/2020).
Istri Raul Lemos itu menilai RUU Cipta Kerja diciptakan agar terciptanya lapangan pekerjaan dan peningkatan produktivitas.
"RUU Cipta Kerja sebagai terobosan hukum untuk Bangsa dan seluruh Rakyat Indonesia, yang nantinya dapat memudahkan disemua sektor dan bidang untuk melakukan pekerjaannya.
Pada akhirnya gagasan Omnibus Law diwujudkan pada RUU Cipta Kerja yang mempunyai tujuan untuk memudahkan penciptaan lapangan kerja, percepatan peningkatan investasi, dan peningkatan produktivitas yang diyakini akan bisa terealisasi jika RUU Cipta Kerja nantinya ditetapkan menjadi Undang-undang.
@dpr_ri
@komisiix
@rayatex_timorleste
@ikat_ind," tulis Krisdayanti.
Baca: Ketum Partai Demokrat AHY Sebut UU Cipta Kerja Jauh dari Prinsip Keadilan Sosial
Baca: UU Cipta Kerja Disahkan, Konfederasi Persatuan Buruh: Kami Sangat Kecewa, Marah, Ingin Menangis
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020), meski mendapat banyak penolakan.
UU Cipta kerja mengatur tentang ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja memberikan manfaat kepada pemerintah dan masyarakat.
UU Cipta kerja, kata Airlangga, merevisi beberapa UU yang menghambat tercapainya tujuan dan penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, Airlangga juga mengatakan UU Cipta kerja diperlukan agar efektivitas birokrasi meningkat.
"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Airlangga.
"UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," lanjut dia.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan UU Cipta Kerja akan mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik.
Menurut Puan, pembahasan UU Cipta Kerja yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat.
Dia menegaskan muatan UU Cipta Kerja mengutamakan kepentingan nasional.
"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang," kata dia.
UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.
Baca: Fraksi Partai Demokrat dan PKS Nilai RUU Cipta Kerja Batasi Keterlibatan Publik
Namun, beberapa pasal di UU ini menulai kontroversi. Berikut beberapa pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, dilansir dari Kompas.
Pasal 59 UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
Baca: Disahkan, Ini Sejumlah Pasal Kontroversial Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Banyak Dapat Sorotan
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur bahwa pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Baca: Disahkan, Ini Sejumlah Pasal Kontroversial Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Banyak Dapat Sorotan
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Baca: Jika RUU Cipta Kerja Disahkan, Apakah Buruh Akan Dibayar Lebih Rendah?
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, Pasal 91 ayat (2) menyatakan dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Baca: Bayang-bayang Ancaman RUU Cipta Kerja Jika Berhasil Disahkan Bisa Ancam Pekerja Kantoran
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Ikut Rapat Pengesahan RUU Cipta Kerja di DPR, Krisdayanti: Tak Ada Niat Memanjakan Para Pengusaha dan di Kompas.com dengan judul "Ini Pasal-pasal Kontroversial dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja"