Balas Vanuatu dengan Kata Non-Intervensi, Kontras Sebut Indonesia Terkesan Anti Kritik Soal Papua

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Isu persoalan HAM di Papua sering menjadi topik perdebatan di sidang Majelis Umum PBB.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Persoalan Papua dan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih menjadi hal yang sensitif bagi Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia sering mendapat gempuran pertanyaan atau kritik terkait isu Papua dan HAM.

Di sidang Majelis Umum PBB, terbaru, negara Oseania, Vanuatu melemparkan kritiknya terhadap Indonesia terkait isu pelanggaran HAM di Papua.

Indonesia memang tak tinggal diam dengan kritik dari Vanuatu.

Indonesia membalas sikap Vanuatu dan menyatakan negara yang berada di Pasifik itu tak pantas mengurusi urusan negara orang lain.

Ramai Indonesia vs Vanuatu dipicu oleh Perdana Menteri negara tersebut, Bob Loughman yang mengungkit permasalah isu pelanggaran HAM di Papua.

Dalam sidang majelis umum PBB, sikap Vanuatu direspon cukup keras oleh Indonesia melalui perwakilan diplomat, Silvany Austin Pasaribu.

Meski begitu, respons Indonesia yang mencecar balik Vanuatu mendapat tanggapan negatif dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Kontras menilai Indonesia terkesan tidak mengerti taktik berdiplomasi.

Hal itu disampaikan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti menanggapi respons Indonesia saat menjawab tuduhan yang dilontarkan Vanuatu terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua pada sidang PBB.

Baca: Vanuatu Kritik Indonesia Terkait Papua dan Isu HAM, DPR: Mereka Menghasut Dunia dan Sebar Hoaks

"Tentu saja Indonesia seakan-akan tidak mengerti konsep diplomasi yang baik seperti apa," ucap Fatia dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com.

Fatia mengungkapkan bahwa kata non-intervensi adalah kata mati dalam teori diplomasi.

Aksi blokade jalan oleh warga Papua di Kota Manokwari, Senin (19/8/2019) pagi. Mereka memprotes tindakan rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pekan lalu. (KONTRIBUTOR KOMPAS TV/ BUDY SETIAWAN)

Kata itu, menurut dia, menutup kritik dari negara lain untuk memberikan rekomendasi dan menutup komunikasi politik antarnegara.

Mantan Kepala Divisi Advokasi Internasional Kontras itu pun mempertanyakan untuk apa forum internasional seperti sidang PBB diselenggarakan apabila kata non-intervensi terus dilontarkan.

"Jika Indonesia selalu mengeluarkan kata non-intervensi pada saat ada negara lain yang mengritik atau mempertanyakan sikap Indonesia terkait situasi domestik," kata Fatia.

"Untuk apa ada forum internasional, seperti PBB, yang di mana forum tersebut dibangun untuk memperbaiki situasi sosial, politik, dan ekonomi negara anggotanya," tutur dia.

Baca: Terlalu Keras Respons Kritik Vanuatu, Amnesty International: Indonesia Tak Elegan Menjawab Tuduhan

Fatia menilai Indonesia justru semakin membenarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan penggunaan kata tersebut secara terus-menerus setiap ada negara yang mengangkat isu Papua.

Sebab, langkah itu menimbulkan kesan tertutupnya akses informasi dan transparansi negara terhadap apa yang terjadi di Papua.

Lebih lanjut, ia pun berharap agar Indonesia lebih transparan dalam praktik diplomasinya terkait isu Papua.

"Seharusnya Indonesia dapat bersikap lebih transparan, tidak melulu menggunakan pola yang sama dalam diplomasinya menyangkut dengan Papua, sehingga tidak menjadi standar ganda ketika Indonesia pun bersuara lantang untuk kemerdekaan Palestina," ucap dia.

Halaman
12


Penulis: Haris Chaebar
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer