Hal itu disampaikan oleh Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Giri Suprapdiono.
"KPK sudah mengidentifikasi, jadi kalau ibu bapak nanti setelah memimpin melakukan ini, KPK sudah tahu modusnya," kata Giri dalam sebuah webinar yang disiarkan akun Youtube KPK, Rabu (30/9/2020).
Diberitakan Kompas.com, modus pertama adalah jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Jabatan yang diedarkan mulai dari kepala dinas, sekretaris daerah, hingga kepala sekolah.
Baca: Sejak 2004 hingga Mei 2020, KPK Sudah Tangani 397 Kasus Korupsi yang Libatkan Pejabat Politik
Kedua, modus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Cara kedua ini baru bisa dilakukan setelah kepala daerah memiliki wewenang merencanakan anggaran.
Beberapa hal yang biasa dilakukan dalam modus itu antara lain, penerimaan kickback dan pengaturan pemenang lelang pengadaan.
Modus ketiga, masih terkait jual beli, yakni jual beli perizinan.
Mulai dari perizinan membangun hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan, hingga perkebunan.
Baca: Polisi Berpangkat Biasa Punya Harta hingga Rp 141,2 Triliun, Ternyata Semuanya dari Hasil Korupsi
Keempat adalah korupsi anggaran.
"Berikutnya korupsi anggaran, sudah pinter, kenal sama DPRD. Jadi sebelum dieksekusi pun sudah terjadi," kata Giri.
Modus kelima, penerimaan gratifikasi.
Giri mengingatkan bahwa setiap penerimaan gratifikasi dapat dikenakan pidana bila tidak dilaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari.
"Enggak minta pun dikasih karena jabatannya bupati/wali kota. Belum masuk ke ruangan rumah dinas, semua perabotan sudah diisi dan yang isi pengusaha," kata Giri.
Baca: Pegawai BRI Korupsi Uang 11 Nasabahnya, Aksi Mulus Berhasil Kantongi Rp2,1 Miliar di Rekeningnya
Keenam, penggelapan pendapatan daerah.
Contoh modus ini ketika ada pungutan pajak yang tidak disetorkan ke kas daerah tapi malah dibagi-bagikan di kalangan pejabat daerah dan oknum lainnya.
Giri membeberkan, ia sering mendapati tak sedikit kepala daerah yang sudah menjabat justru berpikir untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk kepentingan pilkada.
Sekaligus mereka bakal mencari uang lagi untuk digunakan pada pilkada berikutnya.
Bagi Giri, hal ini tidak lepas dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi pilkada.
Baca: KPK Selalu Bersedih Saat Ada Pejabat Negara Tertangkap Lakukan Korupsi Reputasi Bangsa Runtuh
Merujuk pada kajian Kementerian Dalam Negeri, Giri menyebut biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati/wali kota sebesar Rp 20-30 miliar, sedangkan untuk menjadi gubernur sebesar Rp 20-100 miliar.
"Jadi betapa capek ibu-bapak, bagaimana bisa menikmati dan melayani masyarakat kalau berpikirnya mengembalikan uang yang dikeluarkan pada pilkada," ujar Giri