Beberapa kali dalam sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) isu Papua dan HAM menjadi persoalan yang diangkat.
Indonesia dalam hal ini menjadi negara yang dicecar terkait persoalan ini.
Baru-baru ini, sidang Majelis Umum PBB Indonesia dan dan salah satu negara Oseania, Vanuatu terlibat debat panas terkait Papua.
Hal ini dipicu Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman yang mengungkit permasalah isu pelanggaran HAM di Papua.
Sontak saja, hal itu kemudian direspon cukup keras oleh Indonesia.
Dengan tegas, Diplomat perwakilan Indonesia Silvany Austin Pasaribu membantah tudingan tersebut dan meminta Vanuatu untuk tidak ikut campur permasalahan Papua.
Perdebatan di sidanh Majelis Umum PBB ini pun mendapat komentar dari perwakilan rakyat di negeri ini.
Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam), Azis Syamsuddin menyerukan agar Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman belajar tentang etika hubungan internasional.
Azis juga meminta Bob Loughman memahami dulu sejarah dan mengerti akan Papua secara mendalam agar tidak lagi mengulang kebiasaan ikut campur urusan Papua.
Menurut Azis, ucapan Bob Loughman mengenai masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Papua di dalam sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merupakan hal yang sangat tidak pantas, tidak etis dan tidak menghargai serta menghormati kedaulatan negara lain.
Baca: Indonesia Balas Kritikan Vanuatu di Sidang PBB soal Papua: Simpan Khotbah Itu untuk Anda Sendiri
Azis menilai PM Vanuatu perlu memahami geografi, geopolitik dan geostratgi Indonesia sebagaimana di atur dalam norma dan hukum Hubungan International.
"Papua adalah bagian penting dari NKRI, dan hal ini sudah clear serta di kukuhkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi 2504 (XXIV)."
"Fakta inilah yang perlu di hormati oleh Vanuatu maupun kelompok-kelompok yang berusaha memprovokasi keutuhan NKRI."
"Mungkin PM Vanuatu perlu belajar Ilmu Hubungan International sehingga memahami norma dan hukum secara benar," kata Azis pada Senin (28/9/2020).
Politikus Partai Golkar itu merasa heran dengan Negara Vanuatu yang kerap melontarkan masalah Papua sejak tahun 2016 hingga sidang Umum PBB ke 75 tahun 2020 saat ini.
Azis mengatakan jangan sampai isu yang dilontarkan merupakan sebuah pesanan atau tidak berdasar yang akan berdampak pada Negara Vanuatu tersebut nantinya.
"Sudah jelas dalam PBB kita sepakat bahwa seluruh anggota PBB menjaga stabilitas keamanan dan menciptakan Perdamaian Dunia."
"Vanuatu justru menghasut Dunia dan menyebarkan hoaks kepada dunia. Ada apa, apakah mereka Pro Separatis?," ujarnya.
Baca: Kronologi Kecelakaan Truk TNI di Papua yang Menewaskan Dua Prajurit, Rem Diduga Blong
Azis menekanan agar Vanuatu perlu belajar etika dari konsep ASEAN sehingga bisa menerapkan nilai-nilai peradaban yang baik tanpa mengintervensi apa lagi menuduh sesama negara berdaulat.
Di saat yang sama Azis mengapresiasi tanggapan melalui hak jawab oleh Diplomat Indonesia Silvany Austin Pasaribu.
Sebagaimana diketahui Diplomat muda Indonesia memberi respon terhadap Perdana Menteri Vanuatu melalui hak jawab.
"Jika level Perdana Menteri Vanuatu tidak ingin dipermalukan oleh diplomat muda Indonesia, maka Vanuatu harus mulai belajar menghormati norma-norma international."
"Saya mengapresiasi dan mendukung strategi dan langkah Kemlu dalam hal ini," pungkas Azis
Indonesia dan Vanuatu terlibat debat panas dalam sidang Majelis Umum PBB.
Berawal dari Perdana Menteri Negara Vanuatu Bob Loughman yang mengungkit permasalah isu pelanggaran HAM di Papua.
Dengan tegas, Diplomat perwakilan Indonesia Silvany Austin Pasaribu membantah tudingan tersebut dan meminta Vanuatu untuk tidak ikut campur permasalahan Papua.
Baca: Isi Pidato Presiden Jokowi di Sidang Umum PBB: Singgung Vaksin Covid-19 hingga Kemerdekaan Palestina
Ia bahkan menyebut tindakan Vanuatu tersebut memalukan.
"Sangat memalukan bahwa satu negara ini terus-menerus memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau menjalankan pemerintahannya sendiri," ujar Silvany pada awal pidatonya, yang dilansir dari Youtube PBB pada Sabtu (26/9/2020).
"Terus terang saya bingung bagaimana bisa suatu negara mencoba untuk mengajar negara lain, sementara kehilangan inti dari seluruh prinsip dasar Piagam PBB," lanjutnya.
Dilansir oleh Kompas.com, Silvany mengatakan bahwa tuduhan pemerintah Vanuatu sudah tidak menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara Indonesia.
“Setiap negara harus saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara lainnya,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia dengan sadar berusaha mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, di mana setiap individu memiliki hak yang sama di bawah hukum.
Indonesia terdiri atas lebih dari ratusan suku bangsa yang beragam dan multikultural, dengan ribuan suku, ratusan bahasa daerah yang tersebar di lebih dari 17 ribu dan 400 pulau, berkomitmen terhadap hak asasi manusia.
"Kami menghargai keragaman, kami menghormati toleransi dan setiap orang memiliki hak yang sama di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini," tandasnya.
Ia juga mengutip kata-kata Presiden Indonesia, Joko Widodo saat memberikan pidatonya di Sidang Umum PBB, beberapa hari lalu, untuk melakukan pendekatan "win-win solution" untuk menjalin hubungan antar negara.
"Memang seruan seperti itu digaungkan oleh para pemimpin dunia sepanjang pekan ini, tetapi negara ini memilih yang sebaliknya," ucapnya.
"Pada saat krisis besar kesehatan dan ekonomi, mereka lebih memilih untuk menanamkan permusuhan serta menabur perpecahan dengan memandu advokasi mereka untuk separatisme dengan perhatian masalah hak asasi manusia yang berlebihan," lanjutnya.
Baca: Hasil Studi PBB Ungkap yang Paling Diinginkan dan Ditakuti Warga Dunia: Akses Kesehatan Jadi Impian
Balas kritik Silvany balik mengkritik pemerintah Vanuatu, bahwa pemerintah Vanuatu sendiri tidak terlihat komitmennya untuk menghapuskan diskriminasi rasial, dengan belum menandatangani konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial untuk semua orang.
"Jadi, sampai Anda melakukannya (berkomitmen menghapuskan diskriminasi rasial), mohon simpan khotbah untuk diri Anda sendiri," lontar Silvany.
Ketika pemerintah Vanuatu bahkan tidak menandatangani kovensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang menjadi instrumen inti hak asasi manusia, kritikannya terhadap hak asasi manusia di Papua, Indonesia, menjadi dipertanyakan.
"Hal ini justru menimbulkan pertanyaan apakah mereka (pemerintah Vanuatu) benar-benar peduli dengan kepedulian masyarakat adat," sindir Silvany.
Orang Papua adalah orang Indonesia, yang mana ia menyebutkan bahwa semua berperan penting dalam pembangunan Indonesia, termasuk di Papua.
"Anda bukanlah representasi dari orang Papua. Dan berhentilah berfantasi menjadi satu," ucapnya.
Kemudian, Silvany mengatakan bahwa kritik pemerintah Vanuatu kepada Indonesia mengarah pada advokasi saparatisme yang berkelanjutan, yang disampaikan dengan kedok kepedulian hak asasi manusia artifisial.
"Prinsip piagam PBB yang tampaknya tidak dipahami Vanuatu, menetapkan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial," ujarnya.
Provinsi Papua, dan Papua Barat merupakan bagian Indonesia yang tidak dapat ditarik kembali sejak 1945.
"Hal ini juga telah didukung dengan tegas oleh PBB dan masyarakat internasional beberapa dekade yang lalu. Dalam final ini tidak dapat diubah dan permanen," pungkasnya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua dan masih berlanjut hingga saat ini.
Menurut dia, dugaan pelanggaran HAM di Papua menjadi perhatian khusus negara-negara Pasifik yang menyeru agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua.
Namun, kata Loughman, seruan itu tidak direspons oleh Pemerintah Indonesia.
“Saya meminta pemerintah Indonesia untuk merespons seruan pemimpin Pasifik,” ujar dia.
Diketahui, Vanuatu sendiri merupakan negara di Samudera Pasifik yang masyarakatnya juga merupakan etnis Melanesia seperti Papua.
Negara tersebut juga hampir setiap tahun dalam sidang PBB selalu menyinggung isu dugaan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua.
Sebagian artikel tayang di Tribunnews berjudul Vanuatu Suka Campuri Urusan Papua, DPR: Perdana Menterinya Perlu Belajar Ilmu Hubungan Internasional