Sejak kemunculan kasus perdana pada 2 Maret 2020 silam, terhitung pandemi Covid-19 di Indonesia telah memasuki bulan keenam.
Selain jumlah kasus Covid-19 yang terus mengalami peningkatan, beberapa berita bohong atau hoaks terkait Covid-19 juga masih bermunculan.
Penanganan pandemi Covid-19 tak terlepas dari hoaks tersebut, apalagi mengingat derasnya arus informasi.
Pada 5 Agustus 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendeteksi adanya 1.016 isu hoaks terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform.
Kemudian, berdasarkan catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), ada sekitar 600 hoaks terkait Covid-19 yang telah mereka klarifikasi sejak akhir Januari-September 2020.
Mafindo mencatat sekitar 20 persen di antaranya merupakan hoaks seputar isu pencegahan dan pengobatan Covid-19.
"Narasi-narasi yang terkait pencegahan dan pengobatan ini sepertinya banyak muncul di tengah masyarakat kita yang memang cenderung mudah percaya dengan narasi-narasi yang berbasis testimony based," kata Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/9/2020).
Lebih lanjut, Mafindo juga menyoroti maraknya hoaks terkait vaksin Covid-19 belakangan ini.
Misalnya, hoaks terkait vaksin Covid-19 yang disertai dengan narasi bahwa vaksin justru memicu bahaya bahwa vaksin dapat memperparah serangan terhadap orang yang menderita demam berdarah dengue (DBD).
Namun demikian, hoaks terkait vaksin tersebut belum mendapat banyak respons oleh pemerintah.
Selain itu, isu yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 adalah konspirasi juga beredar dan dipercaya oleh segelintir masyarakat.
Padahal, ada 26,52 juta orang di dunia yang telah terinfeksi virus corona.
Data dari laman Johns Hopkins Coronavirus Resource Center pada Sabtu (5/9/2020) pagi, 873.131 orang di antaranya meninggal dunia.
Baca: Buntut Efek Pandemi Corona, 9,4 Ribu Pekerja di Tangerang Terkena PHK
Di Indonesia, hingga Jumat (4/9/2020), ada 187.537 orang dinyatakan positif Covid-19.
Dari angka tersebut, 134.181 orang telah sembuh dan 7.832 orang meninggal.
Sejumlah teori yang ramai diperbincangkan, terkait kebocoran laboratorium biologi di China, pengembangan senjata biologis, hingga target penanaman cip di dalam tubuh.
Namun, ilmuwan menegaskan bahwa pandemi bukan sebuah konspirasi.
"Epidemi dan pandemi itu bukanlah suatu konspirasi," kata peneliti Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Neni Nurainy dalam diskusi daring bertajuk Webinar SISJ-ALMI: Vaksin Covid-19 di Indonesia, Sabtu (8/8/2020).
Neni mengatakan, masyarakat seharusnya menyadari dan membuka pikiran bahwa tak semua hal dikaitkan dengan konspirasi.
Salah satu sosok yang memercayai Covid-19 sebagai konspirasi adalah musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx.
Drummer grup band Superman Is Dead tersebut juga kerap kali menyuarakan hal tersebut melalui media sosialnya.
Jerinx kini tersandung kasus hukum dan ditahan lantaran menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kacung WHO.
Selain Jerinx, nama lain yang turut menjadi sorotan adalah penyanyi Erdian Aji Prihartanto alias Anji.
Anji menjadi perbincangan setelah videonya dengan Hadi Pranoto, yang mengklaim telah menemukan obat Covid-19, viral di media sosial.
Hadi mengklaim bahwa dirinya adalah profesor atau ahli mikrobiologi.
Ia juga mengaku sebagai seorang kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19.
Dalam video berjudul "Bisa Kembali Normal?Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!" itu, Hadi Pranoto mengklaim berhasil menemukan antibodi Covid-19, yang bisa mencegah dan menyembuhkan pasien terinfeksi.
Hadi Pranoto juga mengklaim antibodi Covid-19 berbahan herbal itu telah disalurkan di wilayah Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan.
Menanggapi klaim obat Covid-19 tersebut, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito angkat bicara.
Wiku mengingatkan figur publik agar berhati-hati dalam menyampaikan informasi seputar Covid-19.
"Sekali lagi saya ingatkan, para peneliti dan figur publik untuk perlu berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada masyarakat," ujar Wiku dalam konferensi pers di Graha BNPB yang ditayangkan secara daring, Selasa (4/8/2020).
"Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar sehingga memahami suatu hal secara tidak utuh dan tidak benar," lanjut dia.
Maraknya informasi yang belum dipastikan kebenarannya terkait Covid-19 dinilai mempersulit penanganan pandemi.
"Jadi hoaks dan teori konspirasi ini sangat, sangat, memperparah upaya penanganan pandemi menurut pandangan kami," kata Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho.
Baca: Pria 82 Tahun Nekat Mencuri Kotak Sampel Tes Corona, Hanya untuk Dijadikan Pelindung Saat Hujan
Ia menilai, berbagai hoaks terkait Covid-19 berdampak pada perilaku masyarakat.
Septiaji mengatakan, hoaks dan teori konspirasi dengan narasi bahwa pandemi hanya rekayasa menurunkan tingkat kepedulian publik sehingga menurunkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Selain itu, hoaks dan teori konspirasi juga dinilai membuat masyarakat curiga dengan tenaga medis maupun rumah sakit.
"Kita lihat ada beberapa kejadian penarikan jenazah paksa dari rumah sakit yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak percaya bahwa jenazah itu positif Covid," ujarnya.
"Ataupun dia menganggap bahwa ini adalah akal-akalan rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk mendapatkan insentif atau uang," kata dia.
Dampak lainnya dari hoaks atau teori konspirasi terkait Covid-19 menurut Mafindo adalah intimidasi terhadap tenaga medis yang memberikan edukasi.
Septiaji mengatakan, intimidasi tersebut terjadi baik secara langsung maupun di media sosial.
Mafindo menilai perlu adanya literasi digital bagi masyarakat.
Septiaji mengimbau kegiatan sosialisasi sebuah teknik membaca di ranah digital yang disebut sebagai lateral reading.
"Itu namanya teknik lateral reading, jadi teknik untuk membaca informasi di ranah digital dengan melakukan verifikasi dan sekaligus membaca secara paralel dari beberapa sumber," ucap Septiaji.
Selain itu, ia juga menilai perlu adanya edukasi dalam jangka panjang. Mafindo menyarankan keterlibatan para tokoh masyarakat maupun pemuka agama sebagai agen pemberi informasi, serta peran media massa, khususnya media siber.
Sementara, untuk penegakan hukum, Septiaji berpendapat langkah itu perlu dilakukan, tetapi menjadi upaya terakhir.
"Kalau kita mau meninggalkan hoaks dan teori konspirasi, maka kita semua harus kompak bahwa hoaks dan teori konspirasi ini kita yakini bisa merusak upaya penanganan pandemi," tutur Septiaji.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "6 Bulan Pandemi Covid-19: Hoaks dan Teori Konspirasi yang Memperparah Penanganan..."