India Butuh Dana Besar untuk Lawan China, tapi Ekonomi Ambruk Akibat Pandemi Covid-19

Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Dampak konflik India - China ---- Demonstrasi menentang produk China terjadi di Kolkata, India.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Ketegangan China dan India di perbatasan kian memuncak.

Kedua negara terus mengirim pasukan militer ke perbatasan Himalaya yang menjadi pusat konflik.

Bahkan, India mengklaim satu tentaranya tewas diserang pasukan China pada Rabu (2/9/2020).

Namun, seperti diberitakan Kontan, pihak China langsung menepis kabar tersebut.

Dalam konflik ini, India tampil sebagai pihak yang dianggap tak akan mampu menyaingi China.

Apa lagi jika mengingat ekonomi yang 'kocar-kacir' akibat pandemi Covid-19.

Ekonomi yang tengah berada di titik terendah akan membuat India berpikir panjang untuk mengnambil langkah agresif di perbatasan.

Perdana Menteri India, Narendra Modi, berjalan bersama komandan militer setelah dirinya sampai di Leh, Ladakh (3/7/2020). Ini adalah kunjungan pertamanya di tempat itu sejak terjadinya bentrok berdarah antara pasukan India dan China bulan lalu. (HANDOUT / PIB / AFP)

Baca: Pentagon Sebut China Akan Gandakan Jumlah Hulu Ledak Nuklirnya, Kemenlu China Membantah

Data Global Times menunjukkan PDB India anjlok 23,9 persen dalam tiga bulan, hingga akhir Juni lalu.

Catatan ini merupakan rekor terburuk PDB triwulan sejak 1996.

Kondisi ekonomi yang anjlok tak bisa dilepaskan dari pandemi.

Kini India masih menjadi negara dengan korban terbesar ketiga di seluruh dunia.

Namun, tampaknya, PM Narendra Modi belum berupaya menutup kerugian.

Pemerintahannya justru terus melakukan pengeluaran besar, terutama di bidang pertahanan.

Narendra Modi menganggap langkah yang ia ambil masuk akal, melihat kondisi geopolitik India dengan China.

Perdana Menteri India, Narendra Modi. (AFP)

Baca: Babak Baru Ketegangan China-India: Kedua Negara Sama-sama Mengirim Jet Tempurnya ke Perbatasan

Namun, pakar ekonomi berkata sebaliknya.

Kalaupun dipaksakan, India tidak akan bisa memberi dukungan lebih pada konflik dengan China di perbatasan.

Pada hari Senin (31/8), pasukan India sekali lagi secara ilegal melintasi Garis Kontrol Aktual (LAC) di tepi selatan Danai Pangong dan jalur gunung Reqin.

Mobilisasi pasukan melalui wilayah LAC membutuhkan biaya yang mahal dan dapat menghabiskan anggaran. Pasokan logistik dan kebutuhan lain, termasuk bahan bakar.

Tindakan semacam itu jelas akan menguras anggaran India.

Sebelumnya, Kepala Staf Pertahanan Jenderal Bipin Rawat, mengklaim bahwa pasukan India siap untuk ditempatkan di segala kondisi, termasuk musim dingin.

Namun klaim itu banyak diragukan mengingat kondisi ekonomi yang ada.

Justru pemerintah dianggap telah mengabaikan masyarakat miskin yang turut terimbas pandemi Covid-19.

India dianggap perlu menyadari betul dampak ekonomi yang nyata dari konflik perbatasan ini, termasuk jika perang terjadi nantinya.

Logistik dan segala pasokan militer akan terasa sangat mahal terlebih distribusi di musim dingin mendatang pastinya memerlukan usaha ekstra.

Jika pemerintah India belum mampu memulihkan kondisi ekonomi domestiknya, maka penanganan konflik perbatasan pun akan semakin sulit.

Dampak Konflik Terhadap Ekonomi India

FOTO: Terlihat banyak orang turun di jalanan di kota-kota di India. Mereka membakar bendera China dan merusak barang-barang elektronik buatan China (Dibyangshu SARKAR / AFP)

Baca: Buntut Tewasnya 20 Tentara India, Ormas Hindu Munnani Bakar Bendera China dan Rusak Smartphone

Konflik kedua negara telah merembet ke ranah ekonomi.

Seruan boikot produk China semakin nyaring di seantero India.

Dilansir dari Indian Express, Minggu (21/6/2020), pemerintah India tengah berupaya menekan Beijing dengan mendorong warganya melakukan boikot pada barang-barang buatan dari China.

Wacana memulai perang dagang dengan China juga mulai disuarakan publik India.

Menteri Persatuan India, Ramdas Bandu Athwale, meminta masyarakat tak pergi ke restoran yang menjual makanan China tanpa pengecualian, meski pemiliknya maupun kokinya adalah seorang warga negara India.

Seruan boikot juga menggema untuk mencegah warga India membeli barang elektronik dari pabrikan China.

Kendati demikian, memboikot produk China di India dianggap banyak kalangan malah akan merugikan ekonomi nasional negara itu. Ini karena India begitu bergantung pada barang impor dari Tiongkok.

Sepanjang tahun 2019-2020, perdagangan dengan China berkontribusi sebesar 10,6% dari seluruh neraca perdagangan India, atau yang terbesar kedua setelah perdagangan dengan Amerika Serikat (AS).

Sebaliknya bagi China, perdagangan dengan India hanya menyumbang 2,1%, sehingga tak terlalu siginifikan pengaruhnya bagi China.

Bagi India, China juga merupakan patner dagang vital.

Sebaliknya bagi China, India tak memegang peran terlalu siginifikan dan komoditas impor dari India masih bisa digantikan negara lain.

Masyarakat lapisan kelas bawah India, terancam paling terdampak dengan kebijakan perang dagang terhadap luar negeri, termasuk dengan China. (AFP)

Baca: Pertemuan Trilateral India, China, Rusia Siap Digelar 23 Juni 2020 Bahas Konflik Perbatasan

Menurut data United National Conference on Trade and Development (UNCTAD) di tahun 2018, 15,3% barang impor yang ada di India berasal dari China. Sementara barang impor di China yang didatangkan dari India hanya sebesar 5,1%.

Dilansir dari Timesoft India, menabuh genderang perang dagang dengan China malah akan berimbas negatif pada ekonomi India.

Apalagi, negara ini sangat bergantung pada China untuk rantai pasok global, salah satunya pasokan bahan kimia untuk bahan baku industri obat yang harus dibeli dari China.

India selama ini dikenal sebagai salah satu produsen farmasi terbesar dunia.

Kekurangan bahan baku dari China bisa membuat ekspor obat India anjlok. Selain itu, Negeri Bollywood ini juga tak bisa lepas dari investasi China.

Perang dagang dengan Beijing, tentu bisa membuat investasi luar negeri di India merosot.

Total ada 225 perusahaan besar China yang berinvestasi langsung di India sepanjang tahun 2003 hingga 2020. Investor terbesar asal China yakni perusahaan telekomunikasi seperti Huawei dan Xiaomi.

Beberapa perusahaan raksasa lainnya dari China juga tengah menjajaki penambahan nilai investasi di India, termasuk membangun basis produksi. Mereka adalah ZTE, Benling, Dezan Shira, Wafangdian, dan Vivo.

Dilansir dari Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut.

Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.

Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India.

Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30%.

Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.

Di luar itu, India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.

India juga sulit melepaskan dari ketergantungan pada barang-barang murah dari China. Perang dagang dengan China bisa memicu kalangan menengah ke bawah dalam kondisi sulit.

Selama ini, warga miskin di India banyak menggunakan produk-produk made in China yang lebih terjangkau. Mereka juga sangat sensitif dengan harga.

Baca Juga: Kenapa China vs India rebutan Lembah Galwan yang kering dan tidak ada tumbuhan?

Contoh saja produk pendingin ruangan, warga miskin di India bakal kesulitan jika harus mengganti AC buatan China dengan pabrikan Jepang yang harganya jauh lebih mahal.

"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia."

"India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Nur/Ris)



Penulis: Ahmad Nur Rosikin
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer