Kedua negara terus mengirim pasukan militer ke perbatasan Himalaya yang menjadi pusat konflik.
Bahkan, India mengklaim satu tentaranya tewas diserang pasukan China pada Rabu (2/9/2020).
Namun, seperti diberitakan Kontan, pihak China langsung menepis kabar tersebut.
Dalam konflik ini, India tampil sebagai pihak yang dianggap tak akan mampu menyaingi China.
Apa lagi jika mengingat ekonomi yang 'kocar-kacir' akibat pandemi Covid-19.
Ekonomi yang tengah berada di titik terendah akan membuat India berpikir panjang untuk mengnambil langkah agresif di perbatasan.
Baca: Pentagon Sebut China Akan Gandakan Jumlah Hulu Ledak Nuklirnya, Kemenlu China Membantah
Data Global Times menunjukkan PDB India anjlok 23,9 persen dalam tiga bulan, hingga akhir Juni lalu.
Catatan ini merupakan rekor terburuk PDB triwulan sejak 1996.
Kondisi ekonomi yang anjlok tak bisa dilepaskan dari pandemi.
Kini India masih menjadi negara dengan korban terbesar ketiga di seluruh dunia.
Namun, tampaknya, PM Narendra Modi belum berupaya menutup kerugian.
Pemerintahannya justru terus melakukan pengeluaran besar, terutama di bidang pertahanan.
Narendra Modi menganggap langkah yang ia ambil masuk akal, melihat kondisi geopolitik India dengan China.
Baca: Babak Baru Ketegangan China-India: Kedua Negara Sama-sama Mengirim Jet Tempurnya ke Perbatasan
Namun, pakar ekonomi berkata sebaliknya.
Kalaupun dipaksakan, India tidak akan bisa memberi dukungan lebih pada konflik dengan China di perbatasan.
Pada hari Senin (31/8), pasukan India sekali lagi secara ilegal melintasi Garis Kontrol Aktual (LAC) di tepi selatan Danai Pangong dan jalur gunung Reqin.
Mobilisasi pasukan melalui wilayah LAC membutuhkan biaya yang mahal dan dapat menghabiskan anggaran. Pasokan logistik dan kebutuhan lain, termasuk bahan bakar.
Tindakan semacam itu jelas akan menguras anggaran India.
Sebelumnya, Kepala Staf Pertahanan Jenderal Bipin Rawat, mengklaim bahwa pasukan India siap untuk ditempatkan di segala kondisi, termasuk musim dingin.