Temukan Suaminya Tergeletak Tak Bernyawa, Muhobo Ali Jama: 'Aku Duduk di Samping dan Memeluknya'

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FOTO: Terlihat petugas kepolisian bersiaga di depan Gedung Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru, saat sidang vonis terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakan di masjid Selandia Baru.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Muhobo Ali Jama, seorang janda yang kehilangan suaminya saat serangan di dalam masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru menyatakan dampak yang ia rasakan di mimbar sidang vonis terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakan masjid di Selandia Baru 15 Maret 2019.

Suaminya, Muse Awale tewas bersimbah darah atas bombardir peluru pria Australia yang memproklamirkan diri sebagai bagian dari supremasi kulit putih.

Di depan pengadilan ia menceritakan kisahnya saat berhasil menghindar dari serangan.

Peringatan: Isi berita di bawah ini berisi rincian peristiwa yang dimungkinkan dapat membuat rasa tidak nyaman bagi pembaca.

Disclaimer: Tribunnewswiki.com tidak menyediakan gambar Muhobo Ali Jama karena keterbatasan hak cipta.

Baca: Anaknya Tewas dalam Penembakkan Masjid di Selandia Baru, Maysoon Salama: Hatiku Hancur Jutaan Kali

FOTO: Terlihat petugas kepolisian mengamankan area Gedung Pengadilan Tinggi Christchurch yang menggelar sidang vonis terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakan masjid di Selandia Baru. Sidang berlangsung selama 4 hari sejak 24 Agustus 2020 (Sanka VIDANAGAMA / AFP)

Aksi terorisme Tarrant menghantui hidup Muhobo Ali Jama, sebagaimana dirinya mengatakan selalu kesulitan untuk tidur di malam hari.

"Saya telah kehilangan suami saya, rekan, seumur hidup saya. Saya tidak akan pernah berbagi kebahagiaan yang kami miliki lagi," katanya di mimbar pengadilan tinggi Christchurch, dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).

Muhobo Ali Jama merupakan satu dari 12 orang yang membacakan pernyataan dampak korban serangan selama hari pertama sidang vonis Brenton Tarrant pada hari pertama sidang vonis.

Siapa Muhobo Ali Jama?

Lahir di Somalia, Ali Jama sempat melarikan diri dari konflik negaranya pada 1991.

Ia menghabiskan tahun kelam di kamp pengungsi sebelum akhirnya mendapat suaka di Selandia Baru.

Hingga akhirnya bertemu sang suami di masjid Al Noor.

Saat insiden terjadi, Jama berlari menyelamatkan diri ke ruang bagian perempuan di masjid, terpisah dengan Muse.

Ia bersembunyi hingga suara ledakan berhenti.

Setelah memantau keadaan aman, ia keluar mencari suaminya.

Baca: Sekelompok Massa Berunjuk Rasa di Pengadilan saat Berlangsung Sidang Brenton Tarrant, Ada Apa?

FOTO: Terlihat aneka jenis bunga menghiasi Memorial Park Cemetery, di makam sejumlah korban serangan terhadap dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Senin (24/8/2020). (Sanka VIDANAGAMA / AFP)

Tak disangka, ia menemukan banyak jenazah bertumpuk satu sama lain di dalam masjid.

Perasaannya campur aduk, ia bertemu dengan seorang pria yang menggendong anaknya yang masih kecil.

"Aku tanya dia, (pelaku) sudah pergi"

Dia kemudian keluar mencari sang suami dan menemukannya terbaring di luar di tempat parkir.

Ia bingung dan tak ada yang bisa dilakukan untuk membantunya.

Suaminya meninggal saat itu.

"Aku duduk di sampingnya dan memeluknya. Aku memeriksa mata, jantung, dan napasnya. Tak bergerak sama sekali," katanya.

Jama kemudian memanggil seseorang untuk membantunya.

Namun, tak seorang pun datang.

Dia tetap bersama jenazah suaminya, sampai polisi tiba.

Meski dirinya tak mengalami luka fisik, di depan pengadilan, di depan terdakwa Brenton Tarrant, Jama mengaku mengalami trauma.

Penyintas Taj Mohammad Kamran

Tak hanya Muhobo Ali Jama, trauma juga dialami imigran asal Afghanistan.

Adalah Ata Taj Mohammad Kamran yang kehilangan sahabatnya saat terjadinya insiden.

Kamran merupakan penyintas yang selamat dari hujanan peluru Brenton Tarrant.

Diketahui Kamran kehilangan sahabatnya dalam serangan itu.

Tertunduk sedih, ia menyebut dirinya sering tidak bisa tidur nyenyak, mudah marah, dan ketakutan kalau ke luar rumah.

Baca: Maysoon Salama di Hadapan Brenton Tarrant: Semoga Kau Dapat Hukuman Berat di Dunia dan Akhirat

Taj Mohammad Kamran di mimbar pengadilan (New Zealand Herald / Pool / Christchurch High Court)

Memakai topi khas, ia menyampaikan duka dan dampak yang ia rasakan di mimbar persidangan.

"Saya tidak ingin hidup seperti ini, terlalu melelahkan bagi saya, saya lelah dengan semuanya," katanya.

Kamran ditembak empat kali di bagian kaki saat mencoba melarikan diri dari masjid.

Ia mengaku merasa bersalah saat tidak bisa membantu lebih banyak orang saat itu.

Namun, tidak ada pilihan lain bagi dirinya.

"Saya sering menangis sekarang, ingatan itu begitu membekas bagi saya. Itu sangat sulit (melupakannya)," katanya.

Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah

FOTO: Brenton Tarrant saat menghadiri sidang pertamanya di Christchurch, Selandia Baru, pada 24 Agustus 2020 (JOHN KIRK-ANDERSON / POOL / AFP)

Kamran pindah ke Selandia Baru pada 2007 sebagai pengungsi dari Afghanistan.

Ia mengungsi lantaran rumahnya dibom dan sebagian besar keluarganya tewas.

"Saya dan ibu selamat ... (sedangkan) ayah saya meninggal tidak lama setelah pemboman", katanya di pengadilan.

"Selandia Baru adalah tempat yang aman bagi saya," ungkapnya.

Kamran dan Sahabatnya

Sebagai informasi, setelah pindah ke Selandia Baru, Kamran masih menemui masalah besar dalam hidupnya.

Gempa tahun 2011 membuat hancur rumahnya.

Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah

Gamal Fouda (kanan), Imam masjid Al Noor, tiba di luar gedung Pengadilan Tinggi Christchurch, dalam sidang pengadilan tinggi pembacaan vonis atas terdakwa pria Australia Brenton Tarrant di Christchurch pada 24 Agustus 2020 yang akan berlangsung selama empat hari. (Sanka VIDANAGAMA / AFP)

Namun, dirinya selamat dan harus tinggal di dalam mobilnya selama beberapa bulan.

Persahabatannya dengan sesama pengungsi Afghanistan, Matiullah Safi turut membantu hidupnya.

Menurut Kamran, sahabat adalah teman baik, seperti saudara sendiri.

"Kami bertemu setiap hari Jumat .. dia, (dan) di hari itu, mati syahid", ungkapnya.

Kamran mengaku mendengar tembakan dan melihat sahabatnya jatuh.

"Ketika saya lihat Matiullah tertembak, saya pergi ke pintu utama ... ada banyak tembakan di mana-mana ... saya sampai harus melompati orang tua," katanya.

Baca: Pengadilan Tinggi Gelar Persidangan Brenton Tarrant, Pelaku Penembakkan Masjid di Selandia Baru

Darah yang mengucur di kakinya yang terkena empat kali tembakan membuatnya terus berlari menyelamatkan diri.

"Ada banyak darah di kaki, saya sangat takut," ungkapnya, dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).

Takut Masuk Masjid

Kamran mengaku dirinya trauma masuk masjid.

Ketakutannya hadir setiap saat, sepanjang waktu.

"Itu terlalu sulit untukku .. karena sahabatku ditembak mati di depanku," ungkapnya.

"Ada kenangan buruk di hari itu. Saya memakai tongkat (untuk berjalan) .. Masih ada ribuan pecahan peluru di tubuh saya," jelasnya.

Kesedihan

Kamran begitu bersedih kehilangan sahabatnya.

"Aku merindukan sahabatku, dia seperti saudara sendiri. Kami mengenal satu sama lain selama 13 tahun .. Kami bertemu di sini di Selandia Baru .. Kami melakukan banyak hal bersama," terangnya.

"Dia lebih daripada seorang sahabat.. dia seperti adikku sendiri"

"Saya menangis sepanjang waktu untuknya .. Saya pergi ke pemakamannya dan saya menangis, sangat sulit bagi saya melihatnya dimakamkan," terangnya sambil bersedih.

Baca: Sidang Penembakan Masjid di Selandia Baru: Brenton Tarrant Mengaku Berencana Bakar Masjid

Bak sudah jatuh ditimpa tangga, Kamran diketahui menderita diabetes akut.

Semenjak kejadian itu, diabetesnya semakin memburuk.

Ia sempat berobat dan meminta bantuan kepada layanan kesehatan.

"(Diabetes) ini juga secara terus-menerus membuat saya drop, saya tidak bisa berbuat banyak sekarang," katanya.

Sidang Vonis Brenton Tarrant

Pengadilan tinggi Christchurch menggelar persidangan untuk terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakkan masjid di Selandia Baru.

Sidang akan berlangsung selama empat hari dimulai Senin (24/8/2020) di Christchurch, Selandia Baru.

Adapun ruang sidang utama dilakukan pembatasan pengunjung sebagai antisipasi penyebaran Covid-19.

Ratusan pengunjung yang menonton diberikan fasilitas layar dari ruang sidang lainnya.

Brenton Tarrant terlihat mengenakan pakaian abu-abu, ciri khas narapidana penjara di Selandia Baru.

Baca: Sidang Penembakan Masjid di Selandia Baru: Brenton Tarrant Mengaku Berencana Bakar Masjid

Ia dijaga oleh tiga petugas kepolisian bersenjata yang diam dan sesekali melihat sekeliling.

Dakwaan pelaku dibacakan oleh jaksa penuntut, Barnaby Hawes yang mengungkap sejumlah keterangan peristiwa.

Hawes mengatakan di muka pengadilan bahwa pria bersenjata itu telah merencanakan aksinya selama bertahun-tahun sebelumnya.

Brenton Tarrant, terdakwa pelaku penembakan di Masjid Selandia Baru (news.com.au)

Tujuannya adalah "menghabisi korban jiwa sebanyak mungkin", dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).

Brenton mengumpulkan informasi tentang masjid di Selandia Baru seperti mempelajari denah lantai, lokasi, dan info detail lainnnya.

Ia juga mencari tahu tanggal-tanggal sibuknya masjid beroperasi.

Beberapa bulan sebelum serangan tersebut, ia melakukan perjalanan ke Christchurch.

Saat itu, ia menerbangkan sebuah drone di atas target utamanya, masjid Al Noor.

Lebih jauh lagi, dalam pernyataan Jaksa, pelaku juga berencana menargetkan Masjid Ashburton, selain Al Noor dan Linwood Islamic Center.

Hari Penyerangan

Pada hari penyerangan, tak hanya para jamaah di dalam masjid, Tarrant turut menembak orang-orang di jalan ketika mereka berusaha melarikan diri.

Termasuk satu di antara korban, Ansi Alibava yang tewas ketika mencoba lari ke luar masjid.

Saat Brenton berkendara menuju Linwood Islamic Centre, dia berhenti dan menembaki orang-orang keturunan Afrika yang berhasil menghindar.

Ia juga sempat mengacungkan pucuk senjatanya kepada seorang pria Kaukasia, tetapi hanya "senyum dan kemudian pergi".

Kepada polisi, Tarrant mengaku berencana membakar masjid setelah aksinya penembakan.

Hukuman

Hukuman seumur hidup siap menanti Tarrant.

Dengan minimal 17 tahun hukuman, Hakim Cameron Mandor -hakim yang memimpin sidang ini- punya kuasa untuk menjatuhi vonis seumur hidup tanpa ada pembebasan bersyarat.

Ini adalah sebuah hukuman yang belum pernah dijatuhkan di Selandia Baru.

Bertemu dengan Keluarga Korban

Di persidangan, Tarrant dihadapkan dengan para korban selamat dan keluarga korban yang meninggal.

Seorang ibu, yang putranya meninggal dalam insiden tersebut terlihat marah kepada Tarrant.

"Kau menjadikan dirimu punya hak untuk mencabut 51 nyawa orang tak bersalah, yang di matamu lihat 'menjadi Muslim' adalah kejahatan mereka," kata Maysoon Salama, ibu dari Atta Elayyan yang terbunuh.

"Kau benar-benar kelewatan, aku tak bisa memaafkanmu," katanya.

Diketahui serangan Tarrant disiarkan secara langsung olehnya pada 15 Maret 2019.

Aksinya yang pertama dilakukan di Masjid Al Noor, menembaki orang-orang yang sedang menyelenggarakan salat Jumat.

Dia kemudian berkendara sekitar 5 km ke Masjid Linwood dan membunuh lebih banyak korban jiwa.

Serangan Tarrant membuat dunia heboh.

Insiden ini turut mendorong Selandia Baru mengubah payung hukum yang berkaitan dengan kepemilikan senjata.

Baca: Tak Ada Transmisi Lokal, Selandia Baru Pertimbangkan Kargo Impor sebagai Asal Klaster Baru Covid-19

Brenton Tarrant pelaku penembakan masjid di Selandia Baru hadir dalam persidangan perdananya, Christchurch, Selandia Baru, Senin (24/8/2020).

Baca: Sebut Kasus Covid-19 di Selandia Baru Mengerikan, Donald Trump Dibalas PM Jacinda Ardern

-

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
BERITA TERKAIT

Berita Populer