Ia kehilangan saudaranya Kamel Darwish yang tewas saat tengah ibadah Jumat di Masjid Al Noor.
"Kau akan mendapat balasan atas tingkahmu," kata Zuhair yang berbicara ihwal dampak yang ia rasakan di mimbar Pengadilan Tinggi Christchurch, Selandia Baru.
Zuhair mengaku tak terima saudaranya terbunuh dalam serangan yang menewaskan 51 nyawa tersebut.
"Kau bertingkah layaknya pengecut, dan kamu pengecut. Kau hidup layaknya tikus, dan kau akan mati sendirian," katanya menghadap Brenton Tarrant, warga Australia yang memproklamirkan diri sebagai bagian dari supremasi kulit putih.
Baca: Anaknya Tewas Tertembak Saat Salat Jumat, Atta Ahmad Alayan: Terorisme Itu Tidak Beragama
Saat mendengarkan dan memperhatikan, Tarrant terlihat mengangguk di hadapan Zuhair.
"Hukuman yang adil baginya adalah hukuman mati," kata Zuhair di depan hakim.
Berbeda dari Zuhair, seorang penyintas lain, Farisha Razak justru meminta hal yang berbeda.
Farisha, yang kehilangan ayahnya ini ingin agar Brenton Tarrant menderita dalam penjara daripada dihukum mati.
Farisha Razak menjadi satu di antara banyak penyintas dan keluarga korban yang mengungkapkan dampak penyerangan di dalam masjid di Christchurch, Selandia Baru.
Farisha kehilangan ayahnya Ashraf Ali yang sedang liburan di Christchurch dan kebetulan bersembayang di masjid.
Baca: Berhasil Kabur dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Abdiaziz Ali: Saya Melihat Banyak Orang Mati
Kepada Brenton, Farisha justru mengaku senang apabila pria ini tidak mendapat hukuman mati.
"Kamu tak pantas mendapatkan hal yang mudah, kamu pantasnya dibuat menderita," kata Razak.
"Kami ini Muslim, bukanlah orang yang jahat, camkan itu dalam kepalamu," ungkapnya dengan nada marah.
"Kamu bukanlah orang yang baik," tegasnya.
Pengadilan tinggi Christchurch menggelar persidangan untuk terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakkan masjid di Selandia Baru.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
Sidang akan berlangsung selama empat hari dimulai Senin (24/8/2020) di Christchurch, Selandia Baru.
Adapun ruang sidang utama dilakukan pembatasan pengunjung sebagai antisipasi penyebaran Covid-19.
Ratusan pengunjung yang menonton diberikan fasilitas layar dari ruang sidang lainnya.
Brenton Tarrant terlihat mengenakan pakaian abu-abu, ciri khas busana narapidana.
Baca: Sidang Penembakan Masjid di Selandia Baru: Brenton Tarrant Mengaku Berencana Bakar Masjid
Ia dijaga oleh tiga petugas kepolisian bersenjata yang diam dan sesekali melihat sekeliling.
Dakwaan pelaku dibacakan oleh jaksa penuntut, Barnaby Hawes yang mengungkap sejumlah keterangan peristiwa.
Hawes mengatakan di muka pengadilan bahwa pria bersenjata itu telah merencanakan aksinya selama bertahun-tahun sebelumnya.
Baca: Selamat dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Khaled Alnobani: Saya Depresi, Saya Frustasi
Tujuannya adalah "menghabisi korban jiwa sebanyak mungkin", dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).
Brenton mengumpulkan informasi tentang masjid di Selandia Baru seperti mempelajari denah lantai, lokasi, dan info detail lainnnya.
Ia juga mencari tahu tanggal-tanggal sibuknya masjid beroperasi.
Beberapa bulan sebelum serangan tersebut, ia melakukan perjalanan ke Christchurch.
Saat itu, ia menerbangkan sebuah drone di atas target utamanya, masjid Al Noor.
Lebih jauh lagi, dalam pernyataan Jaksa, pelaku juga berencana menargetkan Masjid Ashburton, selain Al Noor dan Linwood Islamic Center.
Pada hari penyerangan, tak hanya para jamaah di dalam masjid, Tarrant turut menembak orang-orang di jalan ketika mereka berusaha melarikan diri.
Termasuk satu di antara korban, Ansi Alibava yang tewas ketika mencoba lari ke luar masjid.
Saat Brenton berkendara menuju Linwood Islamic Centre, dia berhenti dan menembaki orang-orang keturunan Afrika yang berhasil menghindar.
Ia juga sempat mengacungkan pucuk senjatanya kepada seorang pria Kaukasia, tetapi hanya "senyum dan kemudian pergi".
Kepada polisi, Tarrant mengaku berencana membakar masjid setelah aksinya penembakan.
Hukuman seumur hidup siap menanti Tarrant.
Dengan minimal 17 tahun penjara, Hakim Cameron Mandor -hakim yang memimpin sidang ini- punya kuasa untuk menjatuhi vonis seumur hidup tanpa ada pembebasan bersyarat.
Ini adalah sebuah hukuman yang belum pernah dijatuhkan di Selandia Baru.