Perempuan ini adalah satu di antara penyintas dan keluarga korban yang selamat dari penembakan di dalam dua masjid di Selandia Baru oleh terdakwa Brenton Tarrant.
Di hadapan Brenton yang ikut dihadirkan persidangan, Alta menceritakan momentum saat ia tahu suaminya terkena tembakan.
Saat insiden terjadi, Jumat (15/3/2020), ia bangun mendengar dering telepon berbunyi.
Peringatan: Isi berita di bawah ini berisi rincian peristiwa yang dimungkinkan dapat membuat rasa tidak nyaman bagi pembaca.
Baca: Korban Penembakan di Christchurch, Farisha Razak Sebut Brenton Tarrant Pantas Menderita di Penjara
Pukul 01.59 dini hari, ia angkat telepon sang suami.
Perempuan berusia 35 tahun itu tak jelas mendengar suaminya bicara.
Namun, ia mengaku jelas menangkap suara tangisan, jeritan, rintihan, lafal doa dalam aneka bahasa.
"Ada kekacauan," rintih sang suami di telepon.
"Kacau. Aku kena tembak. Aku jatuh," kata terakhir sang suami.
Baca: Selamat dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Khaled Alnobani: Saya Depresi, Saya Frustasi
Seketika teleponnya tertutup.
Alta mengaku tak tahu harus melakukan apa.
Beberapa hari setelahnya, ia mendapat kabar suaminya selamat.
Meski terluka akibat peluru, nyawa sang suami masih tertolong.
Beberapa hari kemudian, Alta mendapat informasi bahwa saat insiden terjadi, sang suami meneleponnya di dalam Masjid Linwood, dilansir New Zealand Herald, Selasa (25/8/2020).
Baca: Sekelompok Massa Berunjuk Rasa di Pengadilan saat Berlangsung Sidang Brenton Tarrant, Ada Apa?
Sang suami diketahui menelpon dirinya dengan luka tembakan setelah pelaku memborbardir jamaah masjid Linwood, Selandia Baru.
Di depan pengadilan, Alta mengaku masih trauma atas peristiwa itu.
Mohammad Atta Ahmad Alayan, ayah Ata Elayyan yang terbunuh dalam serangan di dalam masjid, menceritakan dampak yang ia rasakan pasca-serangan di mimbar pengadilan tinggi Christchurch, Selandia Baru.
Di depan mimbar sidang, ia berbicara mengenang kejadian memilukan tersebut.
"Salamku untuk almarhum tercinta, semoga baik-baik saja di sana (akhirat)," katanya memulai pernyataan.
Pria yang memakai kopiah hitam ini sempat menyuruh putranya datang lebih awal ke masjid agar mereka bisa bertukar mobil.
"Hari itu kami mulai dengan indah," katanya.
Baca: Anaknya Tewas dalam Penembakkan Masjid di Selandia Baru, Maysoon Salama: Hatiku Hancur Jutaan Kali
"Saya begitu kesakitan ..sangat khawatir dengan putra saya, (saat itu) saya berdoa agar anak saya terlambat ke masjidnya,"
Namun, kenyataannya sang anak telah datang lebih awal sesuai perintah ayahnya.
"Saya tak menyangka bahwa ada pembantaian saat itu. Saya ingat sepenuhnya saat itu saya jatuh, berdarah hebat .. saya kena tembak dua peluru," imbuhnya.
Sang anak -yang punya nama hampir sama- Ata Ellayan (33) tewas di dalam masjid di tengah berlangsungnya ibadah salat Jumat.
"Penembakan itu (terpikirkan) olehku seolah-olah selamanya .. Saya terus berdoa kepada Allah 'Bunuh dia' katanya merujuk pada pelaku penembakan, Brenton Tarrant.
Diketahui saat insiden tersebut terjadi, ayah ini belum mendapat kabar tewasnya sang anak.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
"Selama tiga hari kami belum dapat kabar tentang Ata .. lalu datanglah kabar menyedihkan itu - Ata telah pergi," katanya sambil menangis.
Kedua lelaki ini terpisah saat di dalam masjid.
Baca: Berhasil Kabur dari Serangan di Masjid Selandia Baru, Abdiaziz Ali: Saya Melihat Banyak Orang Mati
Alayan jatuh ke tanah dengan luka tembak, tetapi masih selamat.
Alayan berterima kasih kepada staf rumah sakit atas pelayanan mereka.
Ia keluar dari rumah sakit dengan kursi roda.
Setelah cukup sehat, ia turut menyaksikan pemakaman anaknya.
Alayan juga menghadiri peringatan terjadinya insiden dan shalat Jumat seminggu setelah kejadian.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
Saat hendak melangsungkan ibadah Jumat, ia teringat anaknya, dan melihat semua orang "seperti menghadiri ibadah di Makkah".
Alayan mengaku dirinya begitu sakit kehilangan putranya.
"Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan apa yang saya alami saat itu .. sampai saat ini pun masih," katanya.
"Sejak 25 Maret hingga saat ini, saya butuh adanya keadilan yang setimpal," ungkapnya.
Pria berjenggot putih ini meminta otoritas Selandia Baru untuk menerapkan ulang regulasi hukuman mati.
Baca: Temukan Suaminya Tergeletak Tak Bernyawa, Muhobo Ali Jama: Aku Duduk di Samping dan Memeluknya
"Keadilan harus seimbang ..Saya mengkhawatirkan keselamatan semua warga Selandia Baru jika hukuman untuk kejahatan ganas (seperti ini) tidak seimbang," tegasnya.
"Terorisme itu tidak beragama," tukasnya mengakhiri pernyataan.
Sebagai informasi, Pengadilan Tinggi Christchurch menggelar sidang vonis terdakwa Brenton Tarrant, dengan menghadirkan penyintas dan keluarga korban yang menceritakan dampak yang mereka rasakan.
Terdakwa bersiap menghadapi hukuman penjara seumur hidup dengan 51 dakwaan pembunuhan, 41 dakwaan percobaan pembunuhan, dan 1 dakwaan terorisme.
-