Pengadilan tinggi Christchurch mendatangkan sejumlah korban dan keluarga untuk menyampaikan dampak yang mereka rasakan atas insiden tahun 2019 tersebut.
Lebih dari 60 orang siap memberikan pernyataan di muka pengadilan atas terdakwa Brenton Tarrant, pelaku yang menghilangkan nyawa 51 orang.
Sidang akan berlangsung selama empat hari dimulai Senin (24/8/2020) di Christchurch, Selandia Baru.
Maysoon Salama, seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah satu di antara mereka yang berduka
Baca: Pengadilan Tinggi Gelar Persidangan Brenton Tarrant, Pelaku Penembakkan Masjid di Selandia Baru
Diketahui sang anak, Atta Elayyan (33) terbunuh dalam insiden tersebut.
Putranya, menurut Salama merupakan seorang pemain futsal dan anggota tim nasional.
Ellayan merupakan seorang juara dalam olahraga tersebut.
Tak hanya itu, ia juga pria yang sukses dalam karier di bidang teknologi informasi.
Sambil menangis, Salama sesekali melafalkan ayat Al-Quran.
Disaksikan para hakim dan di hadapan Brenton Tarrant, ia menyampaikan duka dan dampak yang ia rasakan di depan mimbar.
Baca: Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda di Hadapan Terdakwa Brenton Tarrant: Kau itu Sesat dan Salah Arah
"Kamu tidak hanya mengambil putra yang paling membanggakan tetapi juga suami terbaik, ayah…. Dan seorang Muslim yang saleh," kata ibunya.
"Kau membuat dirimu punya hak mencabut 51 nyawa orang tak bersalah, yang menurutmu 'menjadi Muslim' adalah kejahatan mereka," kata Salama.
"Kau benar-benar kelewatan, aku tak bisa memaafkanmu," katanya.
Salama nampak bersedih sekaligus marah.
"Kau meneror seluruh Selandia Baru .. Aku tak yakin dunia akan memaafkanmu," imbuhnya.
Salama mengaku hidupnya berubah total sejak pembantaian itu.
Ia merasa peristiwa tersebut 'terus-menerus' ada dalam pikirannya.
"Anakku dibunuh begitu kejam dan jahat ... aku dan keluarga sangat terpukul oleh perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap anak saya," katanya", terangnya.
"Semoga kau mendapatkan hukuman paling berat atas perbuatan jahatmu di kehidupan ini - dan di akhirat nanti," jelasnya.
"Ata sudah pergi tapi kami tak akan pernah melupakannya. Dia akan selalu menjadi cahaya bagi hidup kami," tukasnya.
Pengadilan tinggi Christchurch menggelar persidangan untuk terdakwa Brenton Tarrant, pelaku penembakkan masjid di Selandia Baru.
Sidang akan berlangsung selama empat hari dimulai Senin (24/8/2020) di Christchurch, Selandia Baru.
Adapun ruang sidang utama dilakukan pembatasan pengunjung sebagai antisipasi penyebaran Covid-19.
Ratusan pengunjung yang menonton diberikan fasilitas layar dari ruang sidang lainnya.
Brenton Tarrant terlihat mengenakan pakaian abu-abu, ciri khas narapidana penjara di Selandia Baru.
Baca: Sidang Penembakan Masjid di Selandia Baru: Brenton Tarrant Mengaku Berencana Bakar Masjid
Ia dijaga oleh tiga petugas kepolisian bersenjata yang diam dan sesekali melihat sekeliling.
Dakwaan pelaku dibacakan oleh jaksa penuntut, Barnaby Hawes yang mengungkap sejumlah keterangan peristiwa.
Hawes mengatakan di muka pengadilan bahwa pria bersenjata itu telah merencanakan aksinya selama bertahun-tahun sebelumnya.
Tujuannya adalah "menghabisi korban jiwa sebanyak mungkin", dilansir New Zealand Herald, Senin (24/8/2020).
Brenton mengumpulkan informasi tentang masjid di Selandia Baru seperti mempelajari denah lantai, lokasi, dan info detail lainnnya.
Ia juga mencari tahu tanggal-tanggal sibuknya masjid beroperasi.
Beberapa bulan sebelum serangan tersebut, ia melakukan perjalanan ke Christchurch.
Saat itu, ia menerbangkan sebuah drone di atas target utamanya, masjid Al Noor.
Lebih jauh lagi, dalam pernyataan Jaksa, pelaku juga berencana menargetkan Masjid Ashburton, selain Al Noor dan Linwood Islamic Center.
Pada hari penyerangan, tak hanya para jamaah di dalam masjid, Tarrant turut menembak orang-orang di jalan ketika mereka berusaha melarikan diri.
Termasuk satu di antara korban, Ansi Alibava yang tewas ketika mencoba lari ke luar masjid.
Saat Brenton berkendara menuju Linwood Islamic Centre, dia berhenti dan menembaki orang-orang keturunan Afrika yang berhasil menghindar.
Ia juga sempat mengacungkan pucuk senjatanya kepada seorang pria Kaukasia, tetapi hanya "senyum dan kemudian pergi".
Kepada polisi, Tarrant mengaku berencana membakar masjid setelah aksinya penembakan.
Hukuman seumur hidup siap menanti Tarrant.
Dengan minimal 17 tahun hukuman, Hakim Cameron Mandor -hakim yang memimpin sidang ini- punya kuasa untuk menjatuhi vonis seumur hidup tanpa ada pembebasan bersyarat.
Ini adalah sebuah hukuman yang belum pernah dijatuhkan di Selandia Baru.
Di persidangan, Tarrant dihadapkan dengan para korban selamat dan keluarga korban yang meninggal.
Diketahui serangan Tarrant disiarkan secara langsung olehnya pada 15 Maret 2019.
Aksinya yang pertama dilakukan di Masjid Al Noor, menembaki orang-orang yang sedang menyelenggarakan salat Jumat.
Dia kemudian berkendara sekitar 5 km ke Masjid Linwood dan membunuh lebih banyak korban jiwa.
Serangan Tarrant membuat dunia heboh.
Insiden ini turut mendorong Selandia Baru mengubah payung hukum yang berkaitan dengan kepemilikan senjata.
Baca: Tak Ada Transmisi Lokal, Selandia Baru Pertimbangkan Kargo Impor sebagai Asal Klaster Baru Covid-19
Baca: Sebut Kasus Covid-19 di Selandia Baru Mengerikan, Donald Trump Dibalas PM Jacinda Ardern
Dalam menjalankan aksinya, Tarrant membawa senjata api berikut bersamanya ke Christchurch:
- Mossberg 930 semi-otomatis 12 gauge shotgun dengan setidaknya 7 kapasitas magasin peluru untuk satu peluru.
- Senjata MSSA kaliber .223 Windham Weaponry dilengkapi dengan magasin silinder berisi 60 butir amunisi.
- Senapan MSSA Ruger AR-15 .223 yang dilengkapi dengan dua magasin besar berkapasitas 40 peluru.
- Senapan Ranger 870 pump action 12 gauge dengan kapasitas lima tembakan.
- Senapan aksi tuas magnum Uberti 357 dengan magasin tubular dengan kapasitas 13 peluru amunisi magnum.
- Predator Mossberg kaliber 223 dilengkapi dengan magasin 30 peluru.
Tarrant tinggal di Selandia Baru pada 2017 dan menetap di Dunedin.
Pada September 2017, ia mengajukan dan diberikan lisensi senjata api.
Antara Desember 2017 dan Maret 2019, ia mulai membeli koleksi senjata api.
Baca: Kakak Perempuan Donald Trump Blak-blakan Ungkap Sang Adik Tidak Stabil, Kenapa?
Ia juga membeli lebih dari 7000 butir amunisi dari berbagai kaliber untuk senjata yang ia kumpulkan.
Tarrant membeli barang-barang itu secara langsung di gerai ritel senjata api dan secara online.
Selama periode perencanaan, dia "mempelajari menggunakan senjata api" dengan menghadiri beberapa klub senapan.
Tarrant juga memodifikasi senjata agar bisa menembakkan amunisi lebih cepat.
Saat dia membeli senjata dan berlatih menggunakannya, ia mulai merencananakan untuk melakukan serangan terhadap masjid untuk "menimbulkan korban jiwa sebanyak mungkin".
Dengan menggunakan internet, dia menelusuri detail masjid, gambar interior, lokasi, dan detail spesifik seputar waktu shalat.
Termasuk hari-hari penting dalam kalender Islam untuk mengetahui waktu masjid paling sibuk.
Dan pada 8 Januari 2019, tiga bulan sebelum serangan ia melakukan perjalanan dari Dunedin ke Christchurch untuk mengintai Masjid Al Noor.
Ia berdiri di seberang jalan dan menerbangkan drone langsung ke atas masjid, merekam dan merekam pemandangan udara dari halaman masjid, bangunan, dan pintu masuk dan keluar.
"Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Center menjadi target utama serangannya," keterangan dari fakta pengadilan.