Petani Ini Tak Mau Jual Tanahnya pada Pemerintah seharga Rp 25 M, Pilih Bertahan Hidup dalam Bandara

Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang petani yang tetap bertahan hidup di lahan Bandara Narita, Jepang, hingga saat ini

TRIBUNNEWSWIKI - Petani ini tak mau menyerahkan tanahnya di dalam bandara pada pemerintah pada diimingi imbalan Rp 25 miliar.

Ia adalah keluarga Takao Shito yang hingga saat ini masih bertahan untuk bertani di wilayah Bandara Narita, Jepang.

Padahal sudah tak ada lagi lahan lain di wilayah tersebut untuk bertani kecuali punya mereka.

Bagaimana kisah keluarga Takao Shito mempertahankan tanahnya tersebut?

Keluarga Takao Shito telah bertani sayuran di ladang di wilayah itu selama lebih dari 100 tahun.

Kakeknya merupakan seorang petani, kemudian dilanjutkan oleh ayahnya dan kini ia juga meneruskan pekerjaan petani.

Namun ada yang berbeda dibandingkan dengan pendahulunya.

Tanah pertanian keluarga tersebut kini dikelilingi oleh bandara terbesar kedua di Jepang.

Baca: Pria Gangguan Jiwa Masuk Kabin Pesawat, Pihak Bandara Raden Inten II Lampung Masih Investigasi

Dilansir oleh Oddity Central, Selasa (18/8/2020) dulu ladang yang berisi 30 keluarga itu kini sudah berubah.

Desa disekelilingnya kini sudah menjadi Bandara Narita di Prefektur Chiba, Jepang.

Sudah tak ada lagi bekas tersisa dari 30 keluarga itu di sana kecuali lahan pertanian dan rumah Shito.

Pesawat terbang di atas kepalanya 24 jam sehari dan satu-satunya cara untuk keluar dari lahannya adalah dengan melalui terowongan bawah tanah.

Dia mempertahankan tanahnya lebih dari 20 tahun dan menolak tawaran lebih dari 1,7 juta dollar AS (Rp 25 miliar) dari pemerintah untuk membeli tanahnya.

“Ini adalah tanah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir satu abad, oleh kakek saya, ayah saya dan saya sendiri. Saya ingin terus tinggal di sini dan bertani,” kata Shito kepada AFP, beberapa tahun lalu.

Ayah Takao, Toichi, adalah salah satu petani yang dengan gigih menolak rencana pemerintah untuk memperluas Bandara Narita sejak dekade 1970-an.

Sebagian besar petani lain di daerah itu telah diyakinkan untuk menjual tanah mereka dengan uang yang cukup banyak, tetapi Toichi Shito tidak mau mengalah hanya demi uang.

Keyakinannya yang gigih menular ke anaknya, Takao, yang saat itu masih kecil.

Baca: Bandara Lokasi Kecelakaan Pesawat di India Dikenal Berbahaya, Bisa Ciptakan Ilusi Optik

Bahkan ketika Toichi meninggal pada usia 84 tahun, Takao berhenti dari pekerjaannya di bisnis restoran dan kembali ke pertanian keluarga untuk melanjutkan perjuangan ayahnya.

Kehidupannya juga tidak mudah. Takao terus-menerus terlibat dalam perselisihan hukum untuk menghentikan pihak berwenang secara paksa mengusirnya dari tanahnya.

Tentu saja itu melelahkan, begitu juga dengan bertani itu sendiri. Tapi dia tidak berniat untuk mundur sejengkal pun.

Perjuangannya telah menjadi simbol hak-hak sipil.

Ratusan sukarelawan dan aktivis bersatu mendukungnya selama bertahun-tahun.

Takao menyatakan dia pernah diiming-imingi uang tunai yang sangat besar dengan catatan dia harus meninggalkan tanahnya tersebut.

“Mereka menawari saya 180 juta yen (1,7 dollar AS atau Rp 25 miliar). Itu setara dengan gaji seorang petani selama 150 tahun. Saya tidak tertarik dengan uang, saya ingin terus bertani. Saya tidak pernah berpikir untuk pergi," kata dia kepada BBC.

Rumah Takao Shito yang terletak di dalam Bandara Narita, Prefektur Chiba, Jepang.(BBC via Oddity Central) ()

Bandara Narita melayani sekitar 40 juta penumpang dan 250.000 penerbangan dalam setahun.

Dua landasan pacu bandara itu kedua seharusnya melewati tanah Takao Shito.

Tetapi karena Takao berkukuh tidak menjual tanahnya, landasan pacu bandara itu harus didesain sedemikian rupa.

Menurut sebuah artikel oleh Answer Coalition, Pengadilan Lokal Chiba mengumumkan keputusan yang tidak adil yang memungkinkan eksekusi wajib atas tanah Takao pada 20 Desember 2018.

Tetapi keesokan harinya, Takao memenangkan keputusan pengadilan lain yang memerintahkan penghentian sementara proses eksekusi sampai persidangan di Pengadilan Tinggi Tokyo dimulai tahun berikutnya.

Takao Shito masih merawat pertanian organiknya di tengah Bandara Narita, dan menjual hasil bumi segar kepada sekitar 400 pelanggan.

Bahkan, pandemi Covid-19 tidak berdampak negatif terhadap perekonomiannya.

Baca: Dibanding Negara Lain, Indonesia Punya 30 Bandara Internasional, Jokowi: Apa Perlu Sebanyak Ini?

(Kompas.com/Danur Lambang Pristiandaru)(Tribunnewswiki/Al)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Seorang Petani yang “Ngeyel” Bertani dan Tinggal di Dalam Bandara Selama 20 Tahun Lebih"



Penulis: Abdurrahman Al Farid
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer