Bagi sebagian masyarakat, memilih menjadi lajang seringkali diidentikkan dengan kegagalan sosial atau bahkan dapat menjadi bahan lelucon.
Tak perlu berkecil hati, fenomena memilih menjadi lajang sedang banyak digemari di berbagai belahan dunia.
Hal tersebut berkaitan dengan maraknya pandangan terhadap status lajang dan kehidupan rumah tangga, seperti dilansir oleh BBC World Service, (10/11/2019).
Pada medio 2019, aktris Emma Watson mendeklarasikan dirinya menjalani status lajang dengan memakai istilah Self Partnered.
Baca: Deretan Zodiak Ini Paling Bahagia Menikmati Kejombloannya, Mereka Sangat Suka Sendiri, Cek Zodiakmu
Dalam momen tersebut, perempuan ini membuat pernyataan memilih menjadi lajang tanpa merasa segan atau memiliki perasaan bersalah.
Pernyataan tersebut didengar dan mendapat banyak respons masyarakat luas.
Bintang film yang memerankan sosok Hermione Granger dalam seri film Harry Potter ini menyatakan bahwa ia sedang berpasangan dengan dirinya sendiri.
Ia menyebut berpasangan dengan diri sendiri atau yang dikenal dengan Self Partnered.
Emma Watson mengumumkan itu kepada majalah Vogue.
Baca: Pemeran ‘Harry Potter’ Daniel Radcliffe Disebut Mengidap Virus Corona, Begini Tanggapannya
Istilah Self Partnered dianggap lelucon oleh warganet di sosial media.
Satu di antaranya, banyak pengguna Twitter yang kemudian menertawakan istilah yang dipakai Emma Watson sebagai lelucon.
Terminologi Self Partnered dianggap hanya guyonan aktris 29 tahun tersebut.
Kendati demikian, sebagian warganet lainnya justru membangun sikap suportif atas pernyataan Emma Watson.
Mereka justru memberi pujian terhadap Emma Watson terhadap status sosial yang sering dipandang sebelah mata.
Istilah yang digunakan Emma Watson memantik dialog di beberapa media sosial.
Baca: Emma Watson
Di lain hal, aktris asal Inggris ini sedang membangun gerakan yang semakin besar dalam beberapa tahun terakhir, yaitu 'melajang secara positif''.
Pilihan menjadi lajang kini semakin menjadi pilihan bagi banyak orang di seluruh dunia.
Hasil kajian dari sebuah badan penelkitian bisnis dan konsumen (IORMA) di Inggris mengungkap bahwa rumah tangga tunggal atau hunian banyak ditinggali oleh seorang lajang.
Angkanya mencapai 330 juta pada tahun 2016 di seluruh dunia.
Nominal tersebut setara dengan 16 persen rumah tangga di seluruh dunia.
Perlu diketahui pula bahwa angka ini meningkat 50 persen apabila dibandingan pada tahun 2001.
Kendati hadirnya tren ini bukanlah jawaban dari munculnya fenomena 'berpasangan dengan diri sendiri', namun kecenderungan tersebut tetap menjadi faktor yang mempengaruhi.
Seorang penulis buku The Rising Acceptance and Celebration of Solo Living, Elyakim Kislev, mengungkapkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah tren yang terbentuk akibat faktor ekonomi, budaya, dan hubungan sosial antarmasyarakat.
"Pada dasarnya, kita saat ini memiliki sumber daya lebih besar untuk mencari peluang dan mengalami mobilitas ekonomi. Kita juga tidak ingin terikat pada suatu hal," ujar Kislev kepada BBC.
"Kita pun lebih mendambakan privasi dan waktu untuk mengembangkan diri. Kita tak mengincar stabilitas dan 'hidup nyaman di daerah suburban' lagi," tambahnya.
Elyakim Kislev mengidentifikasi sebuah relasi yang kuat antara pilihan melajang dan posisi perempuan yang makin kuat di masyarakat.
Senada dengan Elyakim, seorang psikolog ilmu sosial dari University of California, Bella DePaulo menyatakan bahwa perempuan seringkali diyakinkan untuk menikah dan dinilai hancur apabila tidak melakukannya.
"Perempuan adalah orang-orang yang diyakinkan untuk menikah atau hancur jika tidak melakukannya," kata Bella DePaulo.
Selain menyoroti ihwal kehidupan melajang, DePaulo juga melihat adanya perubahan pandangan terhadap rumah tangga.
"Kita berfantasi tentang membangun sarang yang dapat kita bagi bersama pasangan dan anak, tanpa tahu hal yang akan terjadi sebaliknya," ujar DePaulo.
Survei tahun 2018 yang dilakukan DePaulo mengacu pada risetnya pada perusahaan pencarian jodoh digital.
Dalam surveinya, ia menemukan fakta bahwa sekitar hanya 20 persen perempuan yang menempatkan pernikahan sebagai prioritas utama.
Menurut DePaulo, menikah adalah pilihan terakhir setelah pilihan melajang, membangun karier, dan keamanan finansial.
DePaulo juga melihat tren berlawanan arah bahwa angka pernikahan, pada faktanya, terus menurun di seluruh dunia.
Di antara para perempuan dalam usia produktif (15-49 tahun) pada tahun 1970, 31% di antaranya tidak menikah atau berpasangan.
Tahun 2010, persentase itu meningkat menjadi 36%.
Diperkirakan olehnya bahwa angka tersebut akan meningkat menjadi 40% pada 2030.
Di Amerika Serikat, tercatat dalam Badan Sensus Nasional yang melaporkan bahwa pada tahun 2017, setidaknya 110 juta orang tidak menikah.
Angka tersebut setera dengan 45 persen warga Amerika Serikat yang berusia di atas 18 tahun.
Kendati telah muncul tren global, namun pilihan untuk menjalin hubungan dengan diri sendiri belum terdistribusi rata di setiap negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bagian Divisi Populasi mencatat persentase rumah tangga tunggal di Eropa berada di atas 30 persen.
Sementara di Afrika hanya mencapai 3 persen.
"Melajang masih dianggap tabu di beberapa negara, termasuk di negara maju," kata Elyakim Kislev.
"Di banyak negara, tidak menikah atau tidak berpasangan dianggap kegagalan sosial. Stereotip negatif atas seorang lajang masih berlaku di banyak negara," ujarnya.
Elyakim menjelaskan bahwa sosok Emma Watson penting untuk mengubah prasangka publik tentang seseorang yang memilih menjadi lajang.
"Pernyataan Emma Watson bukan hal baru tapi tentu menggarisbawahi kemungkinan publik untuk menghargai lajang sebagai pilihan status," kata Elyakim.
Elyakim menilai masih banyak publik yang menilah pilihan menjadi lajang sebagai suatu hal yang tertinggal.
"Banyak orang masih menilai melajang adalah pemberhentian sebelum berpasangan atau sinyal bahwa 'Anda ketinggalan kereta'."
"Emma Watson memperkenalkan tahapan lain dalam kehidupan dan menunjukkan kepada publik, terutama perempuan yang lebih ditekan untuk menikah ketimbang laki-laki"
"....bahwa melajang juga berarti harus sukses dan pintar," tutur Elyakim.
Para akademisi yang mempelajari fenomena 'berpasangan dengan diri sendiri' menyebut bahwa peningkatan jumlah lajang kini mempengaruhi kebijakan publik, dari isu perumahan hingga pendidikan.
Lebih dari itu, melajang juga kerap bias dalam konteks demografi usia.
Status lajang juga kerap dikaitkan kepada populasi muda, termasuk milenial.
Satu contoh di China, di mana orang-orang berusia 20-24 tahun memegang porsi lajang terbanyak, sekitar 200 juta orang.
China adalah negara yang merayakan 'Hari Lajang' atau hari libur untuk berbelanja dalam rangka merayakan kebanggan diri menjadi lajang.
Hari nasional itu kini merupakan momen berbelanja terbesar di dunia, baik secara daring maupun konvensional.
Baca: Seorang Ibu Tega Pukuli Anak Gadisnya Karena Tak Kunjung Menikah Hingga Usia 30 Tahun
Baca: Jangan Sedih karena Kamu Jomblo, Berikut 6 Manfaat Jadi Lajang, dari Kesehatan hingga Finansial
Baca: Mengenal Anuptaphobia, Ketakutan untuk Hidup Sendiri atau Menjomblo
--