Adanya penolakan RUU cipta kerja ini menimbulkan kekhawatiran publik yang kian membesar.
Masalah ini makin besar dengan seringnya DPR membahas perkara pelik satu ini.
Untuk diketahui rancangan ini bisa menjadi pintu penderitaan rakyat.
Golongan yang kemungkinan dirugikan berasal dari petani, nelayan, buruh, juga lingkungan hidup.
Bahkan tak terkecuali bagi para pekerja kantoran.
Perlu diketahui dalam RUU Cipta Kerja ada 11 klaster di dalamnya.
Baca: Aliansi Rakyat Bergerak Tolak Omnibus Law, #GejayanMemanggilLagi: Gagalkan yang Merampas Hak Rakyat!
Baca: Tolak RUU Omnibus Law, Tagar #GejayanMemanggilLagi Trending di Twitter
Ancaman yang bisa mengancam para pekerja kantoran tertuang dalam klaster ketenagakerjaan pada BAB IV.
Sebagai informasi, bab tentang ketenagakerjaan ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pengubahan, penghapusan, atau penetapan aturan baru itu dikatakan dalam tersebut dalam draf RUU Cipta Kerja sebagai, "Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.”
Dikutip TRibunnewswiki dari Kompas.com, RUU Cipta Kerja berhasil disahkan ada 4 pasal yang bakal mengancam para pekerja kantoran:
Jika berhasil disahkan RUU Cipta Kerja ini akan merubah ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau lebih dikenal dengan kontrak.
Lewat Pasal 56 Ayat (3), RUU Cipta Kerja menyatakan, jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
RUU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
Untuk diketahui, pasal ini mengatur pembatasan jenis pekerjaan serta jangka waktu yang dapat diikat dengan kontrak kerja.
Ketika pekerjaan selesai membuat pekerja rentan di-PHK karena pengusaha bisa menentukan sepihak pekerjaan berakhir.
Hal inilah yang menjadi ketentuan mengenai perjanjian kerja PKWT dapat berakhir.
Baca: Warganet Kritik Para Artis yang Promosikan RUU Cipta Kerja, Istana Bantah Berikan Bayaran
RUU Cipta Kerja ikut mengubah ketentuan Pasal 61.
Di mana satu di antaranya mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Klausul tersebut sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 61A juga menerangkan ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Hal tersebut sebab berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Aturan mengenai perjanjian kerja dalam RUU Cipta Kerja dinilai akan merugikan pekerja sebab relasi kuasa timpang dalam pembuatan kesepakatan.
Jangka waktu kontrak juga ada di tangan pengusaha.
Hal ini tak menutup kemungkinan para karyawan akan berstatus kontrak abadi.
Hal ini juga mencakup, adanya PHK yang bisa dilakukan kapan pun sekehendak pengusaha dengan catatan memberi kompensasi sesuai ketentuanpasal 61A yang dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada.
Ada dua poin yang kelak bisa mempengaruhi pengupahan para pekerja kantor yang ada dalam RUU Cipta Kerja.
Sebagai contoh adanya pasal Pasal 88 B RUU Cipta Kerja.
Pada pasal ini diterangkan standar pengupahan berdasarkan waktu.
Menurut pasal tersebut, satuan waktu dan satuan hasil menjadi ketentuan pengupahan.
Banyak yang berpendapat, adanya skema baru pengupahan ini menjadi dasar perusahaan mengadakan hitungan perjam untuk upah karyawan.
Selanjutnya ada Pasal 88, ini narasinya:
(1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Banyak pihak khawatir lewat poin ini pemerintah sedang berusaha menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Termasuk upah minimum sektoral.
Baca: Hari Buruh di Tengah Pandemi Corona, Serikat Buruh DIY Tolak Dilanjutkannya RUU Cipta Kerja
Dalam RUU Cipta Kerja juga menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja sebagai waktu istirahat.
Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU ini menyebut, istirahat mingguan ,merupakan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Sebagai tambahan informasi, RUU yang menuai banyak kontroversi ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun.
RUU Cipta Kerja Pasal 79 ayat (5) mengatur tentang cuti panjang.
Cuti panjang ini digadang-gadang akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama.
Artikel ini telah tayang di Kompas,com dengan judul 4 Ancaman bagi Pekerja Kantoran jika RUU Cipta Kerja Disahkan...