Rusia Beri Peringatan Keras pada AS: Serangan Rudal Balistik Apapun akan Dibalas dengan Nuklir

Penulis: Maghita Primastya Handayani
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Rusia Vladimir Putin (berjas hitam) memeriksa kapal perang Sungai Neva saat parade Hari Angkatan Laut pada Minggu, 26 Juli 2020. Angkatan Laut Rusia akan dipersenjatai dengan rudal supersonik dan drone bawah laut bertenaga nuklir.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Rusia menyatakan tidak akan tinggal diam dengan kemungkinan adanya serangan rudal balistik yang ditujukan ke negaranya.

Tak tanggung, negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin ini akan membalasnya dengan senjata nuklir.

Pernyataan tersebut diterbitkan oleh surat kabar resmi milik militer Rusia, Krasnaya Zvezda, Jumat, (7/8/2020).

Artikel tersebut memang dimuat sebagai sebagai peringatan keras yang ditujukan untuk Amerika Serikat.

Terutama ketika Amerika Serikat sebelumnya menyatakan telah mengembangkan senjata non-nuklir jarak jauh atau sejenis rudal balistik.

Selain itu, artikel Krasnaya Zvezda tersebut seperti yang dikutip dari The Washington Post merupakan lanjutan dari pemberitaan Juni lalu.

Baca: Senjata Terbaru yang Dipamerkan Militer Dunia, Drone Milik Rusia Bisa Sebabkan Tsunami Puluhan Meter

Baca: Angkatan Laut Rusia Akan Dipersenjatai Rudal Hipersonik dan Drone Bawah Laut Bertenaga Nuklir

Sebelumnya Juni lalu Krasnaya Zvezda mempublikasikan tentang kebijakan deterensi nuklir milik Rusia.

Kebijakan tersebut memuat pertimbangan Rusia dalam menggunakan senjata nuklir sebagai respon terhadap serangan konvensional.

Terlebih jika serangan tersebut berdampak pada pemerintahan maupun infrastruktur militer Rusia.

Semua serangan rudal akan dibalas dengan serangan senjata nuklir oleh Rusia

(FILES) Dalam foto ini, foto yang diambil pada 12 Mei 2015, ICMB nuklir Titan II yang tidak aktif terlihat di sebuah silo di Museum Rudal Titan pada 12 Mei 2015 di Green Valley, Arizona. Ilmuwan AS terkemuka meminta Presiden Donald Trump pada 16 Juli 2020, tidak melanjutkan uji coba senjata nuklir, dengan mengatakan tes semacam itu akan meningkatkan risiko perang nuklir. Dalam sebuah surat yang diterbitkan pada peringatan 75 tahun uji bom atom pertama di dunia pada tahun 1945, sekitar 70 ilmuwan, termasuk setengah lusin penerima Hadiah Nobel, mempertanyakan kemungkinan rencana administrasi Trump untuk mengakhiri moratorium pengujian selama 28 tahun. (Brendan SMIALOWSKI / AFP)

Seperti yang ditulis di Krasnaya Zvezda, perwira senior militer Rusia, Mayor Jenderal Andrei Sterlin dan Kolonel Alexander Khryapin memberikan keterangannya.

Keduanya menegaskan bahwa saat ini tidak ada patokan pasti yang bisa digunakan untuk mengetahui suatu rudal balistik berhulu ledak nuklir atau tidak.

Sehingga, rudal balistik apapun yang 'sampai' ke Rusia akan dianggap sebagai serangan nuklir.

Oleh karena itu Rusia akan membalasnya dengan senjata nuklir agar serangan menjadi berimbang.

"Segala jenis serangan rudal akan kami anggap membawa hulu ledak nuklir," demikian yang diberitakan oleh Krasnaya Zvezda.

"Informasi tentang peluncuran rudal otomatis segera diteruskan kepada otoritas militer dan politik tertinggi Rusia (dalam hal ini Presiden Rusia, Vladimir Putin), yang nantinya akan menentukan cakupan tindakan pembalasan oleh pasukan nuklir tergantung pada situasi yang berkembang," lanjut artikel tersebut.

Argumen yang disampaikan tersebut mencerminkan tentang kekhawatiran lama Rusia terhadap pengembangan senjata militer Amerika Serikat.

Mereka khawatir Washington bisa melumpuhkan aset militer utama dan fasilitas pemerintahan bahkan tanpa menggunakan nuklir.

Sejalan dengan doktrin militer Rusia, kebijakan deterensi nuklir yang baru ini menegaskan kembali bahwa negara tersebut dapat menggunakan senjata nuklir untuk membalas serangan dari negara lain.

Baik serangan rudal balistik berhulu ledak nuklir, atau rudal konvesional tanpa nuklir yang dianggap sebagai ancaman negara.

Kebijakan tersebut juga menawarkan penjelasan rinci tentang situasi yang dapat memicu penggunaan senjata nuklir.

Termasuk penggunaan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya terhadap Rusia dan sekutunya.

Selain itu kebijakan tersebut menyatakan untuk pertama kalinya bahwa Rusia dapat menggunakan persenjataan nuklirnya jika menerima 'informasi yang dapat dipercayai' sebagai peluncuran rudal balistik yang menargetkan wilayahnya atau sekutunya.

Kebijakan juga membahas tentang dampak dari serangan musuk pada situs penting negara seperti fasilitas pemerintah atau militer Federasi Rusia.

Dituliskan pula dalam kebijakan tersebut tentang bagaimana aksi pembalasan akan gagal jika fasilitas tersebut hancur.

Konflik antara Amerika Serikat dengan Rusia

(COMBO) Kombinasi pengambilan gambar ini dari rekaman yang diperoleh dari IRIB TV Negara Iran pada 29 Juli 2020, dilaporkan menunjukkan rudal balistik yang diluncurkan oleh Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) selama hari terakhir latihan militer di dekat perairan Teluk yang sensitif. Peluncuran itu terjadi sehari setelah Pengawal menyerang mock-up kapal induk AS dengan tembakan rudal di dekat Selat Hormuz, jalur pelayaran vital untuk seperlima dari produksi minyak dunia. (BADAN BERITA IRIB / AFP)

Hubungan Amerika Serikat - Rusia berada di posisi terendah pasca-Perang Dingin dengan berbagai faktor.

Di antaranya karena krisis Ukraina, tuduhan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 dan lain sebagainya.

Para pejabat Rusia telah menganggap program pertahanan rudal yang dipimpin Amerika Serikat sebagai ancaman tertinggi.

Alasannya, dengan sistem tersebut Amerika Serikat tergoda untuk meyerang Rusia.

Artikel Krasnaya Zvezda menekankan bahwa publikasi kebijakan penangkal nuklir baru dimaksudkan untuk secara jelas menjelaskan apa yang dilihat Rusia sebagai agresi.

"Rusia telah menetapkan 'garis merah' yang kami tidak menyarankan siapa pun untuk melewatinya," kata artikel Krasnaya Zvezda.

“Jika musuh potensial berani melakukan itu, jawabannya pasti akan sangat hancur. Secara spesifik tindakan pembalasan, seperti di mana, kapan, dan berapa banyak yang akan ditentukan oleh otoritas tertinggi Rusia (presiden) tergantung pada situasinya, " lanjutnya.

Baca: Vladimir Putin

Baca: Setelah Iran dan China, Kini Korea Utara Berani Beri Peringatan Perang Nuklir pada Amerika Serikat

Baca: Kim Jong Un Nyatakan Tak Akan Ada Perang, Sebut Senjata Nuklir Jamin Keselamatan Korut

(TRIBUNNEWSWIKi/Magi)



Penulis: Maghita Primastya Handayani
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
BERITA TERKAIT

Berita Populer