Kebijakan Pertambangan di Indonesia Sangat Untungkan Asing, Faisal Basri Kritik Kemenko Marves Luhut

Penulis: Haris Chaebar
Editor: haerahr
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan tiba di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2019). Sesuai rencana, Presiden Joko Widodo memperkenalkan jajaran kabinet barunya kepada publik mulai Senin (21/10/2019), usai Jokowi dilantik pada Minggu (20/10/2019) kemarin untuk masa jabatan periode 2019-2024 bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Di masa pandemi Covid-19 ini, Indonesia disebut sedang fokus dalam masalah ekonomi, di samping mengurus sektor kesehatan yang menjad tameng utama.

Beberapa waktu lalu, Indonesia disebut diambang untung karena akan ada relokasi industri dari China.

Di sisi lain, kedekatan politik dan ekonomi antara Indonesia dan China disebut tidak membawa keuntungan berarti bagi bumi pertiwi.

Hal ini pun kembali disampaikan oleh ekonom senior Indonesia, Faisal Basri.

Ia mengkritik kebijakan peningkatan nilai tambah di bidang pertambangan di Indonesia.

Menurut Faisal Basri, kebijakan ini masih dilakukan setengah hati oleh pemerintah.

Baca: Pandu Sjahrir - Keponakan Luhut Pandjaitan yang Duduki Jabatan Sebagai Komisaris Bursa Efek

 

Ekonom senior Faisal Basri di Jakarta, Jumat (4/10/2019). (KOMPAS.com/AKHDI MARTIN PRATAMA)

Dia menyoroti konsep hilirisasi pertambangan yang belum terintegrasi dengan pengembangan industri di dalam negeri.

Jika memakai strategi industrialisasi, kata Faisal Basri, barang tambang yang diolah akan digunakan untuk pengembangan industri di Indonesia.

Namun dengan konsep seperti sekarang, barang tambang yang belum diolah menjadi produk jadi pun sudah terhitung sebagai hilirisasi.

Baca: Debat Utang Negara, Jubir Luhut: Jangan Dibawa ke Urusan Politik, Capek Kita yang Gitu-Gitu

Akibatnya, dia menyebut bahwa hilirisasi tambang di Indonesia malah menopang industri di negara lain.

"Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar nggak sih kita?" kata Faisal Basri dalam webinar yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rabu (29/7).

Faisal Basri memberikan gambaran tentang maraknya minat perusahaan China untuk mendirikan smelter di Indonesia, khususnya smelter nikel.

Baca: Tantang Pengkritik Utang Negara, Luhut Binsar: Saya Ingin Ketemu, Jangan di Media Sosial Saja

Menurutnya, kebijakan hilirisasi saat ini lebih dominan menguntungkan para pengusaha smelter tersebut.

Dia mencontohkan, perusahaan tambang lokal harus membayar bea ekspor dan juga royalti, tapi smelter tidak dikenakan.

Perusahaan smelter pun bisa semakin banyak menumpuk laba karena tidak terbebani oleh pajak badan karena mendapatkan tax holiday.

Terlebih, smelter pun bisa mendapatkan bahan baku berupa bijih atau ore nikel dengan harga yang sangat murah.

Dengan berbagai fasilitas tersebut, perusahaan asal China lebih banyak mengantongi keuntungan jika membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya.

Baca: Luhut Binsar Pandjaitan Beri Mahfud MD Meme Corona is Like Your Wife, Apa Maksudnya?

"Kalau mereka bangun smelter di China, mereka beli nikel ore dengan harga jauh lebih mahal. Kalau Indonesia harganya murah sekali.

"Labanya jauh lebih besar memindahkan smelter ke Indonesia."

"Kalau di negeri asalnya dia bayar PPN, macam-macam, di sini nggak," terang Faisal Basri.

Lebih lanjut, Faisal Basri pun menyindir perlakuan terhadap pengusaha smelter, yang bahkan tetap bisa melenggang, membawa pekerja asing masuk ke Indonesia walaupun di tengah kondisi pandemi cobvid-19.

"Katanya alih teknologi, training lah, omong kosong," ujarnya.

Faisal Basri juga menilai, pelarangan ekspor bukan lah cara yang paling baik dalam kebijakan hilirisasi.

Baginya, lebih baik ada perhitungan yang lebih jelas dan komprehensif tentang tarif ekspor yang optimal, untuk bisa mendistribusikan keuntungan bagi negara dan nilai tambah yang bisa dirasakan masyarakat.

"Dalam konsep ekonomi, berapa sih nilai tambah yang diterima oleh warga Indonesia? baik pekerja, penambang maupun pemerintah? 5%, 95% lari ke China," seru Faisal Basri.

Dia pun lantas mengkritisi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, seolah melebihi Menteri ESDM Arifin Tasrif.

(Humas Kemenko Maritim dan Investasi) (kompas.com)

"Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib"

"Nanti yang untung siapa? Indonesia nggak dapat apa-apa."

"Saya nggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut," kata Faisal.

Terkait dengan industrialisasi, dia pun berpandangan kebijakan hilirisasi tambang malah bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok.

Baca: Kritik Ekonom INDEF: Jika Saya Presiden, Kemenko Marves Pimpinan Luhut Pandjaitan Dibubarkan Saja

Menurutnya, Indonesia pun tidak menjadi bagian dari rantai supply global yang berbasis peningkatan nilai tambah.

Faisal Basri pun menyoroti kepercayaan diri Luhut Binsar yang sangat yakin Indonesia bisa menjadi pabrik baterai terbesar di dunia, khususnya dalam industri mobil listrik.

Pasalnya, industri baterai akan tumbuh di tempat yang sudah banyak menggunakan baterai atau mobil listrik.

Faisal Basri tak yakin Indonesia benar-benar akan menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia.

"Nah Pak Luhut Mimpi, mau bikin industri baterai terbesar di dunia ya hampir mustahil."

"Jadi produsen baterai terbesar di dunia? Omong kosong. Negara dapat apa? nggak dapat apa apa, kecuali heboh-hebohnya," pungkas Faisal.

(Tribunnewswiki.com/Ris)

Artikel sudah tayang di Kontan.co.id berjudul Faisal Basri: Jadi produsen baterai terbesar di dunia? Pak Luhut mimpi.



Penulis: Haris Chaebar
Editor: haerahr
BERITA TERKAIT

Berita Populer