Diberitakan Kompas.com, perempuan Korea Utara yang gagal kabur dari negaranya akan mengalami kekerasan seksual yang kejam.
AFP menyebut kekerasan itu dilakukan oleh pejabat keamanan negara dan polisi.
Memang negara yang dipimpin Kim Jong Un ini selalu mengawasi warganya dengan ketat.
Mereka yang menyeberang perbatasan secara ilegal akan ditahan dan dituntut.
Baca: Jadi Anggota Penuh Politbiro Korea Utara, Posisi Kim Yo Jong Makin Kuat sebagai Tandem Kim Jong Un
Meski demikian, sebelum Korea Utara menutup perbatasan sebagai dampak Covid-19, masih banyak warga yang bolak-balik melintasi perbatasan dengan China.
Penjagaan di perbatasan sepanjang 1400 kilometer itu ada kelengahan.
Hal itulah yang dimanfaatkan warga untuk berdagang atau pindah ke China.
Sebagian besar penyeberang adalah perempuan, lantaran lebih memiliki kebebasan dibanding pria di negara itu.
Pasalnya pria di Korut harus menjalankan tugas-tugas negara.
Badan HAM PBB dari Komisaris Tinggi lalu mewawancarai lebih dari 100 pembelot Korut yang menceritakan, mereka menderita kekerasan seksual termasuk pemerkosaan, ditelanjangi paksa, dan diaborsi.
Kekerasan seksual itu dilakukan setelah mereka ditangkap dan kemudian dipulangkan.
Baca: Buka Suara, Korea Utara Dukung Tiongkok, Salahkan AS Soal Ketegangan di Laut China Selatan
Di Korut, para pejabat Kementerian Keamanan negara sering melakukan "pencarian invasif" di pusat-pusat penahanan, kata Daniel Collinge penulis utama laporan itu.
Atas dasar pemeriksaan, mereka diminta telanjang oleh petugas keamanan.
"Mereka (tahanan wanita) jadi subyek penggeledahan tubuh, yang mengharuskan mereka telanjang lalu berjongkok dan melompat berulang kali untuk memeriksa barang-barang tersembunyi di rongga tubuh mereka," kata Collinge kepada wartawan di Seoul.
Baca: Kim Jong Un Nyatakan Tak Akan Ada Perang, Sebut Senjata Nuklir Jamin Keselamatan Korut
Sebenarnya, pemerkosaan ini sudah terdengar luas.
Akan tetapi tak banyak yang mau bersuara karena akibatnya justru lebih fatal.
PBB sendiri telah menuduh Korea Utara melakukan pelanggaran HAM yang sistematis, menyebar, dan berat.
Meski demikian, Pyognyang menyebut tuduhan itu hanya propaganda anti-rezim.