Dirinya mengatakan jika sebaiknya istilah 'new normal' kini diganti dengan kebiasaan baru.
Pasalnya, penggunaan kata 'new normal' yang sering digunakan oleh pemerintah belum cukup dipahami oleh masyarakat.
"Diksi new normal dari awal diksi itu segera ubah. New normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adptasi kebiasaan baru," kata Yurianto dalam acara Peluncuran Buku "Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemi" karya Saleh Daulay secara virtual, Jumat (10/7/2020).
Menurut Yuri, banyak masyarakat yang lebih condong dan fokus ke kata 'normal'-nya saja.
"Dan kemudian yang dikedepankan bukan new-nya, tapi normal-nya. Padahal ini sudah kita perbaiki dengan adaptasi kebiasaan baru," ujarnya.
Lebih lanjut, Yuri mengatakan, saat ini pemerintah tidak akan menyampaikan aturan pencegahan Covid-19 karena dikhawatirkan dapat membuat masyarakat semakin bingung.
Yuri mengatakan, akan lebih baik masyarakat langsung menjalankan aturan-aturan selama pandemi Covid-19.
"Mungkin kami akan bicara ke depan tidak lagi dalam berbicara aturan yang dibuat lagi. Jalankan saja, kalau banyak aturan yang dibuat makin pusing kita, makin pusing, jalankan saja," pungkasnya.
Baca: Jokowi Ingatkan Kepala Daerah Tak Buru-buru Terapkan New Normal, Terutama soal Pembukaan Sekolah
Baca: Kritik Kebijakan New Normal dari Anies, Menhub Budi Karya Sebut SIKM Tak Diperlukan Lagi di Jakarta
Baca: 6 Ketentuan yang Harus Dipatuhi Penumpang KA Jarak Jauh Saat New Normal
Sebelumnya, pemerintah memilih untuk menerapkan wacana tatanan hidup baru atau new normal meskipun pandemi masih berlangsung.
Diterapkannya kenormalan baru ini dilakukan pemerintah untuk menutup kerugian ekonomi yang sempat terdampak akibat wabah Covid-19.
Kemudian, pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah mulai mencabut dan melonggarkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tujuannya, untuk menggerakkan kembali roda perekonomian secara bertahap.
Meskipun dengan penerapan new normal tersebut, penularan Covid-19 di Indonesia malah semakin bertambah dari hari ke hari.
Bahkan, kini terlihat sudah banyak masyarakat yang merasa hidup sudah kembali normal tanpa adanya pandemi corona.
Sudah banyak mal, tempat makan, dan tempat wisata yang dibuka dan dipenuhi oleh pengunjung.
Diketahui, penerapan normal baru di Jakarta ternyata menimbulkan polusi udara yang meningkat.
Media sosial pun dihebohkan dengan video viral yang menunjukkan polusi udara di Jakarta.
Seperti dalam video dalam akun tiktok @ianhugen, di mana membandingkan penampakan langit Jakarta pada 25 April 2020 dengan 15 Juni 2020.
Dikatakan akun @ianhugen, pada bulan April langit Jakarta nampak begitu biru dengan awan putih yang terlihat jelas.
Sedangkan pada hari pertama new normal dijalankan di Jakarta (15/6/2020) langit tampak berwana abu-abu dan berkabut.
"Oh my God, polusi emang enggak bercanda," katanya dalam video tersebut. Berikut tangkapan layar perbandingan wajah Jakarta yang ditangkap oleh akun @ianhugen.
Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) Indra Gustari menjelaskan, membaik atau memburuknya kualitas udara suatu wilayah dilihat dari dua faktor.
"Pertama, perubahan di sumber polutannya dan kedua, proses pengurangan polutan di udara," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (15/6/2020) malam.
Baca: Virus Corona Bisa Menular Melalui Udara, Bagaimana Cara Mencegahnya?
Baca: 5 Catatan Penting tentang Penularan Virus Corona Lewat Udara: Jaga Jarak Dua Meter Belum Cukup Aman
Baca: WHO Konfirmasi Virus Corona Menyebar Lewat Udara, Berikut Cara Pencegahannya
Indra menjelaskan, pada faktor pertama mengenai perubahan pada sumber polutan, itu berasal dari aktivitas transportasi dan kegiatan industri.
Oleh sebab itu, untuk mengetahui dampak pastinya perlu dilakukan pengecekan jumlah peningkatan lalu lintas kendaraan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dalam beberapa hari terakhir.
Meski demikian, lanjut Indra, dengan menengok peningkatan kemacetan di jalanan Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir sejak diberlakukan new normal dalam masa transisi, jelas menunjukkan adanya penambahan jumlah kendaraan.
"Selanjutnya itu akan meningkatkan konsentrasi polutan di udara atau menurunkan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya," jelasnya.
Faktor kedua, mengenai proses berkurang atau menghilangnya polutan dapat disebabkan oleh pencucian polutan di udara oleh air hujan.
Pada awal tahun, wilayah Jabodetabek masih sering mengalami turun hujan lantaran masih memasuki musim hujan.
Bahkan sampai pertengahan Mei 2020 hujan masih sering turun.
"Hal ini tentu saja akan menurunkan konsentrasi polutan di udara, sehingga kualitas udara pada periode tersebut relatif baik," kata dia.
Sebaliknya, sejak akhir Mei 2020 hingga saat ini, sebagian wilayah Jakarta sudah memasuki musim kemarau sehingga frekuensi turunya hujan pun berkurang.
Sekalipun masih turun hujan, intensitasnya juga rendah.
Indra bilang, kondisi ini berimplikasi pada terakumulasinya polutan di udara pada Jakarta.
"Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kualitas udara di Jabodetabek menurun pada awal Juni dibandingkan beberapa beberapa minggu yang lalu adalah akibat dari faktor diatas," ungkapnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jubir Pemerintah Akui Diksi New Normal Salah, Ganti dengan Adaptasi Kebiasaan Baru"