Rumah sakit ini berkapasitas 10.000 ranjang dan digunakan untuk menampung pasien Covid-19 di Ibu Kota India itu.
New Delhi yang berpenduduk 25 juta ini telah menjadi episentrum wabah corona hotspot terbesar di India dean menyebabkan 2.742 kematian.
Jumlah kasus Covid-19 India melonjak dan sudah melewati 500.000 kasus akhir pekan ini.
Sementara itu, telah ada lebih dari 17.000 kematian akibat virus corona jenis baru itu.
Para pengkritik menuduh pemerintah menyia-nyiakan peluang yang disediakan oleh penguncian ketat yang diberlakukan pada 25 Maret, karena tidak cukup pengujian dan pelacakan kontak dilakukan selama periode hampir 60 hari.
Rumah sakit di kota tersebut juga berjuang karena lebih dari 50.000 kasus muncul di bulan Juni saja.
Struktur kekuasaan yang berlapis menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan, kata para analis.
Pihak berwenang telah mengerahkan 10.000 tempat tidur sekali pakai yang terbuat dari kardus di lokasi pusat keagamaan Radha Soami di pinggiran kota, kata pejabat senior BM Mishra, Senin.
Sementara 2.000 tempat tidur sudah dikelola oleh dokter dan perawat yang diperlukan, fasilitas akan beroperasi penuh pada 5 Juli.
Baca: Dampak Covid-19: Prostitusi Terbesar Se-Asia di Sonagachi, India Kini Beradaptasi dengan Teknologi
Baca: India Desak Rusia Percepat Pengiriman Rudal, Peneliti: Ingin Samakan Kekuatan Militer dengan China
"Tempat tidurnya ringan tapi kokoh, memiliki garansi dua tahun dan dapat menampung hingga 300 kilogram (660 pon) beban. Mereka tahan air dan hemat biaya, masing-masing sekitar 1.200 rupee (US$ 16)."
"Tempat tidur mudah dirakit dan dibuat dalam waktu singkat.
Karena itu, kami dapat memulai fasilitas ini dalam waktu 10 hari, sedangkan produsen lain akan memakan waktu setidaknya dua kali lipat, "kata Mishra kepada kantor berita DPA dikutip Aljazeera.
Pabrikan mengklaim bahwa hal terpenting tentang tempat tidur adalah virus hanya bertahan di permukaan kardus selama 24 jam, kata laporan media.
Pandemi virus Corona memang telah menggangu banyak aktivitas masyarakat dunia.
Mulai dari rencana bisnis, pertemuan internasional hingga agenda negara pun harus menyesuaikan situasi karena keberadaan pandemi Covid-19 ini.
Tak hanya bisnis atau aktivitas yang lazim, untuk aktivitas prostitusi pun kini harus menyesuaikan dengan situasi akibat keberadaan pandemi Covid1-9.
Kawasan prostitusi terbesar se-Asia di Sonagachi, India pun mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian dalam aktivitas bisnis prostitusi mereka.
Sama seperti bisnis lain yang marak menggunakan teknologi informasi seperti video conference untuk rapat, bisnis prostitusi di Sonagachi juga mulai beradaptasi dari virus corona dengan menggunakan fasilitas serupa.
Penggunaan video conference untuk bisnis prostitusi di Sonagachi semakin marak.
Meski demikian, beberapa "klien" juga tetap memaksa bertemu dengan wanita pekerja seks komersial (PSK) di wilayah tersebut.
Selama 15 tahun, Laila Das (bukan nama sebenarnya) menggunakan "pertemuannya" dengan 5 klien dalam sehari.
Baca: Buntut Panjang Konflik di Himalaya, India Larang TikTok dan 58 Aplikasi China Lain Masuk Negaranya
Baca: Konflik China dengan India Baru Permulaan, Laksamana AS Sebut Tiongkok Ingin Kuasai Kutub Utara
Sebagai pekerja seks komersial ( PSK), beberapa klien menginginkan berhubungan seksual dengan Laila sementara yang lainnya hanya ingin ditemani.
Laila adalah satu dari 7 ribu PSK di Sonagachi. Suatu lokasi prostitusi terbesar di Asia.
Ketika lockdown India diumumkan pada Maret lalu, Laila tidak punya klien sama sekali.
Namun, beberapa hal menjadi lebih membaik saat ini.
Dalam kehidupan 'New Normal' atau tatanan baru pasca lockdown akibat wabah virus corona, Laila bisa 'menjajakan' diri melalui teknologi tinggi, yakni melalui telepon pintar.
Pendiri Durbar Mahila Samanwaya Committee (DMSC), Smarajit Jana menyatakan lockdown di Sonagachi telah menghasilkan peningkatan aktivitas virtual seks.
"Tadinya, yang ikut virtual seks hanya sedikit, sekarang sudah banyak yang gabung di telepon dan video."
"Beberapa bahkan minta ada sesi tanya-jawab, beberapa orang lainnya meminta video," ujar Jana.
Berdasarkan keterangan Bishakha Laskar, Presiden DMSC bahkan kini sangat banyak pelayanan seks melalui jaringan telepon.
"Setiap orang takut dengan jarak dekat fisik."
"Di gang di mana saya tinggal, terdapat 130 gadis aneh yang 95 persen dari mereka melakukan seks melalui telepon," ucapnya.
Sementara berdasarkan keterangan Laila, uang yang dia terima akan ditransfer kliennya.
Tarif Laila sebesar 500 Rupee India (sekitar Rp 94 ribu) untuk sekali video call selama 30 menit.
"Saat ini memang banyak terjadi resesi ekonomi, tapi para klien itu kebanyakan sangat dermawan," ungkap Laila.
Namun, tidak semua klien sepakat untuk transfer.
"Beberapa yang dekat akan keluar rumah dengan alasan membeli susu atau keperluan rumah tangga padahal mereka hendak membayar tarif."
"Namun, beberapa dari mereka juga ada yang tukang tipu," ujar Bishakha.
Menurut Mahasweta Mukherjee, petugas advokasi DMSC mengatakan para pekerja seks komersial sebelumnya mengalami krisis selama demonetisasi.
"Kami punya 7 ribu wanita yang tinggal di Sonagachi bersama 3 ribu lainnya yang ikut menumpang (berpindah-pindah)."
"Selama lockdown, 3.000 wanita itu tidak ada di sana (Sonagachi)," ujar Mukherjee.
Sisanya, biasanya mendapat tarif 25 ribu sampai 30 ribu Rupee India (Rp 4,7 - 5,6 juta) sebulan.
Menyediakan makanan untuk mereka tidaklah cukup. Mereka butuh keperluan lain.
"Mereka biasanya butuh keperluan lain. Banyak dari mereka mengirim uang ke rumah mereka (keluarga)."
"Beberapa dari uang itu dibelanjakan untuk menjual sayur dan buah tapi itu tidak cukup," imbuh Mukherjee.
Jam kerja para PSK itu kini juga sudah berubah.
"Panggilan via telepon bisa terjadi kapan saja. Jadi mereka harus siaga setiap jamnya," tandas Bishakha.
Artikel sudah tayang di Kontan.co.id dengan berjudul "India bangun rumah sakit darurat (Covid-19) terbesar dengan 10.000 tempat tidur"