Kedua negara memang sering tidak duduk dalam satu pendapat terkait berbagai permasalahan.
Kini Iran pun seakan membunyikan alarm perang dengan Amerika Serikat.
Hal tersebut bisa dilihat dengan terbitnya surat perintah penangkapan terhadap Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Surat penangkapan Donald Trump ini merupakan buntut pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
Penerbitan surat penangkapan Donald Trump itu dibuat oleh Ali Alghasi-Mehr, Jaksa Agung Teheran, seperti dilaporkan kantor berita semi-resmi Fars pada Senin (29/6/2020).
Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds, sayap elite di Garda Revolusi Iran, dibunuh oleh AS ketika berada di Baghdad, Irak, Januari lalu.
Soleimani tewas bersama wakil pemimpin milisi Hashed al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis, ketika kendaraan mereka diluluhlantakkan oleh rudal.
Baca: Iran Menguji Coba Rudal Berdaya Jangkau 280 Km, Menhan Amir Hatami: Musuh-Musuh Iran Ketakutan
Baca: AS Semakin Intens Lakukan Aktivitas Militer di Laut China Selatan, Pertanda Siap Gempur Tiongkok?
Baca: Buntut Panjang Konflik di Himalaya, India Larang TikTok dan 58 Aplikasi China Lain Masuk Negaranya
Dalam pernyataannya, Alghasi-Mehr menuding Trump dan 35 warga Iran lainnya bertanggung jawab atas kematian mayor jenderal yang dibunuh di usia 62 tahun itu.
Diwartakan CNBC, sang jaksa agung ibu kota Iran itu menjerat Presiden AS dan puluhan lainnya dengan dakwaan pembunuhan dan terorisme.
Dia mengklaim sudah meminta kepolisian internasional (Interpol) untuk menerbitkan red notices untuk mempermudah penangkapan Donald Trump.
Red notices merupakan pemberitahuan tertinggi yang dikeluarkan oleh Interpol, dan dirilis terhadap individu yang dianggap target penting.
Meski begitu, presiden 74 tahun tersebut diyakini akan lolos dari upaya itu.
Interpol dipercaya tidak akan begitu saja menanggapi surat penangkapan Donald Trump.
Sebab dalam panduan dalam organisasi penegakan hukum internasional itu, terdapat larangan mengambil permintaan yang sifatnya politis.
Qassem Soleimani dilabeli teroris oleh Gedung Putih, dengan dia dituding bertanggung jawab atas kematian ratusan pasukan AS di Irak.
Kematian sang komandan yang digadang menjadi suksesor Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei itu menimbulkan kemarahan dari sekutu Iran.
Teheran sendiri melakukan balasan beberapa hari berselang, di mana mereka menghujani dua pangkalan AS di Irak dengan rudal.
Banyak negara menyoroti kerusuhan dan kekacauan yang terjadi di Amerika Serikat belakangan ini.
Insiden kematian George Floyd memicu banyak demonstrasi di negeri Paman Sam tersebut.
Namun, diberitakan oleh Jerusalem Post, sejumlah negara tampak 'happy' atau "merayakan" dengan peristiwa itu.
Pada hari Senin (1/6/2020), misalnya, media Iran banyak memberitakan sejumlah kisah yang menyoroti "keruntuhan" AS dengan mengutip sumber-sumber dari Rusia.
Baca: Video Mengerikan, Detik-detik Mantan Calon Pejabat di AS Menembak Demonstran yang Menyerangnya
Baca: LAGI Pria Kulit Hitam Ditembak Mati Polisi di Atlanta, Restoran Wendys Dibakar Demonstran
Baca: Demonstrasi di Amerika Serikat Belum Reda, Seorang Polisi Kembali Tembak Pria Berkulit Hitam Lagi
Mengutip Jerusalem Post, AS menjadi negara paling kuat di dunia setelah Uni Soviet dan negara-negara sekutunya hancur berantakan pada tahun 1989.
Namun, Rusia, China, Iran, dan Turki berusaha untuk bekerja sama lebih erat dan sering duduk di forum global yang tidak dihadiri AS.
Disebutkan, demi mengoordinasikan upaya melawan AS, negara-negara ini memiliki media pemerintah yang didanai dengan baik, seperti RT, TRT, Tasnim and Fars News Iran dan sejumlah media Tiongkok.
Kebijakan negara-negara ini adalah perlahan-lahan merusak AS dan menunggu saat-saat kelemahan AS untuk mendorong agenda mereka.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan baru-baru ini terkait kerusuhan di AS, dengan mengatakan bahwa Amerika adalah bagian dari "tatanan yang tidak adil" di dunia.
Mantan presiden Iran membuat komentar serupa tentang tatanan AS yang terus menurun. Ini merupakan referensi ke konsep poros perlawanan di Iran, dan kekalahan arogansi AS.
Saat ini, aksi protes di AS dan krisis Covid-19 telah menyebabkan situasi di Washington menurun dengan cepat.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa AS sekarang harus berurusan dengan kesalahan polisi dan membanding-bandingkan AS dengan Rusia.
"Syukurlah, hal-hal yang terjadi di Amerika tidak terjadi di Rusia," katanya seperti yang ditulis media TASS Rusia.
NBCNews juga menuliskan berita yang sama. China, Rusia dan Iran menggunakan media yang disponsori negara untuk menyerang AS atas pembunuhan George Floyd dan kerusuhan sipil yang terjadi.
Menurut sebuah laporan yang dirilis Rabu (3/6/2020) oleh sebuah perusahaan swasta, tidak ada bukti adanya operasi pengaruh online yang mirip dengan campur tangan Rusia dalam kampanye presiden 2016.
"Musuh AS menggunakan gejolak di media tradisional dan sosial dengan menggunakan narasi mereka yang sedemikian rupa," demikian bunyi laporan oleh Graphika, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis volume besar lalu lintas media sosial, seperti yang dikutip dari NBCNews.
Ketiga negara menggunakan kehadiran editorial online mereka yang substansial untuk mengkritik pembunuhan Floyd, reaksi polisi terhadap protes, dan Presiden Donald Trump.
Akan tetapi, menurut laporan itu, tujuan mereka tampaknya berbeda.
“Tujuan utama Tiongkok tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS atas tindakan keras Tiongkok terhadap Hong Kong. Tujuan utama Iran tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS terhadap catatan hak asasi manusia Iran dan untuk menyerang sanksi AS," kata laporan tersebut.
Ditambahkan pula, “Media-media yang dikendalikan oleh Rusia sebagian besar terfokus pada fakta-fakta aksi protes, sejalan dengan praktik yang sudah berlangsung lama dalam meliput unjuk rasa di Barat; beberapa konten editorial individual juga menyerang kritikus Kremlin dan media arus utama."
"Malam ini, aktivitas media sosial tentang # protes & reaksi balasan dari akun media sosial terkait dengan setidaknya 3 musuh asing. Mereka tidak membuat divisi ini. Tapi mereka aktif memicu & mempromosikan kekerasan & konfrontasi dari berbagai sudut."
Sebagian artikel tayang di Kompas.com berjudul Buntut Jenderal Qasem Soleimani Dibunuh, Iran Ingin Trump Ditangkap.