Walaupun sudah diingatkan untuk selalu mematuhi standar protokol kesehatan, tampaknya masih ada beberapa yang melanggarnya.
Sebagai contoh, kegiatan car free day pada 21 Juni 2020 yang disoroti sebab berkumpulnya banyak orang di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat.
Terlihat ada yang menggunakan masker, ada juga yang tidak.
Baca: Dijamin Anggota DPRD, Jenazah Pasien PDP yang Dibawa Pulang Pihak Keluarga Ternyata Positif Covid-19
Baca: Ambil Paksa Jasad Pasien Corona, Pria di Surabaya Ditahan, Istri Hamil Tua Positif Tertular Covid-19
Ada pula yang menerapkan untuk menjaga jarak aman, namun juga ada yang tidak.
Di akhir pekan, dalam media sosial beredar beberapa foto dan video yang menampilkan ramainya masyarakat yang datang ke lokasi wisata dan rumah makan.
Situasi ini memancing kekhawatiran akan risiko penularan.
Tempat ramai adalah salah satu faktor yang mendongkrak risiko penularan dan penyebaran virus corona.
Pemerintah lewat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona pun berulang kali mengingatkan supaya masyarakat patuh pada anjuran pemerintah.
Baca: Alasan Kenapa Satu Penumpang Jakarta-Sorong yang Positif Covid-19 Bisa Lolos Masuk Pesawat
Hal ini seperti disiplin memakai masker, dan tetap berada di rumah apabila tak ada kepentingan mendesak.
Lantas tahukah ada biaya besar yang menunggu jika terjangkit virus corona ini ?
Beberapa waktu silam, seorang warganet berbagi informasi terkait besarnya biaya yang wajib dibayarkan bagi pasien Covid-19.
Dia menjalani sejumlah pemeriksaan yang biayanya ditanggung sendiri sebelum akhirnya dirawat di Rumah Sakit Darurat Covid-19.
Warganet lainnya membagikan informasi biaya perawatan pasien infeksi virus corona yang menyentuh angka lebih dari Rp 290 juta.
Biaya terlampir tersebut belum termasuk dengan beban immateril yang harus fitangung keluarga karena ada anggotakeluargnya yangharus menjalani perawatan.Masalah ini kembali mengingatkan masyarakat untuk tak menganggap sepele ancaman virus corona.
Dilansir Tribunnewswiki dari Kompas.com, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengakui, biaya untuk pasien Covid-19 sangat besar.
Bahkan biaya ini mencapai ratusan juta rupiah.
Hal ini ada beberapa alasan mengapa biaya perawatan pasien Covid-19 sangat mahal.
Pasien wajib menjalani sejumlah tahapan pemeriksaan.
Untuk ini, biaya ketersediaan alat medis pun tidak murah.
Sebagai contoh adalah untuk untuk keperluan rapid test.
Baca: Penanganan Covid-19 Tak Ada Progres, Jokowi Jengkel pada Menteri Kabinet: Apa Tidak Punya Perasaan?
"Itu tidak gratis. Kalau orang dengan Covid-19 itu dites dulu positif, menunggu polymerase chain reaction (PCR)-nya, biasanya dalam sekali tes habis Rp 1 juta," kata Zubairi.
Usai menjalani tes PCR, pasien positif Covid-19 akan menjalani masa karantina dan rawat inap di rumah sakit.
Perawatan tersebut pun akan membuat biaya makin bertambah.
Ditambah lagi, dengan obat perawatan pasien Covid-19 yang juga tidak murah.
"Kalau sekarang yang rutin diberikan yang rawat inap diberi obat anti-pembekuan darah, tapi ada juga yang molekuler itu yang lumayan mahal. Sekali suntik Rp 300.000 sampai Rp 400.000 dalam satu obat, belum obat-obatan yang lainnya," ujar Zubairi.
Biaya pelayanan ruangan pun akan menambah jumlah besaran biaya perawatan pasien Covid-19.
Untuk pasien yang membutuhkan perawatan intensif di ruang ICU dengan sejumlah alat penunjang kesehatan pasien, biayanya akan semakin besar lagi.
Baca: Dinyatakan Sembuh dari Corona, Pasien asal Bandung ini Disambut dan Diarak Keliling Kampung
Ditambah lagi, apabila pasien mengalami dampak serius pada organ lainnya seperti gagal organ jantung, paru, ginjal, otak, atau pembekuan darah di mana-mana.
Wakil Direktur Pendidikan dan Diklit sekaligus Jubir Satgas Covid-19/RS UNS, dr Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan, penanganan pasien Covid-19 memerlukan perawatan dengan alur terpisah dan peralatan terpisah.
"Penanganan pasien Covid relatif tinggi biayanya, karena keharusan sarpras dan lokasi perawatan di ruang khusus. Jadi meningkat biayanya," ujar Tonang.
Komponen biaya perawatan pasien Covid-19 pun juga mahal.
Hal ini dikarenakan tenaga medis yang melakukan penanganan butuh alat pelindung diri (APD).
Sebagian besar beban biaya pengadaan APD nakes tidak dibiayai oleh pemerintah jadi dibebankan kepada pasien dan keluarga.