Kini banyak masyarakat dunia yang beralih menikmati hiburan melalui siaran digital dari smartphone atau gagdet mereka, alih-alih dengan menonton televisi atau radio.
Akibatnya, kini banyak media konvensional seperti televisi, radio atau media cetak harus melakukan shifting ke dunia digital atau akan perlahan akan ditinggalkan masyarakat.
Khusus di Indonesia, hal demikian pun menjadi persoalan dan informasi digital yang berkembang dengan teknologi terbarukan disebut belum memiliki payung hukum yang jelas.
Baca: Komisi X DPR Kritik Keputusan Kemendikbud Gandeng Netflix Tayangkan Film Dokumenter: Agak Aneh
Baca: Penghasilan Baim Wong dari YouTube Awalnya Cuma Enam Juta, Melaney: Yang Tertinggi Berapa?
PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dikabarkan menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon adalah dua jaringan telekomunikasi terafiliasi dengan Hary Tanoe Soedibjo itu mempersoalkan Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Pasal itu menyebut bahwa:
“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Baca: Meroket Selama Pandemi Covid-19, Nilai Saham Zoom Kini Dekati Rp 1000 Triliun: Kalahkan Saham AMD
Baca: Sempat Gagap Bahasa Inggris dan Ide Besarnya Ditolak CISCO, Berikut Kisah Eric Yuan Mendirikan Zoom
Baca: Setelah Dugaan Data Diretas Hacker, Kali Ini Zoom Terseret Konflik Politik Amerika Serikat vs China
Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti YouTube serta Netflix.
Hal ini karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Sementara bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan," ujar Imam.
"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata dia.
Atas alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.
Pemohon meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 Angka 2 UI Penyiaran menjadi seperti berikut:
"Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.
Dilansir dari Reuters, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan Presiden AS Donald Trump mengkhawatirkan akan banyak mitra dagang yang akan gunakan skema pemungutan pajak yang tak adil.
"Presiden Trump khawatir akan banyak mitra dagang kami yang akan menggunakan skema pemungutan pajak yang tidak adil untuk perusahaan kami," ujar Robert.
Terkait hal tersebut Presiden Amerika Serikat, Donald Trump marah gara-gara rencana berbagai negara termasuk dari pemerintah Indonesia yang akan membebankan pajak pada layanan digital, salah satunya adalah Netflix.
Pemerintah Amerika Serikat akan menyelidiki negara-negara yang akan memberlakukan pajak layanan digital, termasuk Indonesia.
Perwakilan dagang Amerika Serikat bilang pemberlakuan pajak ini berpotensi meningkatkan ketegangan dagang antar-negara.
Trump khawatir banyak mitra dagang amerika yang akan menggunakan skema dagang yang tak adil.
Baca: Membangkang dari Donald Trump, Menteri Pertahanan AS Tolak Kerahkan Militer Atasi Demonstrasi
Baca: Balas Perlakuan Donald Trump, China Stop Impor Daging Babi dari Amerika Serikat
Baca: FAKTA-fakta Foto Viral Pria Bertato Peta Indonesia Ikut Demo Rusuh di AS: Trump Dibawa ke Bunker
Kementerian keuangan bakal tarik pajak digital layanan streaming film dan musik mulai 1 Juli mendatang.
Layanan tersebut dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.
Produk digital seperti aplikasi dan permainan yang dianggap mengambil manfaat ekonomi Indonesia melalui transaksinya juga akan kena PPN.
Penerapan pajak ini diharapkan bisa meningkatkan penerimaan negara untuk menanggulangi dampak pandemi Covid 19.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani enggan mengomentari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang marah karena layanan jasa digital Amerika seperti Netflix, Zoom dan lainnya bakal dikenakan pajak pertambahan nilai atau pajak Digital.
Sri Mulyani enggan menjawab hal ini setelah ditanya wartawan usai rapat terbatas melalui video conference hari ini 3 Juni 2020.
"Jadi pajak digital saya nggak mau jawab dulu. Nanti yang jadi headline malah pajak subsidi," kata Sri Mulyani dalam video conference, Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Indonesia menjadi salah satu negara yang saat ini tengah mempertimbangkan untuk menarik pajak layanan digital dari perusahaan Amerika Serikat.
Meski begitu, Indonesia perlu belajar dari kasus Prancis vs Amazon 2019 lalu.
Diketahui Pemerintah Prancis sempat mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan beban pajak raksasa digital seperti Google, Facebook dan Amazon yang beroperasi di negara tersebut.
Akan tetapi, Amazon yang merupakan perusahaan digital raksasa asal Seattle, Amerika Serikat yang juga memiliki lini bisnis e-commerce itu membalas pemerintah Prancis dengan menaikkan harga jual untuk setiap produk dari Prancis di platformnya.
Hal itu tentu menjadi sulit manakala jika Indonesia serius memberlakukan pajak layanan digital dari perusahaan asal Amerika seperti Zoom, Netflix, Google dkk mengingat dalam kaidah perdagangan bebas, entitas-entitas itu juga bisa menaikkan atau menerapkan aturan tersendiri untuk pengguna di Indonesia, seperti apa yang terjadi pada kasus Prancis vs Amazon.
Sebagian artikel tayang di Kompas.com dengan judul RCTI dan Inews Gugat UU Penyiaran ke MK karena Tak Atur YouTube hingga Netflix.